Jumat, 29 Juni 2012

SKENARIO 3 BLOK NEOPLASMA


BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Sering sekali pasien datang ke rumah sakit ketika sudah terjadi neoplasma pada stadium lanjut. Ini dikarena neoplasma stadium awal cenderung akan memberikan manifestasi klinis yang belum tampak dan belum memberikan rasa sakit pada pasien. Seperti pada skenario di bawah ini. Seorang pasien yang memiliki benjolan di daerah rectum.
Berikut skenario yang akan dibahas:
Seorang penderita laki-laki umur 43 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan utama perdaraan per-rectum disertai lender sejak 3 bulan lalu.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dan phisik tidak didapatkan kelainan. Hanya merasa berat badannya menurun, selanjutnya dirujuk oleh dokter puskesmas ke bagian bedah RSUD Dr.Moewardi.
Dilakukan pemeriksaan rectal toucher: teraba massa pada jam 12, permukaan mukosa kasar berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan, sarung tangan berlendir darah positif. Dilakukan biopsi cubit, didapatkan 4 keping kecil jaringan warna putih, konsistensi agak rapuh. Hasil dikirim untuk pemeriksaan histopatologis. Selain itu juga dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain.

B.        RUMUSAN MASALAH
a.          Penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh pasien?
b.         Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis dalam kasus tersebut?
c.          Apa saja tata laksana yang harus dilakukan?



C.    TUJUAN PENULISAN
a.          Mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita pasien
b.         Mengetahui penyebab pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus
c.          Mengetahui apa saja tata laksana yang harus dilakukan agar pasien dapat sembuh

D.    MANFAAT PENULISAN
a.          Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar neoplasma primer dan neoplasma sekunder serta proses metastasisnya
b.         Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan dan tata laksana pada pasien dengan keganasan primer ataupun sekunder



















BAB II
STUDI PUSTAKA

Karsinoma Rekti
Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna, lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker rektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker kolorektal adalah kanker yang dapat menyerang kolon dan rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 persen.
Gejala kanker rektal adalah darah yang menggumpal dalam satu jaringan cerna, diare atau konstipasi, dan berat badan turun. Selain itu terasa nyeri di abdomen atau rektum, kejang di rektum, dan kelelahan yang berlanjut.
Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya akan terus meningkat seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika Serikat dan Inggris memperlihatkan, orang yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko tiga kali lipat dari kelompok usia lainnya. Mereka yang memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis, tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal. Demikian juga dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko terkena penyakit ini bisa menyerang pada kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun.
Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan tumor ganas lainnya, 90% diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat ini pembedahan adalah terapi pilihan untuk karsinoma rekti.


 



A.    Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Kolon-rektum
Anatomi Kolon
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sekitar 6,5 cm, makin dekat anus diameternya makin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, sigmoid dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan appendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, dan desenden. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut – turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu sigmoid bersagtu dengan rektum. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut rektum, yang membentang dari sigmoid hingga anus. Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asenden, dan dua pertiga proksimal koln transversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan aorta abdominalis.
Aliran balik vena dari koln dan rektum superior adalah melalui vena mesentrika superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik.
Persyarafan usus besar dilakukan oleh sistem syaraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian volunteer. Serabut parasimpatis berjalan melalui syaraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan syaraf oelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf splangnikus. Serabut syaraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.  
Anatomi Rektal
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.
Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, vena iliaka interna dan sistem vena kava.
Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan. 
Fisiologi Kolorektal
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rectum. Dalam keadaan normal kolon menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus setiap hari. Isi usus yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tidak dapat dicerna missal selulosa, komponen empedu yg tidak diserap,dan sisa cairan. Apa yg tersisa untuk dieliminasi disebut feses.
Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat, .Kontraksi haustra secara perlahan mengaduk isi kolon maju mundur. Berawal dari dari gerakan ritmisitas otonom sel otot polos  kolon (membentuk haustra)-> letak haustra berubah sewaktu waktu yang semula melemas untuk membentuk kantung secara perlahan berkontraksi sementara bagian yang semula berkontraksi melemas untuk membentuk kantung baru. Hal ini menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif.  Sewaktu makanan masuk ke lambung terjadi gerakan  massa di kolon yang terutama disebabkan oleh refleks gastrokolon. Terpicu  reflek reflek untuk memindahkan isi yang sudah ada ke bagian saluran cerna yang lebih distal dan member jalan bagi makanan baru tersebut. Sehingga reflek gastrokolon mendorong isi kolon ke dalam rectum yang memicu reflek defekasi.
      Gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rectum, terjadi peregangan rectum yang kemudian merangsaaang reseptor regang di dinding rectum dan memicu reflek defekasi. Reflek ini disebabkan oleh sfingter anus internus untuk melemas dan rectum serta kolon sigmoid berkontraksi kuat. Apabila sfingter anus eksternus juga melemas terjadi defekasi

B.  Patofisiologi
Mukosa rektum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada adenoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi sel-sel tersebut, yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan replikasi yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel tersebut menyebabkan terjadi mutasi yang mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah apoptosis dan memperpanjang hidup sel.
Pada skenario terdapat keluhan berupa terjadinya perdarahan per rektal. Perdarahan rektal (hematochezia) adalah keluarnya darah lewat anus, biasanya bercampur dengan feses dan atau bekuan darah. Tingkat keparahan perdarahan rektal tergantung banyaknya darah yang keluar. Biasanya perdarahan bisa terjadi sedang dan dapat berhenti dengan sendirinya.
Pasien dengan perdarahan sedang mengeluarkan darah berwarna merah gelap dalam jumlah yang banyak biasanya dapat bercampur dengan feses dan atau bekuan darah. Pasien dengan perdarahan parah bisa melakukan satu atau beberapa kali defekasi dengan jumlah darah yang sangat banyak. Perdarahan sedang atau parah aan sangat cepat mengurangi cadangan darah dalam tubuh, sehingga pasien mengalami rasa lemah, mengantuk, pucat, hampir pingsan, dan tanda-tanda hipotensi. Apabila perdarahan hebat bisa terjadi syok karena kehilangan darah.
Perdarahan per rektal keluar dari kolon, rektum, atau anus. Kolon adalah bagian dari traktus gastrointestinal yang dilewati oleh makanan dari usus halus. Kolon bertanggungjawab terhadap absrobsi air dari makanan yang telah didigesti dan menyimpannya hingga dikeluarkan oleh tubuh dalam bentuk feses.
Warna darah perdarahan per rektal biasanya tergantung dari lokasi perdarahannya. Semakin dekat dengan anus maka semakin terang warna merah pada darah tersebut. Perdarahan pada anus, rektum, dan sigmoid kolon berwarna merah terang, sedangkan perdarahan pada kolon transversal dan kolon kanan berwarna merah gelap.
Pada beberapa pasien, darah dari kolon bagian kanan bisa hitam, dan berbau tidak enak. Feses yang hitam dan bau disebut melena. Melena terjadi ketika darah bercampur dengan asam lambung baik pada usus halus maupun, usus besar untuk waktu yang cukup lama. Sehingga daraha akan merombak darah menjadi zat kimia yang disebut hematin yang berwarna hitam.
Pada kasus yang jarang, apa bila terjadi perdarahan massif pada kolon kanan, atau pada usus halus, dan ulcer lambung atau duodenum bias menyebabkan transit darah yang sangat cepat sehingga dapat langsung dikeluarkan melalui anus dengan warna merah. Pada situasi ini darah tidak sempat dirombak oleh bakteri usus, sehingga warnanya tetap cerah.
Berat badan adalah pengurangan massa tubuh ditandai dengan hilangnya jaringan adiposa (lemak tubuh) dan otot rangka. Penurunan berat badan adalah gejala yang paling umum dari kanker dan sering efek samping dari pengobatan kanker. Ada banyak alasan untuk penurunan berat badan pada pasien kanker, termasuk nafsu makan kerugian karena pengaruh pengobatan kanker (kemoterapi, terapi radiasi, atau terapi biologis) atau faktor psikologis seperti depresi. Pasien dapat menderita anoreksia dan kehilangan keinginan untuk makan, dan dengan demikian mengkonsumsi lebih sedikit energi.
Penurunan berat badan mungkin juga menjadi konsekuensi dari kebutuhan yang meningkat untuk kalori (energi) akibat infeksi, demam , atau efek dari tumor atau perawatan kanker. Jika infeksi atau demam hadir, perlu untuk mempertimbangkan bahwa ada peningkatan kalori membutuhkan sekitar 10% sampai 13% per derajat di atas 98,6 ° F (37° C). Oleh karena itu, asupan energi harus ditingkatkan untuk kenaikan suhu tubuh ini.
Penurunan berat badan mungkin akibat dari masalah umum dalam kanker disebut cachexia . Sekitar setengah dari semua pasien mengalami kanker cachexia, sindroma buang air yang menyebabkan perubahan metabolisme yang mengarah ke hilangnya otot dan lemak. 
Dari skenario yang disebutkan bahwa pasien mengalami penurunan berat badan meskipun dari hasil pemeriksaan fisik dan tanda vital semuanya normal, ada indikasi bahwa pada pasien terjadi keganasan di dalam saluran pencernaannya, karena salah satu tanda dari adanya keganasan  saluran cerna adalah penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas, sel sel tumor menyebabkan metabolisme tubuh menjadi cepat sehingga kalori menjadi cepat terbakar, selain itu sifat tumor adalah angiogenesis, hal ini juga menyebabkan adanya peredaran darah baru di sel sel tumor tersebut, dan nutrisi yang dibawa oleh pembuluh darah tubuh banyak terserap oleh pembuluh darah dari tumor tersebut, akibatnya berat badan penderita menjadi berkurang. 

 C. Etiologi dan Faktor Resiko
Banyak faktor dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker rektal, diantaranya adalah :
  • Diet tinggi lemak, rendah serat
  • Usia lebih dari 50 tahun
  • Riwayat pribadi mengidap adenoma atau adenokarsinoma kolorektal mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
  • Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
  • Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome, pada semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi kanker rektal
  • Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome, Peutz-Jeghers syndrome, dan Muir syndrome.
  • Terjadi pada 50 % pasien Kanker kolorektal Herediter nonpolyposis
  • Inflammatory bowel disease
    • Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun)
    • Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat.


D.    Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
·         Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar maupun yang berwarna hitam.
·         Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB
·         Feses yang lebih kecil dari biasanya
·         Keluhan tidak nyamaN pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut
·         Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
·         Mual dan muntah,
·         Rasa letih dan lesu
·         Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus.

E.  Diagnosis Banding
1.      Karsinoma kolorektal
Karsinoma kolorektal (CRC) adalah terdapatnya lesi keganasan pada mukosa kolon dan rectum. Pria memiliki kecenderungan terkena dibandingkan dengan wanita. Insidensi puncak terjadi pada usia di atas 50 tahun. Insidensi meningkat di negara-negara Barat selama lebih dari 50 tahun terakhir (Grace, et.al., 2006).
Pada kebanyakan kasus, karsinoma kolorektal berkembang perlahan-lahan selama beberapa tahun. Sebelum menjadi kanker murni, biasanya perkembangan dimulai dari polip nonkarsimatous yang selanjutnya dapat berubah menjadi kanker. Polip merupakan jaringan yang tumbuh pada kolon atau rectum. Beberapa jenis polip disebut polip adenomatous atau adenoma yang paling sering menjadi kanker. Begitu sebuah kanker terbentuk dari polip, maka akan tumbuh dari mukosa dinding kolon atau rectum, kemudian menembus dinding dan sel kanker akan tumbuh menyebar melalui aliran darah dan limfe yang akan menyebar ke seluruh tubuh. (Winawer, et.al., 1996).
Mukosa rectum yang normal sel-sel epitelnya beregenerasi setiap 6 hari. Pada karsinoma terjadi perubahan genetik yang mengganggu proses diferensiasi dan maturasi sel-sel tesebut, yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan replikasi yang tidak terkontrol. Dengan peningkatan jumlah sel tersebut menyebabkan terjadi mutasi mengaktivasi K-ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah apotosis dan memperpanjang hidup sel (Kurniawan, 2009).
Sekitar 25% karsinoma kolorektum terletak di sekum atau kolon asendens, dengan proporsi setara di rectum dan sigmoid distal. Sebanyak 25% lainnya terletak di kolon asendens dan sigmoid proksimal; sisanya tersebar di tempat lain. Oleh karena itu banyak kanker yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan jari atau protosigmoidoskopik. Meskipun semua karsinoma kolorektum berawal sebagai lesi in situ, lesi tersebut berkembang dengan pola morfologik yang berbeda-beda. Tumor di kolon proksimal cenderung tumbuh sebagai masa polipoid eksofitik yang meluas di sepanjang salah satu dinding sekum dan kolon asendens. Jarang terjadi obstruksi. Bila terletak di kolon distal, karsinoma cenderung berbentuk lesi anular melingkar yang menimbulkan apa yang disebut sebagai konstriksi napkin-ring pada usus dan penyempitan lumen.
Karsinoma kolorektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun; gejala timbul perlahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang bertahun-tahun, sebelum terdiagnosis. Karsinoma kolorektum kanan dan sekum sering menyebabkan rasa lelah, lesu, dan anemia defisiensi besi yang menyebabkan pasien berobat. Karsinoma di sisi kiru mungkin menyebabkan perdarahan tersamar, perubahan kebiasaan buang air besar atau rasa kram di kuadran kiri bawah (Kumar, et.al., 2007).
Etiologi dari karsinoma kolorektum belum diketahui, tetapi beberapa faktor risiko dapat menyebabkan terjadinya karsinoma kolorektum. Beberapa risiko yang dapat berperan dalam terjadinya karsinoma kolorektum antara lain:
  • Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP), hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).
  • Riwayat keluarga yang menderita karsinoma kolorektal.
  • Riwayat polip rektum, kanker ovarium, endometriosis, dan kanker payudara.
  • Umur di atas 40 tahun.
  • Inflamatory bowel disease seperti penyakit chron, lokitis ulseratifa.
  • Diet tinggi lemak rendah serat.
(Kurniawan, 2009) 
  1. Polip
Polip adalah pertumbuhan jaringan dari dinding usus yang menonjol ke dalam usus dan biasanya tidak ganas. Polip bisa tumbuh dengan atau tanpa tangkai dan ukurannya bervariasi. Polip paling sering ditemukan di rektum dan bagian bawah usus besar (kolon), dan jarang ditemukan di kolon bagian atas.
Kebanyakan polip tidak menyebabkan gejala, tapi gejala paling sering terjadi adalah perdarahan dari rektum. Polip yang besar bisa menyebabkan kram, nyeri perut atau penyumbatan usus. Polip yang bertangkai panjang jarang turun ke bawah melalui anus. Polip besar dengan bentuk seperti jari (adenoma vilus) bisa mengeluarkan air dan garam, menyebabkan diare cair yang bisa menyebabkan menurunnya kadar kalium darah (hipokalemia). Jenis polip ini lebih sering berkembang menjadi keganasan (kanker).
Diagnosis:
Pada pemeriksaan colok dubur akan dapat dirasakan oleh jari tangan adanya polip di rektum. Selain itu, polip biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin sigmoidoskopi. Bila pada sigmoidoskopi ditemukan polip, maka dilakukan kolonoskopi untuk memeriksa keseluruhan usus besar. Pemeriksaan ini dilakukan, karena seseorang sering memiliki polip lebih dari satu dan karena polip bisa bersifat ganas. Pada kolonoskopi juga dilakukan pengambilan contoh jaringan untuk biopsi dari daerah yang kelihatannya ganas.
Pemeriksaan:
Penderita diberi obat pencahar dan enema untuk mengosongkan usus. Lalu polip diangkat selama kolonoskopi dengan menggunakan pisau bedah atau lingkaran kawat yang dialiri arus listrik. Bila polip tidak memiliki tangkai atau tidak dapat diambil selama kolonoskopi, mungkin perlu dilakukan pembedahan perut.   Ahli patologi memeriksa polip yang telah diambil.  Bila polip bersifat ganas, pengobatan tergantung kepada faktor-faktor tertentu. Contohnya, resiko penyebaran kanker lebih tinggi jika kanker sudah mencapai tangkai polip atau lebih dekat ke tempat pemotongan. Resiko penyebaran kanker juga bisa didasarkan pada hasil pemeriksaan ahli patologi terhadap penampakan polip di bawah mikroskop.  Bila resikonya rendah, tidak diperlukan pengobatan lebih lanjut. Bila resikonya tinggi, bagian usus besar yang terkena diangkat melalui pembedahan dan potongannya disambungkanlagi.
jika polipnya sudah diangkat, setahun kemudian dan dalam selang waktu yang ditentukan oleh dokternya, seluruh usus besar diperiksa dengan kolonoskopi.  Bila pemeriksaan tidak mungkin dilakukan karena telah terjadi penyempitan usus besar, maka digunakan barium enema.
Setiap polip yang baru harus diangkat.
3.      Hemorrhoid
Hemorrhoid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemorroidalis yang tidak merupakan keadaan patologik. Hemorrhoid merupakan pembengkakan submukosa pada lubang anus yang mengandung pleksus vena, arteri kecil, dan jaringan areola yang melebar.
Hemorrhoid, ambein, atau wasir dapat dialami oleh siapapun. Namun seringkali penderita merasa malu atau dianggap tidak penting maka kurang memperhatikan gangguan kesehatan ini. Secara anatomi ambeien bukanlah penyakit, melainkan perubahan fisiologis yang terjadi pada bantalan pembuluh darah di dubur, berupa pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Fungsi bantalan ini sebagai klep/katup yang membantu otot-otot dubur menahan feses. Bila terjadi gangguan (bendungan) aliran darah, maka pembuluh darah akan melebar dan membengkak, keadaan ini disebut ambeien. 
Secara umum, ambeien dibagi dua yaitu :
1. Ambeien Internal,
Pembengkakan terjadi dalam rektum sehingga tidak bisa dilihat atau diraba. Pembengkakan jenis ini tidak menimbulkan rasa sakit karena hanya ada sedikit syaraf di daerah rektum. Tanda yang dapat diketahui adalah pendarahan saat buang air besar. Masalahnya jadi tidak sederhana lagi, bila ambeien internal ini membesar dan keluar ke bibir anus yang menyebabkan kesakitan. Ambeien yang terlihat berwarna pink ini setelah sembuh dapat masuk sendiri, tetapi bisa juga didorong masuk. 
2. Ambeien Eksternal,
Ambeien Eksternal menyerang anus sehingga menimbulkan rasa sakit, perih, dan gatal. Jika terdorong keluar oleh feses, ambeien ini dapat mengakibatkan penggumpalan (trombosis), yang menjadikan ambeien berwarna biru-ungu. 
Etiologi
Peningkatan tekanan vena akibat mengedan (diet rendah serat) atau perubahan hemodinamik (selama hamil) menyebabkan dilatasi kronis dari pleksus vena submukosa. Ditemukan pada posisi jam 3, 7, dan 11 pada lubang anus.
Selain itu hemorrhoid juga disebabkan karena :
1.      Faktor keturunan
2.      Kehamilan karena perubahan hormonal
3.      Obstipasi (konstipasi/sembelit) yang menahun.
4.      Penyakit yang membuat penderita sering mengejan, misalnya: pembesaran prostat jinak ataupun kenker prostat, penyempitan saluran kemih, dan sering melahirkan anak.
5.      Penekanan kembali aliran darah vena, seperti pada kanker dubur, radang dubur, penyempitan dubur, kenaikan tekanan pembuluh darah porta (di dalam rongga perut), sakit lever jenis sirosis (mengkerut), lemah jantung, dan limpa bengkak.
6.      Banyak duduk.
7.      Diare menahun.
8.      Peregangan. Ini misalnya terjadi pada seseorang yang suka melakukan hubungan seksual yang tidak lazim yaitu anogenital. 
Gejala 
1.      Pendarahan dubur, darah yang keluar bisa berupa tetesan namun juga bisa mengalir deras, darah berwarna merah muda, penderita biasanya tidak merasa sakit.
2.      Rasa mengganjal, setelah BAB (buang air besar) ada sensasi rasa mengganjal, kondisi ini menciptakan kesan bahwa proses BAB belum berakhir, sehingga seseorang mengejan lebih kuat, tindakan ini justru membuat ambeien semakin parah.
3.      Gatal, karena bagian yang terasa nyeri di dubur sulit dibersihkan, virus akan sangat mudah menyebabkan infeksi kulit yang memicu rasa gatal 
Gambaran Klinis
1.      Derajat I : Perdarahan merah segar tanpa rasa nyeri dan rasa gatal.
2.      Derajat II : Perdarahan, menonjol, nyeri, dan reposisi spontan.
3.      Derajat III : Perdarahan, mononjol, sangat nyeri, dan reposisi manual.
4.      Derajat IV : Perdarahan, tonjolan tetap, nyeri terus menerus, dan tidak dapat reposisi. 

F. Diagnosis dan Staging
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker rektal, diantaranya ialah :
A. Pemeriksaan Laboratorium
      Meliputi pemeriksaan tinja, apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopisatau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carsino embriyonicantigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan.
B.     Double Contrast Barium Enema (DCBE)
Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan single contrastprocedure (barium saja) atau double contrast procedure (udara dan barium). Kombinasin udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapibarium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari 1 cm). DCBEmemiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%.Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polip di rectosigmoid colon.
C.     Digital rectal examination (DRE)
Digital rectal examination dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.  
D.    Flexible Sigmoidoscopy
Flexible Sigmoidoscopy (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang dapatdilakukan pada rektum dan bagian bawah dari colon sampai jarak 60 cm (sigmoid)tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan biopsi. Interpretasi hasilbiopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma atau jaringan karsinoma.American Cancer Society (ACS) merekomendasikan untuk dilakukan colonoscopy apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yangnegatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.
Cairan yang mengandung barium dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah.
F. Endoscopy dan Biopsi
Endoscopy dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainan-kelainansampai 25 cm - 30 cm, dengan fiberscope untuk semua kelainan dari rektum sampaicaecum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis anatomis jenis tumor. 
G.Colonoscopy
Colonoscopy adalah prosedur dengan menggunakan tabung flexibel yang panjang dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rektum dan usus besar.Colonoscopy umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema, terutama dalam mendeteksipolip kecil. Jika ditemukan polip pada usus besar, maka biasanya diangkat dengan menggunakan colonoscopedan dikirim ke ahli patologi untuk kemudian diperiksa jeniskankernya. 
Sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. 
I. Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan dengan tujuan untuk menentukan keutuhanspinkter ani, ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai adalah pertama, keadaan tumor : ekstensilesi pada dinding rektum. Kedua, mobilitas tumor untuk mengetahui prospek terapipembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas atau fiksasi lesi.
Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.
Ketika diagnosis rectal cancer sudah dipastikan, maka dilakukan prosedur untuk menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed tomography scan (CT scan) dada, abdomen, dan pelvis, complete blood count (CBC), tes fungsi hepar dan ginjal, urinanalysis, dan pengukuran tumor marker CEA (carcinoembryonic antigen).
Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini ialah untuk mengetahui perluasan dan lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan menentukan prognosis. Stadium penyait pada kanker rektal hampir mirip dengan stadium pada kanker kolon. Awalnya, terdapat Duke's classification system, yang menempatkan klanker dalam 3 kategori stadium A, B dan C. sistem ini kemudian dimodofikasi oleh Astler-Coller menjadi 4 stadium (Stadium D), lalu dimodifikasi lagi tahun 1978 oleh Gunderson & Sosin.
Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tedak menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer
Untuk bisa memastikan diagnosis pasti dari skenario ini yang telah mengarah pada karsinoma rekti, maka ada beberapa pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, sigmoidoscopy, dan colok dubur adalah beberapa pemeriksaan penunjang utama untuk mendiagnosis penyakit ini. Selanjutnya, bisa juga dilakukan Barium Enema, Digital rectal examination (DRE), atau Double Contrast Barium Enema(DCBE). Pada pemeriksaan sigmoidescopy, langsung dilakukan juga pengambilan jaringan yang diperiksa untuk diperiksa histopatologis jaringannya, guna mendirikan diagnosis pasti. setelah didiagnosis, dilakukan penentuan stadium untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat.  
F.      Penatalaksanaan
Pencegahan pada karsinoma rekti diantaranya :
  • Banyak mengkonsumsi makanan berserat, konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan asam folat.
  • Sebisa mungkin mengurangi dan menghindari makanan yang mengandung kadar lemak yang tinggi.
  • Mengkonsumsi buah-buahan dan sayur setiap hari.
  • Pertahankan indeks massa tubuh antara 18,5 - 25,0 kg/m2
  • Berolahraga secara teratur.
  • Tidak merokok dan minum minuman beralkohol.
  • Lakukan deteksi dini dengan tes darah samar sejak usia 40 tahun.
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1. PEMBEDAHAN
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal.
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain :
  • Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.
  • Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.
2. RADIASI
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.
3. KEMOTERAPI
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III). terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira 15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%.
Sejauh ini, penatalaksanaan yang dilakukan untuk karsinoma rekti secara umum ada 3 hal, yaitu pembedahan, radioterapi dan chemoterapi. Ketiga hal ini biasanya dikombinasikan antara satu dengan yang lain sesuai stadium penyakit. 
 



BAB III
PENUTUP

1.         KESIMPULAN
1)      Perdarahan per rectum bisa terjadi karena adanya penyakit di saluran perncernaan bagian bawah, terutama mulai dari daerah kolon ascenden sampai dengan rectum. Hal ini bisa disebabkan karena adanya trauma, penyakit bakteriologis, maupun keganasan neoplasma.
2)      Tipe perdarahan per-rectum bermacam-macam, ada yang merupakan perdarahan metachazia, melena atau hanya perdarahan samar.
3)      Perdarahan per-rectum dapat memberikan komplikasi secara sistemik maupun non sistemik, misalnya berat badan yang menurun apabila perdarahannya berlangsung lama (kronik).
4)      Banyak faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya perdarahan ini. Penting bagi dokter untuk mengetahuinya guna mengatahui diagnosa banding penyakit yang diderita oleh pasien.
5)      Penatalaksanaan pasien dilakukan berdasarkan dengan diagnosa pasti pasien. Untuk menentukan diagnosa pasti terkadang diperlukan berbagai pemeriksaan penunjang agar tidak terjadi kesalahan dalam mendiagnosis.
2.         SARAN
1)      Sebaiknya dokter melakukan pemeriksaan penunjang lain agar dapat menepiskan diagnosa banding dari pasien. Hal ini untuk mengurangi risiko kesalahan dalam pendiagnosaan.
2)      Anamnesis menjadi sangat penting dalam menentukan diagnosis, makan keterampilan melakukan anamnesis wajib dimiliki oleh pemeriksa (dokter).
3)      Untuk penyelenggaraan tutorial sendiri, saranya adalah sebaiknya mahasiswa mempelajari semua LO dan tidak hanya mengkerucut ke satu diagnosa banding, agar tutorial menjadi lebih hidup dan banyak referensi yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Cirincione, Elizabeth 2005, Rectal Cancer,www.emedicine.com (22 September 2011)
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 11. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 848. 
Grace, Pierce A., Borley, Neil R., 2006. At a Glance Ilmu Bedah, Ed. 3. Jakarta: Penerbit Erlangga. p: 113. 
Hassan , Isaac 2006, Rectal carcinoma, www.emedicine.com
Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media Aesculapius. Jakarta.
Kurniawan, Lilik. 2009. Karsinoma Rektum. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. http://www.Files-of-DrsMed.tk (22 September 2011). 
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L., 2007. Buku Ajar Patologi, Ed. 7, Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 655-656.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta : EGC
Pierce A, Grace & Neil R Borley. 2007. At a Glance : Ilmu Bedah Ed.3.Jakarta : EMS
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 
Winawer, SJ., Zauber, AG., Gerdes H., et.al., 1996. Risk of Colorectal Cancer in the Families of Patient With Adenomatous polyps. National Polyp Study Workgroup. N Engl J Med 1996:334;81-7. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar