BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Skenario
berjudul “ Mata Kuning” :
Seorang
mahasiswa, 20 tahun mengeluh putih matanya berwarna kuning sejak satu minggu,
yang diketahui teman sekosnya. Pada anamnesis diketahui keluhan ini disertai febris sejak 10 hari, tidak sampai
menggigil, nausea dan vomitus. Hasil pemeriksaan dokter: sklera ikterik, hepatomegali, nyeri tekan regio
hipokondrida kanan, Murphy sign
negatif. Dokter curiga adanya infeksi pada penderita, lalu menyarankan tes
laboratorium darah. Hasilnya adalah leukopeni,
hiperbilirubinemia, peningkatan enzim
hepar, HbsAg negatif, Anti HAV positif, darah tebal tipis malaria negatif, serologi
untuk Salmonella thypi, Leptospirosis, dan DHF negatif. Teman satu kosnya juga ada yang menderita keluhan
seperti ini. Penderita sering makan di warung dekat tempat kosnya.
Tubuh manusia rawan
terhadap infeksi oleh berbagai mikroorganisme patogen. Agar dapat menyebabkan
terjadinya infeksi, mula-mula mikroorganisme harus mengadakan kontak dengan
hospes dan kemudian membentuk fokus infeksi. Mikroorganisme patogen mempunyai
pola hidup dan cara patogenesis yang berbeda-beda, sehingga memerlukan respon
pertahanan tubuh yang berbeda-beda pula. Tubuh mempertahankan diri terhadap
mikroorganisme patogen dengan berbagai cara. Fungsi fisiologik imun dipakai
untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Evolusi penyakit
infeksi pada seseorang melibatkan serangkaian interaksi antara mikroorganisme
dengan tubuh antara lain mulai dari masuknya mikroorganisme, invasi dan kolonisasi
dalam jaringan tubuh, proses menghindar dan proses penyembuhan luka. Apabila
proses pertahanan tubuh gagal mempertahankan keseimbangan akibat serangan
mikroorganisme, akan terjadi keadaan yang kita sebut sebagai infeksi. Karena
berbagai macamnya mikroorganisme patogen yang berupa bakteri, parasit dan virus
menyebabkan berbagai jenis penyakit dengan berbagai macam patogenesisnya
(Kaplain, 2000).
Berdasarkan
skenario di atas, maka mahasiswa tersebut kemungkinan diagnosisnya adalah
penyakit Hepatitis A. Hepatitis A merupakan penyakit virus swasirna dengan
distribusi di seluruh dunia yang disebabkan oleh virus hepatitis A, yang lebih
sering ditemukan di daerah dengan tingkat kebersihan rendah dan keadaan sosial
ekonomi rendah, ditularkan terutama melalui jalur oral-fekal, meskipun
transmisi parenteral juga mungkin, tidak terdapat keadaan karier. Masa inkubasi
sekitar 30 hari dengan durasi 15-50 hari. Kebanyakan kasus tidak tampak secara
klinis atau hanya bergejala seperti flu; ikterus jika ada biasanya ringan (Tim
EGC, 2006). Letusan penyakit ini terjadi akibat adanya kontaminasi air dan
makanan, terutama sering terjadi di negara berkembang.
Karena Hepatitis
A sering terjadi di negara tropis dan berkembang maka negara Indonesia ini yang
masuk ke dalam kedua kriteria tersebut mempunyai potensi besar untuk terjadinya
penyebaran penyakit tersebut. Untuk itu sebagai calon dokter yang baik, kita
harus mengetahui mengenai seluk beluk penyakit ini sehingga kelak jika menemui
kasus serupa di lapangan maka kita bisa melakukan penatalaksanaan yang tepat
dengan begitu maka prognosis pasien kita juga akan baik.
B.
RUMUSAN
MASALAH
·
Bagaimanakah anatomi, fungsi dari hepar
serta enzim yang dihasilkannya dan juga sedikit penjelasan mengenai metabolisme
bilirubin?
·
Bagaimanakah etiologi, patologi,
penyebab dan gejala klinis, cara mendiagnosis, komplikasi, prognosis dan juga
penatalaksanaan yang tepat dari Hepatitis A?
·
Apakah diagnosis banding dan sedikit
penjelasannya mengenai penyakit yang ada pada skenario tersebut?
·
Bagaimanakah patofisiologi dari
gejala-gejala yang ada di dalam skenario tersebut?
·
Apakah makna/ penjelasan singkat
mengenai berbagai macam pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dalam
skenario tersebut?
C.
TUJUAN
PENULISAN
§
Mengidentifikasi anatomi, fungsi serta
enzim yang dihasilkan hepar (hati) dan juga metabolisme bilirubin secara
singkat.
§
Mengidentifikasi etiologi, gejala
klinis, patofisiologi, patologi terjadinya, cara mendiagnosis, prognosis dan penatalaksanaan
yang tepat dari Hepatitis A.
§
Menjelaskan diagnosis banding yang bisa
dipakai berdasar kasus dalam skenario tersebut.
§
Menjelaskan mengenai maksud dari
pemeriksaan penunjang yang dilakukan.
D.
MANFAAT
PENULISAN
o
Mengetahui anatomi, fungsi serta enzim
yang dihasilkan hepar (hati) dan juga metabolisme bilirubin secara singkat.
o
Mengetahui etiologi, gejala klinis,
patofisiologi, patologinya, cara mendiagnosis, prognosis dan penatalaksanaan
yang tepat dari Hepatitis A.
o
Mengetahui maksud dari pemeriksaan
penunjang yang dilakukan.
E.
HIPOTESIS
Berdasarkan data
yang ada di dalam skenario tersebut terutama yang menginformasikan bahwa tes
Anti HAV positif, maka kelompok kami mendiagnosis pasien dalam skenario
tersebut menderita penyakit Hepatitis A,
dengan diagnosis bandingnya yaitu Malaria, Hepatitis B, Demam Tifoid,
Leptospirosis, DHF, dan beberapa kelainan hati lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
ANATOMI,
FUNGSI, ENZIM HEPAR DAN METABOLISME BILIRUBIN
Anatomi
dari hepar
Waktu lahir,
berat hati manusia sekitar 120-160 gram. Kemudian berat ini bertambah sesuai
dengan pertumbuhan anak. Pada umur 2 tahun berat hati bertambah 2 kali lipat,
pada usia 3 tahun beratnya menjadi 3 kali lipat, sedangkan pada umur 9 tahun
dan masa pubertas mencapai masing-masing 6 dan 10 kali berat hati waktu lahir,
jadi saat dewasa berat hati manusia dapat mencapai 1,2-1,8 kg. Hati berada di
bawah rongga dada dengan bagian atas memotong linea medioclavicularis dexter
pada SIC V-VI dan memotong linea axillaris dexter pada SIC VII. Batas bawah
berada 1 cm di bawah garis arcus costae dexter. Pendorongan hati dapat terjadi
karena kelainan dinding toraks seperti pda penyakit rakitis, pada beberapa
keadaan yang menyebabkan kelainan dinding perut seperti MEP berat dan amiotonia
kongenital. Tekanan intratorakal yang meningkat seperti pada empiema dan
pneumotoraks dapat menyebabkan perubahan letak hati akibat pendorongan. Abses
subfrenik serta perforasi usus berakibat peranjakan hati.
Fungsi
hati yaitu:
1. Hati
berperan dalam mempertahankan kadar gula darah dengan jalan membentuk dan
menyimpan glikogen. Glikogen dibentuk dari glukosa, levulosa, galaktosa dan
laktosa. Hati dapat juga merubah asam amino glikogenik dan gliserol menjadi
dekstrosa, yang kemudian diubah jadi glikogen (glikogenesis). Sedangkan glikogen
dapat diubah oleh hati menjadi glukosa sesuai dengan kebutuhan
(glikogenolisis).
2. Tempat
sintesis dan oksidasi lemak. Hampir semua lemak dimetabolisir di dalam hati.
Zat lemak yang dipadukan dengan lesitin akan membentuk fosfolipid yang mudah
diangkut dan dalam keadaan siap pakai. Kolesterol dibuat di hati dari asam
asetat, sedangkan esternya merupakan gabungan kolesterol dan asam lemak.
Lipoprotein plasma yang mengangkut trigliserida juga dibuat di hati. Hati
bersama ginjal memecah asam lemak berantai panjang menjadi benda-benda keton.
Benda keton ini akan banyak dihasilkan oleh tubuh pada masa kelaparan. Benda
keton akan dikeluarkan bersama air kemih.
3. Ureum
dibuat di hati dan merupakan deaminasi protein. Zat protein seperti fibrinogen,
globulin, dan protrombin dibuat di hati.
4. Vitamin
A, C dan D disimpan di hati. Hati juga mengolah bahan baku vitamin A
(provitamin A) menjadi vitamin A. Riboflavin, vitamin E dan K juga disimpan di
hati.
5. Hati
juga berfungsi sebagai pembentuk darah terutama pada masa neonatus dan juga
sebagai tempat cadangan penyimpanan zat besi.
6. Hati
berfungsi sebagai penawar racun yang membahayakan tubuh serta berupaya agar
bahan tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh dengan segera (Hassan, 1985).
Enzim dari hepar yaitu:
1. Golongan
Fosfatase
a. Fosfatase alkali
Kadarnya dapat meningkat sampai
4-5 kali normal pada ikterus kolestatik, sedangkan pada ikterus hepatoseluler
peninggiannya lebih kecil. Peninggian ini berasal dari fosfatase alkali di
dalam hati. Produksi enzim ini dapat dicegah apabila sintesis protein dalam
hati dihambat. Enzim ini terikat erat pada membran lipid terutama di daerah
kanalikulus. Asam empedu dianggap merupakan stimulus peninggiannya. Pada
kolestasis yang tidak lengkap, peninggian fosfatase melebihi bilirubin. Peninggian
juga dijumpai pada penyakit tulang, penyakit Hodgkin, dll.
b. 5-Nukleotidase
Enzim ini menghidrolisis
nukleotida pada posisi C-5 dari pentosa. Pada penyakit hepatobilier terutama
pada ikterus kolestatik terjadi peninggian, sedangkan pada penyakit tulang nilainya
tetap. Jadi pemeriksaan enzim ini bermanfaat untuk memastikan sebab peninggian
fosfatase alkali.
c. Gama-glutamil transpeptidase (gama-GT)
Enzim ini ditemukan pada berbagai
jaringan tubuh. Pada kolestasis dan penyakit hepatoselular terjadi peninggian. Pada
kolestasis peninggiannya terjadi bersama fosfatase alkali. Pada hepatitis,
peninggian masih tetap berlangsung selama beberapa bulan setelah hepatitis
sembuh.
2. Golongan
Transaminase
SGOT
adalah enzim mitokondria yang banyak ditemukan dalam jantung, hati, otot tubuh
dan ginjal. Nilainya meninggi bila terjadi kerusakan sel yang akut. SGPT adalah
enzim sitosol, jumlah absolutnya kurang dari SGOT, tetapi jumlahnya lebih
banyak di dalam hati dibandingkan dalam jantung dan otot tubuh. Peninggiannya
lebih khas untuk kerusakan hati. SGPT kurang stabil dalam serum yang disimpan.
Kedua enzim ini berguna untuk diagnosis dini hepatitis virus, terutama pada
keadaan epidemi dan anikterik. Pemeriksaan harus segera dilakukan karena
nilainya cepat menurun, misal terlihat pada hepatitis yang fatal.
3. Enzim-enzim
Lain
a.
Laktat
dehidrogenase
Pemeriksaan ini tidak begitu
sensitif untuk mendiagnosis kelainan hepatoselular, peninggian dapat terjadi
pada penderita neoplasma, terutama yang mengenai hati.
b.
Isositrat
dehidrogenase
Pemeriksaan enzim ini lebih
spesifik dibandingkan SGOT untuk memeriksa penyakit hati. Meninggi pada
kelainan hepatoselular, normal pada infark miokard.
c.
Kolinesterase
Enzim ini merupakan suatu
esterase non spesifik, disintesis oleh hati. Pada sirosis kadarnya menurun
karena sintesis berkurang disertai gizi yang jelek.
(Sudoyo, 2006)
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah
anion organik yang berwarna oranye dengan berat molekul 584. Bilirubin berasal
dari heme yang merupakan gabungan protoporfirin dengan besi, 80% heme berasal
dari perombakan eritrosit, sisanya dari heme non eritrosit seperti mioglobin,
sitokrom, katalase, dan peroksidase serta hasil sistem eritropoetik yang tidak
efektif. Oleh enzim hemoksigenase, heme diubah menjadi biliverdin yang kemudian
diubah lagi menjadi bilirubin atas pengaruh enzim bilirubin reduktase.
Proses tersebut
berlangsung di dalam jaringan sistem retikuloendotelial. Bilirubin yang masuk
ke dalam darah akan diikat oleh albumin dan dibawa ke hati. Bilirubin mempunai
daya larut yang tinggi terhadap lemak dan kecil terhadap air, sehingga pada
reaksi van den Bergh, zat ini harus
dilarutkan dulu dalam akselertor (metanol atau etanol) sehingga disebut bilirubin indirek. Zat ini sangat
toksik, terutama untuk otak. Pengikatan dengan albumin merupakan upaya tubuh
untuk menyingkirkan bilirubin indirek dari tubuh dengan segera. Daya ikat
albumin-bilirubin (kapasitas ikat total) berkisar 25 mg/dl. Bilirubin ndirek
mudah memasuki hepatosit berkat adanya protein akseptor sitoplasmik Y dan Z
hepatosit. Di dalam hepatosit blirubin akan diikat asam glukoronat yang berasal
dari asam uridin difosfoglukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transferase.
Hasil gabungan ini larut dalam air sehingga disebut bilirubin direk ataubilirubin
terikat (conjugated bilirubin). Selain dalam bentuk diglukoronida dapat
juga berbentuk ikatan monoglukoronida atau ikatan dengan glukosa, xylosa dan
sulfat. Bilirubin konjugasi dikeluarkan melalui proses yang tergantung dari
energi ke dalam sistem bilier. Bilirubin yang diekskresikan ke dalam usus akan
diubah menjadi sterkobilin. Enzim glukoronil
transferase diinduksi oleh fenobarbital. Fenobarbital juga menambah protein
akseptor Y. Bilirubin direk dikeluarkan melalui mwmbran kanalikuli ke saluran
empedu.
Bilirubin direk ditampung dalam kantong empedu
yang kemudian dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan. Di dalam saluran ini
bilirubin direk akan direduksi oleh bakteri menjadi urobilinogen. Sebagian
urobilinogen akan diserap usus, masuk ke dalam darah dan selanjutnya akan dikeluarkan
oleh ginjal bersma urine. Bilirubin direk sebagian besar diserap oleh ileum
terminal secara akti, sebagian kecil yang tidak diserap masuk ke dalam kolon,
dirusak oleh bakteri usus menjadi bilirubin indirek. Sebagian dari bilirubin
ini diserap secara pasif oleh kolon. Melalui vena porta bilirubin ini memasuki
hati dan dikeluarkan lagi ke dalam sistem bilier/ sirkulasi enterohepatik
(Hassan, 1985).
B.
DIFFERENTIAL
DIAGNOSIS YANG SESUAI KASUS PADA SKENARIO
1.
PENYAKIT
HEPATITIS
Penyakit Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa
jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel
organ hati manusia. Hepatitis diketegorikan beberapa golongan, diantaranya hepatitis
A,B,C,D,E,F dan G.
a.
Hepatitis A
Definisi.
Hepatitis A adalah golongan penyakit Hepatitis yang ringan dan
jarang sekali menyebabkan kematian, Virus hepatitis A (VHA) penyebarannya
melalui kotoran/ tinja penderita yang penularannya melalui makanan dan minuman
yang terkomtaminasi (fekal-oral), bukan melalui aktivitas sexual atau melalui
darah.
Etiologi. HAV adalah virus RNA tidak berkapsul, ukuran 27 nm,
ikosahedral, kubik simetris. Merupakan anggota famili Picornaviridae, genus Hepatovirus.Virus
ini stabil dalam panas dan asam. Transmisi melalui fekal-oral; penyebaran utama
paling sporadis adalah dari ekskresi orang sakit ke orang sehat. Antigennya HAV
antigen; antibodinya adalah anti HAV. Virio mengandung 4 polipeptida kapsid
yang ditandai VP1-VP4 yg dihasilkan dari pembelahan produk poliprotein suatu
genom nukleotida 7500 pasca translasi. Masa inkubasi kurang lebih 4 mgg (10-50
hari; rata-rata 25-30).
(Behrman, 2000)
Manifestasi Klinis. Manifestasi klinik dari hepatitis A dapat ikterik atau non
ikterik. Pada fase pra-ikterik (fase prodromal) terdapat sedikit demam, anoreksia,
mual, muntah-muntah dan nyeri perut, lelah; lamanya beberapa hari sampai dua
minggu. Fase ikterik biasanya timbul sesudah gejala demam dan gejala gastrointestinal
mereda, sklera menjadi ikterus, kencing warna gelap, pembesaran hati disertai
rasa nyeri, splenomegali. Kira-kira 5-10% menunjukkan gejala seperti penyakit
serum yang disebabkan komplek imun daripada virus yang bersirkulasi, yaitu
sakit sendi, nyeri otot, demam dan rash. Permulaan
penyakit daripada hepatitis A biasanya akut.
(Nurman, 2008)
Patogenesis. Berawal karena timbulnya jejas, tanpa
memandang mekanisme jejas awal terhadap hati, cedera akibat hepatitis virus
nyata dalam 3 cara: merupakan refleksi
jejas pada hepatosit, yang melepaskan ALT dan AST ke dalam aliran darah. ALT
lebih spesifik pada hati daripada AST
yang juga bisa naik ketika cedera
eritrosit, otot skelet, sel miokardium. hepatitis virus juga disertai
ikhterus kolestatis, dimana kadar bilirubin direk and indireknya naik. ikhterus
akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera terhadap hepatosit. kenaikan
alkali fosfatase serum, 5’-nukleotidase, gama-glutamil transpeptidase, dan
urobilonogen serum merefleksikan cedera terhadap system biliaris (Behrman,
2000).
Penegakan Diagnosis. Dengan Anamnesis mengenai: adanya riwatyat ikterus pada
keluarga atau teman dekat, gejala mulai dari asimptomatis sampai simptomatic
berupa: demam, malaise, nausea, vomitus, anoreksia, diare pada anak, konstipasi
pada dewasa, nyeri kuadran kanan aas perut, urin gelap. Lalu dengan pemeriksaan
fisik ada hepatomegali. Pemeriksaan Penunjang yaitu tes darah hati: menunjukan
kelainan hepatoselular akut( kenaikan predominan dari SGOT, dengan kenaikan
bilirubin dan fosfatase alkali yang lebih tidakjelas), pemeriksaan feses
ditemukan HAV sekitar 1-2 minggu, pemeriksaan serologis: Anti HAV timbul dalam fraksi IgM
selama fase akut, Ig-G anti HAV timbul setelah onset penyakit dan bertahan
selama sepuluh tahun; dan tes ELIZA (Sudoyo, 2006).
Pencegahan. Pencegahan
dapat dilakukan dengan menjaga sanitasi/ kebersihan lingkungan sekitar; dengan
pencegahan radang hati malalui penghindaran terhadap penebabnya, misalnya
alkohol maupun obat-obatan yang merusak hati. Melakukan
vaksinasi HAV secara IM pada otot
deltoideus; ataupun dengan Ig/imunoglobulin
(mengandung anti-HAV) → perlindungan sebelum dan sesudah terpajan HAV.
b.
Hepatitis B
Definisi. Hepatitis B adalah penyakit hepatitis yang disebabkan oleh vrius
hepatitis B (HBV) yang dapat berakibat terjadinya hepatoma dan sirosis hati.
Etiologi. HBV adalah anggota famili Hepadnaviridae (Hepadnavirus tipe 1), genus Orthohepadnavirus,
kelompok virus DNA hepatotropik nonsitopatik, mempunyai genom DNA sirkuler,
sebagai helai ganda tersusun sekitar 3.200 nukleotid. Empat gena yang telah
dikenali yaitu gana S, C, X dan P. Stabiltas sensitif
asam,transmisi secara parenteral. Replikasi terjadi dalam hati, limpa, ginjal,
pankreas.
Komponen
sistem :
§ HBsAg:
antigen permukaan hepatitis B; positif kira-kira 2 minggu sebelum timbul gejala
klinis.
§ HBeAg:
antigen hepatitis B e. Dihubungkan dengan nukleokapsid HBV; menunjukkan
replikasi virus; beredar sbg antigen yang dapat larut dalam serum.
§ HBcAg: antigen inti (core) hepatitis B.
§ Anti-HBs: antibodi terhadap HBsAg. Menunjukkan infeksi
HBV masa lalu dan imunitas terhadap HBV.
§ Anti-HBe: antibodi terhadap HbeAg, adanya antibodi
tersebut dalam serum carrier HBsAg menunjukkan titer HBV lebih rendah.
§ Anti-HBc: antibodi terhadap HBcAg. Menunjukkan infeksi
HBV pada masa lampau pada waktu yang tidak dapat ditentukan.
§ IgM anti –HBc: antibodi golongan IgM terhadap HbcAg.
Menunjukkan infeksi HBV yang baru terjadi ; positif pada 4-6 bulan setelah
infeksi (Behrman, 2000).
Patogenesis. Hepatitis B merupakan virus nonsitopatis yang mungkin
nenyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah pertama dalam
proses hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, sehingga muncul
antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting adalah antigen
nukleokapsid, HbcAg dan HbeAg. Antigen ini bersama protein histokompatibilitas
(MHC) mayor kelas 1, membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis.
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti baik. Untuk
memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas 1
tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksis tidak dapat diaktifkan, atau beberapa
mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit.
Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang mengandung
virus harus bertahan hidup.
Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada
keadaan ekstrahepatis yang dapat dihubungkan
dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang sedang bersirkulasi yang
mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang mengalami poliartritis,
glomerulonefritis, polimialgia reumatika, krioglobulinemia (Behrman, 2000).
Manifestasi Klinik.
Berlangsung dalam dua fase yaitu fase preikterik, yang ditandai demam (37,8-40oC), sakit
kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit perut, artralgia dan urtikaria;
hepatomegali, spenomegali, dan limfadenopati. Sedangkan pada fase ikterik, gejala ikterik mulai
timbul pada saat demam menurun yang didahului dengan urin yang berwarna gelap
(biliuria). Pada orang dewasa bisa timbul depresi, bradikardia dan pruritus,
pada anak tidak. Hepatospenomegali, dan tinja bisa berwarna seperti tanah liat.
Fase ikterik berlangsung terus-menerus selama kuarng lebih 8-11 hari
(Rampengan, 2007).
Penegakan
Diagnosis. Dengan adanya
HBsAg dalam darah penderita menunjukkan adanya infeksi virus hepatitis. HBsAg
dapat terdeteksi dengan metode RIA 6-30 hari setelah kontak pertama secara
parenteral dan 56-60 hari setelah kontak secara oral. HBsAg ada selama akhir
masa inkubasi dan selama fase ikterik, hilang setelah timbul gejala ikterus.
Aktivitas SGOT meningkat secara bertahap setalah masa inkubasi (30-60 hari).
Antibodi terhadap HBsAg lambat timbul, kira-kira 1-2 bulan setelah HBsAg tidak
terdeteksi. Anti HBcAg merupakan pertanda serologis infeksi HBV akut yang
berharga karena muncul hampir seawal HBsAg dan terus ada dalam perjalanan
penyakit bila HBsAg telah hilang (Rampengan, 2007; Behrman, 2000).
Pengobatan. Pengobatannya bersifat simptomatik dan suportif, belum
ada pengobatan yang spesifik.
o
Istirahat yang
cukup, aktivitas normal biasanya dimulai secara bertahap. Penderita dengan
keadaan umum jelek seperti somnolen, kejang, muntah, disertai komplikasi berat,
didukung hasil pemeriksaan bilirubin direk lebih dari 10 mg/dl dan SGPT di atas
10x normal, harus dirawat di rumah sakit.
o
Diet, sesuai selera
penderita. Untuk mengatasi anoreksia dapat diberikan cairan seperti air daging,
sari buah., tidak ada kontraindikasi terhadap lemak.
o
Suplementasi
vitamin terutama vitamin B kompleks.
o
Obat-obatan seperti
kortikosteroid tidak dianjurkan untuk hepatitis yang tanpa disertai komplikasi
(Rampengan, 2007).
Komplikasi dan
Prognosis. Terjadi hepatitis fulminan akut, juga bisa terjadi
hepatitis kronis yang dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler
primer. Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan komplemen dan HbeAg
pada kapiler glomerulus jarang terjadi. Mortalitas HB berkisar 83% (Behrman,
2000).
c.
Hepatitis C
Definisi. Hepatitis C sering kali
dikenal sebagai kasus yang hampir semua didapat secara parenteral dari apa ang
sebelumna dikenal sebagai hepatitis non-A non-B.
Etiologi. HCV merupakan virus RNA helai tunggal yang telah diklasifikasikan
dalam genus tersendiri dalam famili Flaviviridae.
Merupakan virus terbungkus, ukuran 50-60 nm yang ditularkan terutama oleh darah
dan produk darah, penggunaan obat intravena, dan kontak sosial (Behrman, 2000).
Patogenesis. HCV menyebabkan cedera terutama melalui mekanisme sitopatik,
tetapi cedera yang diperantarai imun juga dapat terjadi. Komponen sitopatik
tampak ringan, karena bentuk akut adalah khas paling kurang berat dari semua
infeksi virus hepatitis; HCV jarang menjadi fulminan (Behrman, 2000).
Manifestasi Klinik dan
Komplikasi. HCV merupakan hepatitis virus yang paling mungkin menyebabkan
infeksi kronis; sekitar dua pertiga infeksi pasca transfusi dan sepertiga kasus
sporadik didapat di masyarakat akan jadi kronis. Walaupun kenaikan kadar
aminotransferase kronis lazim, HCV kronis akan memburuk menjadi sirosis, dan
karsinoma hepatoseluler primer dapat berkembang pada penderita dengan sirosis,
tetapi HCV kurang efektif daripada HBV dalam menyebabkan karsinoma hepatoseluler
primer (Behrman, 2000).
Penegakan Diagnosis. Ada assay serologis
untuk HCV yang didasarkan pada perkembangan antibodi terhadap antigen HCV
karena antigen tidak dapat terdeteksi dalam darah. Assay dipakai terutama untuk
mendeteksi Hepatitis C kronis karena biasanya tetap negatif selama 1-3 bulan
sesudah muncul penakit klinis. Assay generasi kedua adalah standar sekarang dan
uji untuk 3 dari 5 epitop antigenik yang diketahui. Assay untuk RNA viruss
(reaksi rantai polimerase [RRP], hibridisasi in situ) juga bisa tapi mahal dan terbatas (Behrman, 2000).
d.
Hepatitis D
Etiologi. HDV merupakan virus binatan yang diketahui paling kecil, dianggap
kurang sempurna karena tidak bisa menghasilkan infeksi tanpa bersamaan dengan
infeksi HBV. Diameter virus 36 nm, tidak mampu membuat selaput proteinnya
sendiri, selaput luarnya tersusun dari kelebihan HbsAg HBV. Core virus sebelh
dalam adalah RNA sirkuler helai tunggal yang mengekspresikan antigen HDV.
Patofisiologi. Masa inkubasi untuk superinfeksi HDV sekitar 2-8 minggu, jika
infeksi bersama, masa inkubasinya sama dengan infeksi HBV. HDV menyebabkan
cedera secara langsung melalui mekanisme sitopatik , sehingga jika kombinasi
akan menimbulkan manifestasi yang berat. Mekanisme patogenesis kedua adalah
superinfeksi dari orang ang menderita HBV kronis disertai infeksi HDV.
Manifestasi Klinis. Gejalanya serupa dengan infeksi virus hepatitis lain tapi
biasanya lebih berat. Akibat klinis karena infeksi HDV tergantung mekanisme
infeksi. Pada infeksi bersama, hepatitis akut yang jauh lebih berat daripada
karana HBV saja, biasanya terjadi. Pada superinfeksi, penyakit akut jarang
sedangkan hepatitis kronis lazim dan risiko hepatitis fulminan tinggi (Behrman,
2000).
Diagnosis. Virus belum diisolasi dan tidak ada antigen dalam sirkulasi yang
telah dikenali. Diagnosis dibuat dengan mendeteksi antibodi IgM terhadap HDV;
antibodi terhadap HDV sekitar 2-4 minggu sesudah infeksi bersama dan sekitar 10
minggu sesudah superinfeksi. Assay RRP untuk RNA virus juga tersedia.
e.
Hepatitis E
HEV
merupakan virus RNA tidak terbungkus, bentuknya bulat dengan tonjolan-tonjolan
serupa kalisivirus. Infeksi disertai pelepasan partikel 27-34 nm dalam tinja.
Tanda patologis serupa dengan virus hepatitis lain. HEV tampak berperan sebagai
virus sitopatik. Manifestasi klinis serupa
dengan hepatitis A tetapi biasanya lebih berat, mengenai penderita pada usia
puncak 15-34 tahun dan mempunyai angka mortalitas yang tinggi pada wanita hamil
(Behrman, 2000).
2.
MALARIA
Definisi. Malaria
merupakan penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh plasmodium,ditandai
dengan gejala demam rekuren, anemia, dan hepatosplenomegali.
Etiologi. Ada empat tipe
plasmodium parasit yang dapat meng-infeksi manusia, namun yang seringkali
ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium
falciparum (malaria tropika) dan Plasmodium
vivax (malaria tertiana). Lainnya adalah Plasmodium ovale (malaria ovale) dan Plasmodium malariae (malaria quartana).
Patogenesis dan patologi.
Patogenesis malaria ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Skizogoni menyebabkan
kerusakan eritrosit sehingga menimbulkan anemia.
Limpa
membesar mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam
limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dan
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pembesaran limpa biasa
ditemui dengan peningkatan IgM. Selain itu juga sering terjadi hepatomegali
karena sel-sel Kupffer yang terlibat dalam respon fagositosis (Behrman, 2000).
Patofisiologi. Gejala malaria
timbul pada saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang paling
mencolok adalah demam yang disebabkan oleh pirogen endogen (TNF dan IL-1).
Demam menyebabkan vasodilatasi perifer. Splenomegali yang terjadi karena
peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem RES
untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit
akibat hemolisis. Pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem RES juga menyebabkan
anemia. Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan
infeksi ulangan. Namun, tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi
(Rampengan, 2007).
Gambaran klinis. Masa
tunas/inkubasi penyakit ini dapat beberapa hari sampai beberapa bulan yang
kemudian barulah muncul tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh penderita seperti
demam, menggigil, linu atau nyeri persendian, kadang sampai muntah, tampak
pucat/anemis, hati serta limpa membesar, air kencing tampak keruh/ pekat karena
mengandung Hemoglobin (Hemoglobinuria), terasa geli pada kulit dan mengalami
kekejangan. Namun demikian, tanda yang klasik ditampakkan adalah adanya
perasaan tiba-tiba kedinginan yang diikuti dengan kekakuan dan kemudian
munculnya demam dan banyak berkeringat setelah 4 sampai 6 jam kemudian, hal ini
berlangsung tiap dua hari. Diantara masa tersebut, mungkin penderita merasa
sehat seperti sediakala. Pada usia anak-anak serangan malaria dapat menimbulkan
gejala aneh, misalnya menunjukkan gerakan / postur tubuh yang abnormal sebagai
akibat tekanan rongga otak. Bahkan lebih serius lagi dapat menyebabkan
kerusakan otak.
Penegakan diagnosa. Dengan
adanya tanda dan gejala yang dikeluhkan serta tampak oleh Tim kesehatan, maka
akan segera dilakukan pemeriksaan laboratorium (khususnya pemeriksaan darah)
untuk memastikan penyebabnya dan diagnosa yang akan diberikan kepada penderita.
Selain pemeriksaan darah, diagnosis malaria juga dapat menggunakan tes
serologis seperti IFA, IHA, ELISA.
Pengobatan. Berdasarkan pemeriksaan, baik secara
langsung dari keluhan yang timbul maupun lebih berfokus pada hasil laboratium
maka dokter akan memberikan beberapa obat-obatan kepada penderita. Diantaranya
adalah pemberian obat untuk menurunkan demam seperti paracetamol, vitamin untuk
meningkatkan daya tahan tubuh sebagai upaya membantu kesembuhan. Sedangkan obat
antimalaria biasanya yang dipakai adalah Chloroquine, karena harganya
yang murah dan sampai saat ini terbukti efektif sebagai penyembuhan penyakit
malaria di dunia. Namun ada beberapa penderita yang resisten dengan pemberian
Chloroquine, maka beberapa dokter akan memberikan antimalaria lainnya seperti
Artesunate-Sulfadoxine/pyrimethamine, Artesunate-amodiaquine,
Artesunat-piperquine, Artemether-lumefantrine, dan Dihidroartemisinin-piperquine
(Rampengan, 2007).
3.
LEPTOSPIROSIS
Definisi. Leptospirosis
merupakan infeksi menyeluruh manusia dan bintang yang disebabkan oleh
spirochaeta genus Leptospira (zoonosis). Nama lainnya yaitu mud fever, slime fever, swamp fever,
autumnal fever, infectious joundice, field fever.
Etiologi. Banyak ditemukan
di daerah beriklim tropis, termasuk di Indonesia. Ada 2 kelompok dari genus
Leptospira yaitu yang patogen terhadap manusia dan hewan → Leptospira interrogans, sedangkan yang nonpatogen yaitu Leptospira biflexa. Leptospira interrogans ada
16 subgrup yaitu: L. icterohaemorrhagiae,
L. pomona, L. canicola, L. tarassovi,
L. pyrogenes, L. autumnalis, L. bataviae,
L. javanica, L. calledoni, L. collum, L. cynopteri, L. australis, L.
grippityphosa, L. hebdomadis, L. panama dan L. andamana (Sudoyo, 2006).
Patogenesis dan patologi.
Leptospira masuk ke daam tubuh melalui kulit, selaput lendir, oral, nasal, dll →
masuk ke dalam darah → berkembang biak → menyebar ke seluruh tubuh terutama di
organ-organ yang secara imunologis terisolasi (ginjal).
Infeksi
Leptospira → menghasilkan endotoksin → merusak endotel dinding kapiler → menyebabkan
pemanjangan masa perdarahan dan gangguan hemostasis.
Manifestasi klinis.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan
fase imun. Fase leptospiremia, fase
ini ditandai dengan adanya leptospira dalam darah dan cairan serebrospinal,
berlangsung dengan tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala, mialgia, demam
tinggi yang disertai menggigil, mual dengan atau tanpa mutah, dan juga
kadang-kadang hepatosplenomegali. Fase
imun, fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul
demam tinggi disertai menggigil, mialgia, ikterik, dan meningitis (Behrman,
2000).
Penegakan diagnosis. Gejala
atau keluhan yang didapatkan adalah demam, sakit kepala, mual, muntah, dll.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam, bradikardi, mialgia, hepatomegali,
dll. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin, urin
dan serologi (Behrman, 2000).
Pengobatan. Pemberian
antibiotik harus dimulai secepat mungkin. Jenis antibiotik yang dapat diberikan
adalah penicillin, amoxicillin, ampicillin, dll (Sudoyo, 2006).
4.
DEMAM
TIFOID
Definisi. Demam tifoid
merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
Etiologi. Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella
typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil, dan tidak menghasilkan
spora. Salmonella typhosa mempunyai 3
macam antigen, yaitu: antigen O (antigen somatik), antigen H, antigen V. Ketiga
macam antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan aglutinin
(Rampengan, 2007).
Patogenesis. Kuman
Salmonella masuk bersama makanan dan minuman ke usus halus → invasi ke jaringan
limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika → menyebabkan
nekrosis dan peradangan setempat → kuman melewati pembuluh life masuk ke darah
(bakteria primer) → menuju ke organ RES terutama hati dan limpa → kuman
berinkubasi selama 5-9 hari → kuman kembali masuk ke darah dan menyebar k
seluruh tubuh (bakteria sekunder) → kuman mengeluarkan endotoksin yang
menyebabkan gejala-gejala demam tifoid.
Salmonella
typhosa mengeluarkan endotoksin → merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen
oleh leukosit → zat pirogen beredar dalam darah → merangsang pusat
termoregulator di hipotalamus → timbul demam (Rampengan, 2007).
Manifestasi klinis. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai
infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Setelah minggu kedua, gejala dan tanda klinis makin jelas
seperti demam remiten, lidah tifoid
(tegah kotor, pinggir dan ujung kemerahan), dan hepatomegali.
Penegakan
diagnosis. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakan melalui
pemeriksaan serologis dan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan serologis yang
dapat digunakan adalah tes Widal. Tes Widal disebut tidak spesifi karena semua
grup Salmonella mempunyai antigen O dan mempunyai fase H antigen. Titer H tetap
meningkat dalam waktu sesudah infeksi. Pemeriksaan bakteriologis untuk
diagnosis pasti demam tifoid dapat dilakukan dengan menemukan Salmonella typhosa pada salah satu
biakan darah, feses, urine, sumsum tulang, maupun cairan duodenum. Untuk
membedakan demam tifoid dengan penyakit infeksi lain yang mnyerupai demam
tifoid harus berpegang pada anamnesis, gejala dan tanda klinis, serta
pemeriksaan laboratorium.
Komplikasi. Komplikasi demam tifoid dapat dibagi menjadi 2 bagian:
komplikasi usus halus (perdarahan, perforasi, peritonitis) dan komplikasi di
luar usus halus (kolesistitis, meningitis, ensefalopati).
Penatalaksanaan. Penderita demam tifoid dapat dirawat dengan perawatan
yang intensif, diet dan pemberian obat antimikroba (kloramfenikol, tiamfenikol,
siprofloksasin, ampisilin, amoksisilin, dll). Pencegahan yang dapat dilakukan
adalah upaya kebersihan lingkungan dan pemberian vaksin (Rampengan, 2007).
5.
DENGUE
HEMORRAGIC FEVER
Definisi. Demam dengue
(DF) adalah penyakit febris-virus akut, seringkali disertai dengan sakit kepala
nyeri tulang atau sendi otot, ruam dan leukopenia sebagai gejalanya. Demam
berdarah dengue (DHF) ditandai oleh 4 manifestasi klinis utama : demam tinggi,
fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali, dan pada kasus berat,
tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok hipovolemik
yang diakibatkan oleh kebocoran plasma dimana ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Syok ini
disebut sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).
Etiologi. DBD Adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae, dengan
genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal
dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai
tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virusnya.
Patogenesis. Virus dengue
bereplikasi dalam limfosit dan bertransformasi menjadi banyak dan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Kompleks ini mengakibatkan
teraktivasinya sistem komplemen (C3a dan C5a) sehingga permeabilitas pembuluh
darah meningkat, hilangnya fungsi agregasi dari trombosit sehingga terjadi
trombositopenia dan perdarahan, serta teraktivasinya faktor Hageman sehingga
terjadi pembekuan intravaskuler yang meluas (Rampengan, 2007).
Manifestasi klinik. Demam
tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 1-7hari.
Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
- Uji
tourniquet positif
-
Petekia, ekimosis, purpura
-
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
-
Hematemesis dan atau melena
-
Hematuria
-
Pembesaran hati (hepatomegali).
-
Manifestasi syok/renjatan (Behrman, 2000).
Pemeriksaan Penunjang. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, hasilnya yaitu Trombositopenia
(penurunan pada jumlah trombosit sampai di bawah 100.000/mm3),
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20%, leukopenia sampai
lekositosis ringan, hipoproteinemia akibat kebocoran plasma, Masa tromboplastin
parsial dan masa protombin memanjang, Masa tromboplastin parsial dan masa
protombin memanjang, Imunoserologi dan Foto rontgen atau foto thoraks.
Penatalaksanaan. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi,
Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna
(Sudoyo, 2006).
6.
KOLESISTITIS
Definisi. Kolestitis
merupakan radang kandung empedu disebabkan oleh statis dinding empedu, ischemia
dinding empedu, dan bakteri (Sudoyo, 2006).
Patogenesis. Akibat kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi
mengakibatkan stasis di duktus sistikus (batu kandung empedu yg terletak di
duktus sistikus) mengakibatkan kolesistitis. Bakteri patogen yg dilaporkan dpt
menimbulkan infeksi adl Streptococcus
(grup A dan B), organisme gram negatif (terutama Salmonella), dan Leptospira
interrogans. Infeksi parasit dg askaris atau Giardia lamblia mungkin ditemukan.
Penegakan Diagnosis. Anamnesis:
kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan
suhu tubuh, Nausea dan muntah sering terjadi. pmx fisik, teraba massa kandung
empedu, nyeri tekan disertai tanda2 peritonitis lokal (Murphy’s sign). Pemeriksaan Penunjang : Pmx lab menunjukkan adanya
leukositosis dan mungkin peningkatan serum transaminase dan fosfatase alkali
(enzim2 hati), Pmx USG (nilai kepekaan dan ketepatan mencapai 90-95%) sebaiknya
dilakukan scr rutin utk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung
empedu, batu, dan saluran empedu ekstrahepatik. Terlihatnya gambaran duktus
koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pd pmx kolesistografi oral atau
skintigrafi (menggunakan agen radioaktif IV) sangat mendukung diagnosis
kolesistitis akut. Pmx CT scan
abdomen mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yg kecil yg mgkn tdk
terlihat pd USG.
Penatalaksanaan. Pengobatan
paliatif utk pasien adl dg menghingdari makanan dg kandungan lemak tinggi.
Pengobatan umum mencakup istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik
pd fase awal sangat penting utk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis,
dan septisemia. Gol ampisilin, sefalosporin, dan metronidazol ckup memadai utk
mematikan kuman2 yg umum pd kolesistitis. Kolesistektomi (pengangkatan kandung
empedu) dilakukan pd kolesistitik akut yg disertai gejala2 berat dan diduga
terdpt pembentukan nanah atau bila tdk terjadi perbaikan dlm beberapa hari.
Kolesistektomi jg dianjurkan bagi sebagian besar pasien kolesistitis kronik dg
atau tanpa batu empedu yg simtomatik (Sudoyo, 2006).
7.
ABSES
HATI
Definisi. Abses hati adalah
suatu bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit,
jamur, maupun nekrosis pada sistem gastrointestinal ditandai dengan adanya proses supurasi (Tim EGC, 2006).
Klasifikasi. Ada 2 macam
abses hati yaitu:
Ø
Abses
Hati Amebik (AHA), adalah salah satu komplikasi dari amebiasis ekstra intestinal
atau disentri amoeba oleh strain virulen E.
Histolytica.
Patogenesis
→
mencairnya sel hati nekrotik akibat enzim proteolitik amoeba, nekrosis karena tersumbatnya
cabang vena porta oleh pus.
Ø
Abses
Hati Piogenik (AHP) disebabkan oleh strain virulen Enterobacteriaceae, Microaerophilic Streptococci, Anaerobic
Streptococci, Klebsiella Pneumoniae, Bacteriodes, Fusobacterium, Staphilococcus
Aureus, S. Milleri, Candida Albicans, Aspergillus, Actomyces, Eikenella
Corrodens, Yersinia Enterolitica, Salmonella Typhii, Brucelia Melitensis, dan
Fungal, serta trauma tusuk / trauma
tumpul, dan kriptogenik (idiopatik), komplikasi appendicitis dgn pylephlebitis,
kolangitis dan kolesistitis, menyebabkan bacteria sistemik.
Patogenesis
→
melalui penyebaran hematogen/ langsung dari tempat terjadinya infeksi melalui
sirkulasi portal dan sistemik, hati menerima darah sehingga sangat poten untuk
terjadi paparan berulang menyebabkan terjadinya suatu infeksi. jika terjadi
penyakit sist.biliaris maka akan terjadi obstruksi aliran empedu yang akan
menyebabkan proliferasi bakteri, akibat tekanan dan jg distensi kanalikuli akan
melibatkan vena portal dan limfatik terbentuk formasi abses fileflebitis (mikroabses),
akan menyebar secara hematogen hingga menyebabkan bakteremia sistemik. Sedangkan
penetrasi akibat trauma tusuk menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati,
sehingga menyebabkan AHP. Untuk penetrasi trauma tumpul, mengakibatkan nekrosis
hati, pendarahan intrahepatik, dan terjadi kebocoran saluran empedu sehingga
terjadi kerusakan kanalukuli. akibatnya bakteri bisa masuk ke hati, kemudian
terjadi pertumbuhan bakteri dan juga proses supurasi dan pembentukkan pus (Sudoyo, 2006).
Penegakan Diagnosis. Anamnesis,
pemeriksaan fisik ditemukan febris ringan hingga demam tinggi, nausea &
vomitus, anoreksia, ikterus, buang air kecil berwarna gelap dan buang air besar
berwarna seperti kapur. Palpasi
hepatomegali, perkusi didapatkan nyeri tekan pada hepar yang dapat diperberat dengan
pergerakan abdomen, kemudian dapat ditemukan splenomegali saat kronik, dapat
ditemukan asites, ikterus, serta tanda-tanda
hipertensi portal. Hasil tes
lab: Leukositosis , anemia,
peningkatan LED, peningkatan Alkali Fosfatase, peningkatan enzim transaminase,
dan serum bilirubin, kemudian berkurangnya kadar albumin serum dan waktu
protrombin memanjang, menunjukkan terjadinya kegagalan fungsi hati akibat AHP. Abdominal CT-Scan, Ultrasonografi
abdominal, Ultrasound-Guided Aspirate 4 Culture dan Special Stains; Gallium dan
Technectium Radionuclide juga biopsy hepar.
Penatalaksanaan. Secara
konvensional dilakukan drainase terbuka melalui operasi dan antibiotik spectrum
luas menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi computer, kadang-kadang dilakukan reseksi
hati. Medikamentosa: awalnya digunakan penicillin, kemudian dapat
dikombinasikan dengan ampisilin, aminoglikosida atau sefalosporin generasi III
dan klindamisin atau metronidazol, jika dalam 48-72 jam tanpa hasil, digunakan
antibiotika yang berbeda, yaitu antibiotika sesuai dengan hasil kultur
sensitivitas aspirat abses hati (Sudoyo,2006).
BAB
III
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis (febris sampai 10 hari, tidak
sampai menggigil, nausea, vomitus), pemeriksaan fisik (sklera ikterik,
hepatomegali, nyeri tekan regio hipokondria kanan, Murphy sign negatif), serta
pemeriksaan laboratorium maka kelompok kami mendiagnosis bahwa mahasiswa
tersebut menderita Hepatitis A.
HVA disebabkan
oleh virus RNA, berukuran 27 nm. Penyebaran penyakit terutama melalui kontak
langsung secara oral-fekal. Masa inkubasi 15--50 hari (rata-rata 28 hari).
Virus ditemukan pada tinja pada akhir periode inkubasi sampai fase permulaan
dari periode prodromal. Penyebaran virus menghilang dengan cepat demikian
ikterus menjadi jelas. Zat anti terhadap VHA tipe IgM didapatkan dalam darah
selama fase akut dimana aktivitas transaminase tinggi dan penyebaran virus
melalui tinja telah berkurang, dan zat anti ini jarang masih ada sesudah masa 6
bulan. Zat anti terhadap VHA tipe IgG timbul selama fase penyembuhan dan
menetap seumur hidup.
Febris yang
timbul disebabkan karena virus hepatitis A (HAV) yang menginfeksi melepaskan
eksogen pirogen. Eksogen pirogen ini merangsang leukosit untuk melepaskan
endogen pirogen. Kompleks yang terbentuk antara HAV dan leukosit (kompleks
antigen antibodi) merangsang pusat termoregulator di hipotalamus sehingga suhu
tubuh lebih dari normal. Selain itu infeksi HAV juga menghasilkan suatu toksin
yang mengganggu fungsi saraf khususnya N. V,VII, IX, X, XII. Nervus-nervus ini
menyebabkan kontraksi yang berlebihan pada saluran pencernaan bagian atas
sehingga timbul ransangan mual (nausea). Rangsangan mual dapat berakibat
timbulnya muntah (vomitus).
Infeksi HAV pada
sel-sel parenkim hati menyebabkan sel-sel hati mengalami nekrosis. Karena
nekrosis ini, kerja dari enzim-enzim hepar menjadi terganggu. Enzim ALT (SGPT)
dan AST (SGOT) yang seharusnya bekerja di hepar terlepas ke dalam darah oleh
hepatosit. Oleh sebab itu, pada HAV pemeriksaan pada enzim ini menunjukkan
angka yang tinggi dalam darah.
Infeksi HAV juga
mengganggu transpor dan ekskresi bilirubin. Bilirubin dibentuk di hati dan
berasal dari penguraian hem. Jika bilirubin terkonjugasi dengan asam glukoronik
akan menjadi bilirubin direk sedangkan bilirubin yang tidak terkonjugasi dengan
apapun disebut bilirubin indirek. Bilirubin indirek tidak larut dalam air,
transpor dalam plasma melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin direk dapat
larut dalam air dan secara normal dikeluarkan melalui kanalikulus. Infeksi HAV
pada hepar dapat menyebabkan obstruksi dalam kanalikulus sehingga bilirubin
khususnya bilirubin direk tidak dapat keluar dan bocor ke dalam jaringan
sehingga dapat menimbulkan ikterik. Ikterik ini tampak jelas pada sklera
sehingga disebut sklera ikterik. Ikterus yang timbul juga terkait dengan
hiperbilirubinemia. Pada pemeriksaan laboratorium kadar bilirubin direk maupun
indirek dapat meningkat melebihi normal. Karena HAV menginfeksi hati dan bukan
saluran empedu sehingga Murphy sign negatif.
Klasifikasi
patofisiologik dari ikterus :
I.
Hiperbilirubinemia tidak berkonjugasi yang
dominan.
Terutama terjadi
bila 80 % atau lebih bilirubin dalam serum tidak berkonjugasi.
A. Kelebihan
produksi bilirubin.
1.
anemia hemolitik.
2.
resorpsi darah dari perdarahn luas
(misal infark paru).
B. Pengambilan
pada jaringan hati yang berkurang
1.
obat-obatan.
2.
sindrom Gilbert.
C. Gangguan
Konjugasi bilirubin
1.
sindrom Gilbert.
2.
sindrom Crigler-Najjar.
3.
ikterus neonatal.
4.
penyakit hepatoseluler difus.
II.
Hiperbilirubinemia berkonjugasi yang
dominan.
Terjadi bila lebih dari 50 %
bilirubin dalam serum adalah bentuk yang berkonjugasi.
A. Gangguan
Ekskresi bilirubin intrahepatik.
1.
sindrom Dubin-Johnson.
2.
sindrom Rotor.
3.
induksi obat, misal kontrasepsi oral.
4.
penyakit hepatoselular ( misalnya hepatitis
virus).
B. Obstruksi
biliar ekstrahepatik (misal batu empedu, karsinoma pankreas, atresia biliaris).
Virus hepatitis
A menginfeksi hati dan menyebabkan reaksi imunitas. Sel-sel Kupffer di hepar
melakukan fagositosis. Karena virus ini dapat bereplikasi sangat cepat sehingga
sel-sel Kupffer kewalahan dalam memfagositosis. Oleh sebab itu, reaksi
inflamasi yang ditimbulkan semakin meluas dan menyebabkan hati membesar
(hepatomegali). Pembesaran hati ini tampak pada palpasi di regio hipokondria
kanan.
HAV dapat
dibedakan dengan HVB, malaria, DHF, leptospirosis dan malaria melalui
pemeriksaan laboratorium darah dan serologi. HAV dan HVB mempunyai gejala yang
hampir sama hanya saja pada HVB jarang disertai demam.
Penanganan dan
pengobatan Hepatitis A yaitu pada penderita yang menunjukkan gejala hepatitis A
seperti minggu pertama munculnya yang disebut penyakit kuning, letih dan
sebagainya diatas, diharapkan untuk tidak banyak beraktivitas serta segera
mengunjungi fasilitas pelayan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan
dari gejala yang timbul seperti paracetamol sebagai penurun demam dan
pusing, vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan
serta obat-obatan yang mengurangi rasa mual dan muntah. Sedangkah
langkah-langkah yang dapat diambil sebagai usaha pencegahan adalah dengan
mencuci tangan dengan teliti, dan suntikan imunisasi dianjurkan bagi seseorang
yang berada disekitar penderita. Prognosis hepatitis A, umumnya baik akan
sembuh setelah penatalaksanaan simptomatisnya dan jarang memerlukan perawatan
di rumah sakit.
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan :
v
Berdasarkan data yang ada
pada skenario tersebut, kelompok kami menyimpulkan bahwa kemungkinan pasien dalam
skenario tersebut menderita Hepatitis A. Hal ini didukung dari pernyataan dalam
skenario bahwa hasil pemeriksaan Anti HAV positif.
v Diagnosis
banding penyakit tersebut adalah, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, hepatitis E, leptospirosis,
malaria, DHF, demam typhoid, kolesistitis dan abses hati.
v Untuk
penyakit Hepatitis A, transmisi penularan virusnya melalui jalur fekal-oral
yang berupa makanan atau minuman (food borne).
v Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
yaitu penanggulangan terhadap gejala simptomatisnya, karena prognosisnya baik,
akan sembuh sendiri, cukup dengan istirahat yang memadai, makanan bergizi cukup, dan obat simptomatik yang
sesuai gejalanya.
Saran :
v
Agar kita tidak terserang penyakit
Hepatitis A tersebut, sebaiknya kita melakukan tindakan pencegahan dengan baik,
mulai dari menjaga kebersihan lingkungan (sanitasi), menjaga pola makan kita
dan juga menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Behrman, Kliegman, Arvin.
Ed: A. Samik Wahab. 2000. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Edisi 15. Jakarta :
EGC.
Bianchi, L. et all. 1979. Viral
Hepatitis. Pathology of The Liver. New York : Churchill Livingstone.
Hassan, Rusepno, et
all. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Kaplain, Lee M.,
Isselbacher, Kurt. J. 2000. Harrison, in Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam Vol I. Jakarta: EGC.
Nurman, A. 2008. “Hepatitis Virus Akut”. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11
Hepatitisvirusakut.pdf/11_Hepatitisvirusakut.html. Diakses tanggal 17 Juni 2008.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson.
2006. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
Othman,
Norlijah, et all. 2007. “Severe Leptospirosis
with Unusual Manifestation”. http://
medicine.plosjournals.org/perlserv/?request=get-document&doi=10.1371%2Fjournal.
pmed.0030308&ct=1. Diakses tanggal 17 Juni 2008.
Rampengan,
T.H. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta
: Pusat Penerbitan Fakultas Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tim EGC (Ed.). 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
terimakasih kak
BalasHapus