BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Rinitis adalah suatu infeksi hidung yang
bisa disebabkan karena banyak hal. Rinitis juga digolongkan menjadi beberapa
macam, diantaranya rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa,
rinitis atrofi, rinitis difteri, dan rinitis jamur. Mekanisme atau
patofisiologi terhadap penyakit rinitis juga bermacam-macam tergantung dari
jenisnya.
Dalam skenario didapatkan pasien dengan
sakit rinitis alergi. Rinitis alergi merupakan peyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitasi dengan alergen yagn sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Biasanya
pasien mengalami gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan hidung tersumbat
setelah terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Selain itu, didapatkan juga bahwa pasien
menderita polip dan sinusitis. Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung
banyak cairan di dalam rongga hidung yang berwarna putih keabuan. Sedangkan
sinusitis adalah inflamasi pada mukosa sinus paranasal yang penyebab utamanya
adalah salesma (infeksi virus), selanjutnya diikuti infeksi bakteri. Sinusitis
termasuk salah satu penyakit yagn paling sering terjadi dalam praktek dokter
sehari-hari. Penemuan dari penyakit-penyakit yang di derita pasien pada
skenario 1 pada blok THT akan dijabarkan lebih lanjut di bab-bab selanjutnya.
Berikut ini adalah permasalahan pada
skenario 1
“Seorang laki-laki 35 tahun didiagnosis
menderita polip hidung, sekitar 1 tahun ini dia merasakan pilek terus menerus
disertai bersin-bersin terutama jika terpapar debu, gangguan dirasakan terutama
saat bernafas, hidung terasa tersumbat, tidak bisa menghidu, kadang-kadang
disertai nyeri kepala separo dan tercium bau busuk terutama pagi hari. Sejak
lama, istrinya juga mendengar suaminya mengeluh sakit gigi, tetapi tidak pernah
dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam dan rendaman daun sirih, dan
jika bengkak hanya menggunakan koyo yang ditempelkan pada pipinya. Karena
keluhan dirasakan makin berat bahkan terkadang sampai mengeluarkan darah jika
membuang ingus dan berbau busuk maka ia mengantarkan suaminya ke poli THT.
Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat konkha hipertrofi, massa putih,
discharge kental, kuning kecoklatan.
Pada
pemeriksaan orofaring didapatkan post nasal drip, dan gigi gangren pada M1 kiri
atas serta M2 kanan atas. Pada foto kepala posisi Water’s Pa, dan lateral,
terlihat air fluid level pada sinusitis maksilaris dextra.
Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan peningkatan eosinofil.”
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan gigi?
2.
Bagimana
mekanisme bersin? Apa saja pemicu reaksi bersin?
3.
Bagaimana
patofisiologi dari gejala yang dialami pasien?
4.
Adakah
hubungan sakit gigi dengan penyakit yang diderita pasien?
5.
Apakah
pengaruh pemakaian koyo, air garam, dan rendaman air daun sirih pada pasien?
6.
Bagaimana
analisi data hasil pemeriksaan rhinoskopi, pemeriksaan orofaring, pemeriksaan foto
kepala, dan pemeriksaan labolatorium?
7.
Apa
diagnosis dan diagnosis banding pada skenario ini?
8.
Bagaimana
penatalaksaan pasien pada skenario?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui
anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan gigi.
2.
Mengetahui
mekanisme bersin,dan Apa saja pemicu reaksi bersin.
3.
Mengetahui
patofisiologi dari gejala yang dialami pasien.
4.
Mengetahui
hubungan sakit gigi dengan penyakit yang diderita pasien.
5.
Mengetahui
pengaruh pemakaian koyo, air garam, dan rendaman air daun sirih pada pasien.
6.
Mengetahui
analisi data hasil pemeriksaan rhinoskopi, pemeriksaan orofaring, pemeriksaan
foto kepala, dan pemeriksaan labolatorium.
7.
Mengetahui
diagnosis dan diagnosis banding pada skenario ini.
8.
Mengetahui
penatalaksaan pasien pada skenario.
D.
MANFAAT
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
dasar teori meliputi etiologi, patologi, dan patofisiologi mengenai penyakit
hidung dan kelainan pada hidung, sehingga dapat menegakkan diagnosis dan
memberikan penanganan yang tepat pada pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Hidung dan Gigi
A. Nasus
(Hidung)
Pada permukaan inferior
nasus terdapat dua lubang , yaitu nares anteriores yang dipisahkan satu sama
lain oleh septum nasi.
Septum nasi terdiri dari:
-
Lamina perpendicularis
ossis ethmoidalis
-
Os vomer
-
Cartilago septi nasi
Ø Cavum
Nasi
Cavum nasi dapat
berhubungan dengan nasofaring melalui choanae. Bagian 2/3 inferior membran
mukosa cavum nasi termasuk area respiratoria, sedangkan bagian 1/3 superior
merupakan area olfaktoria. Cavum nasi ini dilapisi oleh membran mukosa, kecuali
bagian vestiblum nasi yang dilapisi oleh kulit
.
.
Dinding lateral cavum
nasi dibagi menjadi:
-
Di bagian anterior
terdapat vestibulum nasi dimana akan dijumpai vibrisae, di bagian atas dan
dorsal dibatasi oleh limen nasi.
-
Di bagian tengah terdapat
atrium dan meatus nasi
-
Di bagian posterior
terdapat concha dan meatus nasi
· Chonca
Merupakan penonjolan
tulang yang memperluas cavum nasi. Terdiri dari concha nasalis superior dan
media, yang merupakan penonjolan dari fascies medialis labyrinthus ethmoidalis,
serta concha nasalis inferior, yang merupakan penonjolan tulang independen.
Tiap choncha tersebut akan melindungi meatus nasi dibawahnya.
· Meatus
Nasi
a. Meatus
Nasi Superior
Terletak diantara
concha nasalis superior dan concha nasalis media. Dimuarai oleh cellulae
ethmoidalis posteriores dan sinus sphenoidalis. Terdapat recessus
sphenoethmoidalis diatas concha nasalis superior yang merupakan lubang keluar
dari sinus sphenoidalis.
b. Meatus
Nasi Media
Terletak
diantara concha nasalis media dan concha nasalis inferior dan merupakan muara
dari sinus maxillaris. Pada sisi lateralnya, terdapat celah yaitu hiatus
semilunaris dimana di dekatnya terdapat lubang sinus ethmoidalis anterior. Pada
sisi atasnya terdapat peninggian, yaitu bulla ethmoidalis yang di dalamnya
terdapat cullale ethmoidalis. Pada bagian anterosuperior akan berhubungan
dengan infundibulum, yang merupakan jalan menuju sinus frontalis.
c. Meatus
Nasi Inferior
Terletak di bawah concha nasalis
inferior dan merupakan muara dari ductus
nasolacrimalis.
Ø Vascularisasi
Bagian bawah
divascularisasi oleh a. palatina major dan a. sphenopalatina, yang merupakan
cabang-cabang dari a. maxillaris interna. Bagian depan oleh cabang-cabang a.
fascialis. Pada bagian depan septum nasi terdapat Plexus Kiesselbach, yang
merupakan anastomosis antara r. septalis dari r. labialis superior a. fascialis
dengan a. sphenopalatina.
Ø Innervasi
Bagian 2/3
inferior membran mukosa dipersarafi oleh nervus nasopalatinus cabang nervus
maxillaris. Bagian anterior oleh nervus ethmoidalis anterior cabang nervus
nasociliaris cabang nervus ophtalmicus. Bagian lateral oleh rami nasales nervus
maxillaris, nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis anterior.
Ø Sinus
Paranasalis
a. Sinus
Maxillaris
Merupakan sinus
paranasalis terbesar yang disebut juga anthrum of Highmore. Sinus ini berbentuk
piramid dengan puncak menjulang ke arah os. zygomaticum, dasarnya dibentuk oleh
alveolar maxilla membentuk dinding lateral cavum nasi, dan atapnya dibentuk
oleh dasar orbita.
Tiap sinus ini berhubungan dengan meatus
nasi media melalui hiatus semilinaris pada ostium yang letaknya lebih tinggi
daripada alasnya, sehingga sinus maxillaris tidak dapat mengalirkan sekret jika
kepala dalam posisi tegak, kecuali dalam keadaan penuh. Aliran sekret hanya
tergantung dari gerakan silia-silianya.
Sinus maxillaris dipersarafi oleh nervus
alveolaris superior dan nervus infraorbitalis.
b. Sinus
Frontalis
Terletak diantara tabula externa dan
tabula interna ossis frontalis. Sinus ini berhubungan dengan infundibulum
melalui ductus nasofrontalis dan akan bermuara pada meatus nasi media. Sinus frontalis
dipersarafi oleh nervus supraorbitalis.
c. Sinus
Ethmoidales
Terdiri dari beberapa rongga kecil,
yaitu cellulae etmoidales. Cellulae etmoidales anteriores berhubungan dengan
meatus nasi media, sedangkat cellulae ethmoidales posteriores bermuara ke
meatus nasi superior. Sinus
etmoidales dipersarafi oleh nervus ethmoidales anterior dan nervus ethmoidales
posterior.
d. Sinus
Sphenoidalis
Terdapat pada corpus ossis sphenoidalis
yang dapat meluas ke dalam ala major dan ala minor ossis sphenoidalis. Sinus
ini membuka ke dalam recessus sphenoethmoidalis yang terletak diatas concha
nasalis superior. Sinus
sphenoidalis dipersarafi oleh nervus ethmoidales posterior.
B.
Gigi Geligi (Dentes)
a.
Gigi Susu (Dentes
decidui)
Gigi
ini muncul dalam rongga mulut sekitar umur enam bulan dan selesai pada akhir
tahun kedua. berjumlah 20 buah, yaitu 4 incisivus, 2 caninus, 4 molar pada
setiap rahang.
Rumus
: m2
m1 c i2 i1 i1 i2 c m1 m2
m2
m1 c i2 i1 i1 i2 c m1 m2
b. Gigi
Tetap (Dentes permanentes)
Gigi tetap berjumlah 32 buah, yaitu 2
incisivus, 2 caninis, 4 premolar, 6 molar pada setiap rahang. Gigi ini mulai
timbul sekitar umur enam tahun, dan gigi terakhir yang tumbuh adalah molar
ketiga, yang terjadi antara umur 17 hingga 30 tahun.
Rumus:
M3
M2 M1 P2 P1 C I2 I1 I1 I2 C P1
P2 M1 M2 M3
M3
M2 M1 P2 P1 C I2 I1 I1 I2 C P1
P2 M1 M2 M3
v Neurovascular
Gigi
-
a/v/n alveolaris
superior anterior (gigi C dan I atas)
-
a/v/n alveolaris
superior media (gigi M1 dan P atas)
-
a/v/n alveolaris
superior posterior (gigi M2 dan M3 atas)
-
a/v/n alveolaris
inferior (gigi M dan P bawah)
-
r. incisivus a/v/n
alveolaris inferior (gigi C dan I bawah)
v
Neurovascular Gingival
-
a/v/n buccinator dan n.
buccalis
-
r. labialis a/v/n
infraorbitalis
-
n. palatinus major
-
n. nasopalatinus
(Buku Panduan Praktikum Anatomi Jilid 2,
2010)
Fisiologi
Hidung
Hidung
berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki
epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga
macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi
filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran
napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau
lebih, 85%-90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS (Ballenger, 1994 ;
Hilger, 1997 ;McCaffrey,2000).
Menurut
Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu
(1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara,
(4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu
proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994; Mangunkusomo,2001).
Histologi
Hidung
Luas
permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya
sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara
histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana
basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media
dan lapisan kelenjar profunda (Mygind 1981).
a.
Epitel
mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan
epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius.
Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus,
sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel
dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi
dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000
sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2.
Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini
tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Sedangkan
pada konka superior ditutupi oleh epitel
olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membau. Epitel olfaktorius
tersebut terdiri atas sel penyokong/sel
sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang
melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius
otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman
pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan
silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.
Cavum
nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang
epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997;
Weir 1997).
Silia
merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200
buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur
silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan
pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain
oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler
1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola
gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh
lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak
kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi
geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak,
tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical
waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996).
Gerak
silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP
oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan
dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995;
Ballenger 1996).
Mikrovilia merupakan
penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan diameternya 0,1 μm atau 1/3
diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar
bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya
mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan
merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang
menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan
elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan
permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan
sel epitel gepeng (Waguespack 1995; Ballenger 1996).
b.
Palut
Lendir
Palut
lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri
dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar (Waguespack
1995; Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg 1997).
Cairan
perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan
berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan
silia terjadi di dalam cairan ini. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan
bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin,
kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus
yang terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan
perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar.(Sakakura
1994).
c.
Membrana
Basalis
Membrana basalis terdiri
atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini
terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril
retikulin (Mygind 1981).
d.
Lamina
Propia
Lamina
propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar
superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar
profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan
ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981;
Ballenger 1996).
Mukosa
pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih
tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua
sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling
tinggi (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).
A.
Rhinitis
Alergi
Rhinitis
alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh Ig E. Usia 15-30 tahun sangat rentan akan paparan alergen
sehingga menyebabkan rhinitis alergi.
1.
Patofisiologi
Rinitis
alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti tahap provokas/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu Immediated Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Cepat (RAFC) dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL).
Pada
kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC komplek peptida MHC kelas II
yang kemudian di presentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji
akan melepas sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th 0 yang berproliferasi menjadi Th 1 dan Th
2, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE.
Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia terutama histamin.
Histamin
akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulakn rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
2.
Gambaran
Histologik
Secara
mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran selgoblet
dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler
danpenebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosadan submukosa hidung.
Berdasarkan
cara masuknya alergen dibagi atas :
1.Alergen
inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau deburumah,
kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
2.Alergen
ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi,telur,coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3.Alergen
injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dansengatan lebah.
4.Alergen
kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnyabahan
kosmetik, perhiasan.
Berdasarkan
sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :
1.
Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Rinitis
hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepung sari (pollen),rerumputan, dan spora jamur.
2.
Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala
penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Berdasarkan
WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnyadibagi
menjadi:
1. Intermitten
(kadang-kadang).
Bila
gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.2.
2.
Persisten/ menetap
Bila
gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan
untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan
Bila
tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai,berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.
Sedang-berat.
Bila
terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
3.
Gejala
Klinis
Gejala
klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). Awitan
gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata
ataupalatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada
mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata
terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi
tuba, efusi telinga bagian tengah.
4.
Pemeriksaan
Fisik
Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau lividdisertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan
gelap di daerah bawah matayang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergicshiner. Selain itu juga tampak
anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggungtangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergiccrease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi ( facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema(cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (
geographictongue).
5.
Pemeriksaan
Penunjang
Invitro
: Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
Invivo
:Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
ujiintrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point
Titration/ SET). SETdilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasiyang bertingkat kepekatannya. Untuk allergen
makanan, uji kulit Intracutaneus ProvocativeDilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan dieteliminasi dan provokasi (Challenge
Test).
6. Penatalaksanaan
a.
Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
daneliminasi.
b.
Medikamentosa
Antihistamin
yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2
golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1(klasik)dan generasi-2
(non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga
dapatmenembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat
lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat
selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik,antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.Preparat kortikosteroid
dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat responfase lambat tidak
berhasil diatasi dengan obat lain.
c.
Operatif
Tindakan
konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,
inferiorturbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan
tidak berhasildikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.
6.
Komplikasi
Komplikasi
rinitis alergi yang sering ialah:
1.Polip
hidung.
2.Otitis
media.
3.Sinusitis
paranasal.
B. Tumor Hidung dan
Sinonasal
Tumor
hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak
maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas
hanya berkisar sekitar 1% dari seluruh keganasan.
Etiologi
tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil industri
merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid,
kromium,minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat
kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.
Gejala
tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Gejala timbul
setelah tumor besar, mendorong atau timbul setelah tumor besar, mendorong atau
menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau
orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai
berikut:
1.
Gejala nasal.
Gejala
nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekretnya sering bercampur
darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung
sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau
karena mengandung jaringan nekrotik.
2.
Gejala orbital.
Perluasan
tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau penonjolan
bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3.
Gejala oral.
Perluasan
tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di
prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi
geligi goyah. Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,
tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4.
Gejala fasial.
Perluasan
tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anestesia atau
parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5.
Gejala intracranial.
Perluasan
tumor ke intrakranial akan menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan
gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui
hidung. Jika perluasan sampe ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial
lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesi daerah yang
dipersarafi nervus maksillaris dan mandibularis.
Pemeriksaan
Fisik
Saat
memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri
atau tidak. Pada periksaan kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior
dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah
merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong
ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan
nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada
stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor
ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
Pemeriksaan
Penunjang
Foto
polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang
dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan buatlah
tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan
jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi
tulang. Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor
di paru.
Diagnosis
Diagnosis
pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak
di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan
sinoskopi ataumelalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus
ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan
lakukan biopsi karenaakan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi.
Diagnosis adalah denganangiografi.
C.
SINUSITIS
1.
Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus
paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila
mengenai bebeerapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering ditemukan ialah
sinusitis maxila dan sinusitis etmooid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid
lebih jarang (Mangunkusumo, 2007).
2.
Faktor
predisposisi
Obstruksi mekanik, seperti deviasi
septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di
rongga hidung. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi bisa menyebabkan
obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan
media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah
lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan
perubahan pada mukosa serta kerusakan silia (Mangunkusumo & Rifki, 2000).
3.
Patofisiologi
Organ-organ pembentuk KOM letaknya
berdekatan, dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negative didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis
non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang
terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi
bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis
akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena
ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus
yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
4.
Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih
dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan
lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis
kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
5.
Gejala
Sinusitis
Keluhan utama sinusitis akut adalah
hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang
seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik
seperti demam dan lesu. Nyeri tekan di daerah sinus yang terkena, kadang nyeri
terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila,
nyeri diantara atau dibelakang bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri
dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid,
nyeri di vertex, oksipital, belakang bola mata, atau daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah
sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan
batuk dan sesak pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Keluhan sinusitis kronik tidak khas
sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya 1 atau 2 dari gejala seperti sakit
kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan
telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti
bronchitis (sino-bronkhitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
6.
Pemeriksaan
sinus paranasal
1) Inspeksi
Adanya
pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang
berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di
kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid
jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses
(Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
2) Palpasi
Nyeri
tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila.
Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal terdapat nyeri
tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis
etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2007).
3) Transiluminasi
Hanya
dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas
pemeriksaan radiologic tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi
tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau
mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2007).
Pemeriksaan
ini sudah jarang dilakukan karena terbatas kegunaannya.
Gambar. transiluminasi sinus maxilla
4) Pemeriksaan
mikrobiologik dan tes resistensi
Dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maxilla (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
5) Sinuskopi
Dilakukan
dengan pungsi menembus dinding medial sinus maxilla melalui meatus inferior,
dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maxilla yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi Mangunkusumo &
Soetjipto, 2007).
6) Pemeriksaan
Radiologik
Bila
dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan
radiologic. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral.
Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal,
dan etmoid. Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi
lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2007).
7) CT-scan
Merupakan
gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan
sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis
sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengibatan atau pra-operasi sebagai
panduan operator saat melkaukan operasi sinus.
Gambar.
Posisi waters Gambar. Posisi lateral
Gambar.
posisi postero-anterior
7.
Tata
laksana
Tujuan
terapi sinusitis adalah
1) mempercepat penyembuhan
2) mencegah komplikasi
3) mencegah perubahan menjadi kronik.
Prinsip pengobatan ialah membuka
sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Antibiotik dan dekongestan merupakan
terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi, dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang
dipilih adalah golongan penicilin seperti amoxicillin. Selain itu juga bisa
diberikan ampisilin, erhythromycin,
sefaklor monohidrat, asetil sefuroksim, trimethoprim-sulfametoksazol,
amoxicillin-asam klavulanat, klaritromisin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten
atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoxilin atau ampisilin +
asam klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis
antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan
antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal,
terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik,
steroid oral atau topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya
dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya
diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maxilla atau proetz displacement
therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat (Mangunkusumo
& Soetjipto, 2007).
Dekongestan sistemik yang sering
digunakan seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin. Analgetik diperlukan untuk
menghilangkan nyeri. Mukolitik yang dipilih diantaranya bromheksin, ambroksol,
asetilsistein. Steroid intranasal seperti beklometason, flunisolid,
triamnisolon. Diatermi dilakuakn untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat (Mangunkusumo & Soetjipto,
2007).
Indikasi bedah sinus endoskopi
fungsional (BSEF/FESS) berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah
terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel;
polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
8.
Komplikasi
·
Kelainan orbita
Disebabkan
oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering
ialah sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang
dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita, selanjutnya terjadi trombosis sinus kavernosus.
·
Kelainan intrakranial
Dapat
berupa meningitis,abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis
sinus kavernosus.
· Osteomielitis
dan abses subperiostal
Paling
sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral/fistula pada
pipi.
· Kelainan
paru
Seperti
bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru sinobronkitisselain itu juga timbul asma bronkial.
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007)
D.
POLIP HIDUNG
1.
Definisi
Polip hidung ialah massa lunak yang
mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat
terjadi akibat inflamasi mukosa. Diduga
predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi
makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai
saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan
pasti (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2.
Patogenesis
Pembentukan polip sering diasosiasikan
dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik.
Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau
turbulensi udara, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan
karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya
sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama kelamaan
menjadi polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Bila proses berlanjut, mukosa yang
sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung
dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
3.
Makroskopis
Polip merupakan massa bertangkai,
permukaan licin, bentuk bulat atau lonjong, warna putih keabuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang
pucat disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke
polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat
berubah menjadi kemerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi
kekuningan karena mengandung banyak jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya
terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid
(Mangunkusumo & Wardani, 2007).
4.
Mikroskopis
Epitel serupa mukosa hidung normal,
epitel bertingkat semua bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel terdiri dari
limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel
goblet. Pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah
lama dapat mengalami metaplasia karena sering terkena aliran udara, menjadi
epitel transisional, kubik, atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Berdasarkan jenis sel radangnya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaiut polip
tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
5.
Diagnosis
Polip Nasi
1) Anamnesis
Keluhan
utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat, rinore mulai jernih
sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, nyeri hidung
disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila infeksi sekunder mungkin terdapat
post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan
kualitas hidup (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2) Pemeriksaan
Fisik
Polip
masif dapat menyebabkan deformitas. Pada rinoskopi anterior terlihat sebagai
massa warna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: terbatas di
meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di
rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif
(Mangunkusumo & Wardani, 2007).
3) Pemeriksaan
Radiologi
Foto
sinus paranasal dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan batas udara-cairan
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi
computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama
diindikasikan pada polip yang gagal diterapi medikamentosa, jika ada komplikasi
dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi
(Mangunkusumo & Wardani, 2007).
6.
Penatalaksanaan
Menghilangkan keluhan, mencegah
komplikasi dan rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan
polip sebagai polipektomi medikamentosa, topikal atau sistemik. Polip tipe
eosinofilik berespon lebih baik dibanding neutrofilik. Kasus polip yang tidak
membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan
untuk terapi bedah (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada
scenario di dapatkan beberapa gejala di antaranya adalah :
Pasien mengalami sakit kepala separoh .Istilah
ini di gunakan untuk nyeri wajah bagian bawah.Tergolong dalam hal ini adalah
neuralgia fascialis tidak khas,neuralgia ganglion sfenopalatinum dan neuralgia
vidianus. Dugaan terakhir adalah bahwa umumnya sindrom nyeri pada daerah ini
disebabkan oleh vasodilatasi dan bukan karena proses neuropati kecuali
diimplinkasikan pada system syaraf otonom di kasus tertentu.
Rinosinusitis
akut tentunya dapat di tentukan kontak dalam fosa nasalis, di samping tekanan
ataupun tegangan dalam sinus tertentu. Keterlibatan sinus secara tersendiri
cenderung menimbulkan nyeri pada lokasi berikut:
1. Maksilaris
: wajah depan (pipi) dengan penyebaran ke gigi,orbita dan region malar
2. Etmoidalis
:interokular dengan penyebaran ke lokasi
sinus frontalis
3. Frontalis
: dahi, interokular dan daerah temporal
4. Sfenoidalis
: retro-orbita ,menyebar kearah vertex dan kadang-kadang kedaerah mastoid.
Ingus berbau busuk dikarenakan adanya
infeksi oleh bakteri anaerob yang memfermentasi lemak dan memiliki bau yang
khas yaitu bau busuk, hal ini dikarenakan mukus yang berlebihan pada cavum nasi
merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri anaerob. Mengenai Tercium
bau busuk pada pagi hari , Secara normal bau mulut pagi hari disebabkan
bakteri alami yang ada di mulut. Saat beraktivitas, air liur dan gerakan mulut
normal untuk bicara dan mengunyah, sehingga dapat membersihkan serpihan makan
dan mencegah bakteri berkembang,dan pada saat tidur produksi air liur
berkurang. Tetapi karena tercium bau busuk ,hal ini mengindikasikan adanya
Infeksi karena terjadi
Pasien
juga mengalami perdarahan .Di mana Pada kondisi fisiologis plexus kieselbach
pada cavum nasi mudah ruptur baik oleh trauma ringan ataupun berat, contohnya adalah saat mengeluarkan ingus,
pada skenario mukus yang disekresikan banyak sehingga lebih memperberat trauma
pada plexus kieselbach yang memungkinkan ingus bercampur darah.
Dalam
scenario pasien juga mempunyai riwayat sering menggunakan koyo,air garam dan
daun sirih. Dimana dari ketiga tersebut mempunyai beberapa hal yang perlu di
pahami . Diantaranya adalah Daun sirih mengandung betIephenol, seskuiterpen,
pati, diatase, gula dan kavikol (memiliki kekuatan untuk membunuh kuman), anti-oksidasi
dan fungisida, anti jamur.
Beberapa
studi menunjukkan fungsi khusus dari air garam di bidang kesehatan diantaranya
adalah untuk melenturkan dan mengurangi rasa nyeri pada otot yang sakit.
Berkumur dengan air garam juga dapat menurunkan suatu peradangan, menyembuhkan
infeksi dan bersifat astrigen yang dapat menguatkan gusi. Air garam yang digunakan untuk mengurangi
radang gusi adalah air garam yang berasal dari garam dapur yang beriodium. Air garam ini haruslah memiliki konsentrasi
lebih dari 0,9 % berupa larutan hipertonis yang mempunyai tekanan osmosis yang
lebih besar dari cairan yang ada di dalam sel. Perbedaan tekanan osmosis ini
menyebabkan cairan dari sel bakteri tertarik ke luar sel sehingga sitoplasma
bakteri lama-kelamaan akan menyusut akibatnya sel akan mati atau tidak mampu
berkembang biak.
Polip
hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung,berwarna putih keabu-abuan ,yang terjadi akibat inflamasi mukosa.Polip
dapat timbul baik laki-laki maupun perempuan , dari usia anak-anak sampai usia
lanjut .
Reflek
Bersin dapat disebabkan banyak hal , salah satunya adalah untuk mendeteksi
adanya bakteri dan kelebihan cairan yang masuk ke dalam hidung. Karena tubuh
manusia diciptakan punya sistem penolakan terhadap sesuatu yang dapat merusak
tubuh kita seperti: bakteri, kuman, virus, dll.
Mekanisme
alergi
Rinitis
alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap
sensitisasi alergi.Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya,dan late phase allergic reaction yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam.setelah pemaparan.
Pada
kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi , makrofag atau moonosit
yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen di permukaan
mukosa hidung .Setelah dip roses antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas
II.yang kemudian dipresentasikan pada sel Thelper.Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti IL1 yang akan m engaktifkan Th 0 untuk berpoliferasi
menjadi Th 1 dan Th 2.Peran kedua terjadi granulasi sel mast mengeluarkan
sitokin seperti histamine yang menyebabkan terjadinya gangguan,yaitu alergi.
Hubungan
gigi dan sakit yang di derita oleh pasien Merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik.Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar
gigi ,bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas.Infeksi gigi rahang atas
seperti apical akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar
secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Hasil
analisis pemeriksaan pada scenario yaitu:
Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan konkha hipertrofi,massa putih ,
discharge kental,kuning kecoklatan , hal ini dapat
mengindikasikan adanya Polip hidung yang umumnya terjadi akibat reaksi dari
peradangan yang berkepanjangan,bisa disebabkan karena adanya reaksi hipersensitivitas
(alergi) , dan juga berhubungan dengan hasil pemeriksaan laboratorium
yang didapatkan Leukositosis dan eosinofil , dimana Leukosit dan eosinofil
merupakan penanda dari adanya Reaksi Hipersensitivitas .Perlu dipikirkan juga
mengenai tumor stadium awal , untuk diagnosis pasti perlu dilakukan pemeriksaan
histopatologi.
Hasil
pemeriksaan lab didapatakan leukositosis yang menandakan adanya infeksi dan
peningkatan eusinofil menunjukan adanya reaksi alergi.
Pada
pemerikasaan orofaring didapatkan post nasal drip karena belebihnya mukus yang
dihasilkan sehingga menyebabkan upper airways chough syndrome, atau
batuk yang terus menerus karena tetesan mukus. Pemeriksaan gigi menunjukan
gangren pada M1 sinistra dan M2 dextra dimungkinkan berhubungan dengan faktor
predisposisi sinusitis yang merupakan penjalaran dari gangren pada radix dentes
yang berdekatan dengan sinus maxilaris.
Penatalaksanaan
rhinitis alergi :
1. Terapi
yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab dan
eliminasi.Dan juga dengan medikamentosa .
2. Antihistamin
yang di pakai adalah antagonis histamine H-1 , yang bekerja secara inhibitor
kempetitif pada reseptor H-1 sel target,Dan merupakan preparat farmakologik
yang sering di pakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa di pakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical.Dan
preparat kortikosteroid
3. Operatif
Tindakan
konkotomi parsial ,konkoplasti,perlu di fikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25%
atau triktor asetat.
Penatalaksanaan
sinusitis:
Menghindari
alergen penyebabnya,bisa dengan
imunoterapi.Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bacterial ,untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka ostium sinus.Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin .
Pada
sinusitis yang kronik diberikan antibiotik
yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob.
Selain
dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan
,seperti analgetik,mukolitik,steroid,pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien menderita sinusitis maxillaris dextra.
Sinusitis maxillaris dextra merupakan peradangan pada mukosa yang melapisi
permukaan sinus maxillaris dextra. Penyakit ini dapat diakibatkan karena adanya
polip pada hidung pasien. Selain itu pasien juga memiliki rinitis alergi yang
ditandai dengan bersin-bersin saat terpapar debu. Gangren yang terjadi pada M1
kiri atas serta M2 kanan atas juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
sinusitis maxillaris dextra pada pasien. Sebab dasar sinus maxilla hanya
dibatasi oleh tulang yang sangat tipis dengan akar gigi molar atas. Sehingga
penyebaran infeksi dapat terjadi secara dentogen.
Penatalaksanaan untuk sinusitis maxillaris dextra
dapat berupa drainage dan medikamentosa. Pemberian antibiotik serta dekongestan
lokal maupun oral seperti efedrin dan pseudoefedrin dapat menjadi pilihan
tatalaksana. Selain itu bisa dilakukan surgikal dan cabut geraham yang
mengalamk gangren.
B. Saran
Diskusi tutorial pada skenario pertama berlangsung
lancar. Namun keterlambatan tutor dan pergantian tutor di pertemuan kedua
membuat mahasiswa kesulitan dalam menentukkan arah diskusi. Walau begitu semua
learning objective yang telah ditetapkan dapat dijawab dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Septianto, Teddy; dkk.
2010. Buku Panduan Praktikum Anatomi
Jilid 2. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi Fakultas Kedokteran UNS
2.
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/.../Chapter%20II.pdf
3. Mangunkusumo,
Endang. Rifki, Nusjirwan. 2000. Sinusitis dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar,
Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher
Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Mangunkusumo,
Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi, Efiaty A.
Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
5.
Soetjipto, Damayanti.
Mangunkusumo, Endang. 2007. Sinus Paranasal dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar,
Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher
Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6. Irawati,
N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar IlmuKesehatan
Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI; 2007; 128-134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar