Minggu, 06 Januari 2013

Skenario 1 Blok THT


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
       Rinitis adalah suatu infeksi hidung yang bisa disebabkan karena banyak hal. Rinitis juga digolongkan menjadi beberapa macam, diantaranya rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi, rinitis difteri, dan rinitis jamur. Mekanisme atau patofisiologi terhadap penyakit rinitis juga bermacam-macam tergantung dari jenisnya.
       Dalam skenario didapatkan pasien dengan sakit rinitis alergi. Rinitis alergi merupakan peyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yagn sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Biasanya pasien mengalami gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan hidung tersumbat setelah terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
       Selain itu, didapatkan juga bahwa pasien menderita polip dan sinusitis. Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung yang berwarna putih keabuan. Sedangkan sinusitis adalah inflamasi pada mukosa sinus paranasal yang penyebab utamanya adalah salesma (infeksi virus), selanjutnya diikuti infeksi bakteri. Sinusitis termasuk salah satu penyakit yagn paling sering terjadi dalam praktek dokter sehari-hari. Penemuan dari penyakit-penyakit yang di derita pasien pada skenario 1 pada blok THT akan dijabarkan lebih lanjut di bab-bab selanjutnya.
       Berikut ini adalah permasalahan pada skenario 1
“Seorang laki-laki 35 tahun didiagnosis menderita polip hidung, sekitar 1 tahun ini dia merasakan pilek terus menerus disertai bersin-bersin terutama jika terpapar debu, gangguan dirasakan terutama saat bernafas, hidung terasa tersumbat, tidak bisa menghidu, kadang-kadang disertai nyeri kepala separo dan tercium bau busuk terutama pagi hari. Sejak lama, istrinya juga mendengar suaminya mengeluh sakit gigi, tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, hanya berkumur air garam dan rendaman daun sirih, dan jika bengkak hanya menggunakan koyo yang ditempelkan pada pipinya. Karena keluhan dirasakan makin berat bahkan terkadang sampai mengeluarkan darah jika membuang ingus dan berbau busuk maka ia mengantarkan suaminya ke poli THT.
       Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat konkha hipertrofi, massa putih, discharge kental, kuning kecoklatan.
       Pada pemeriksaan orofaring didapatkan post nasal drip, dan gigi gangren pada M1 kiri atas serta M2 kanan atas. Pada foto kepala posisi Water’s Pa, dan lateral, terlihat air fluid level pada sinusitis maksilaris dextra.
       Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan peningkatan eosinofil.”

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan gigi?
2.      Bagimana mekanisme bersin? Apa saja pemicu reaksi bersin?
3.      Bagaimana patofisiologi dari gejala yang dialami pasien?
4.      Adakah hubungan sakit gigi dengan penyakit yang diderita pasien?
5.      Apakah pengaruh pemakaian koyo, air garam, dan rendaman air daun sirih pada pasien?
6.      Bagaimana analisi data hasil pemeriksaan rhinoskopi, pemeriksaan orofaring, pemeriksaan foto kepala, dan pemeriksaan labolatorium?
7.      Apa diagnosis dan diagnosis banding pada skenario ini?
8.      Bagaimana penatalaksaan pasien pada skenario?

C.     TUJUAN
1.      Mengetahui anatomi, fisiologi, dan histologi dari hidung dan gigi.
2.      Mengetahui mekanisme bersin,dan Apa saja pemicu reaksi bersin.
3.      Mengetahui patofisiologi dari gejala yang dialami pasien.
4.      Mengetahui hubungan sakit gigi dengan penyakit yang diderita pasien.
5.      Mengetahui pengaruh pemakaian koyo, air garam, dan rendaman air daun sirih pada pasien.
6.      Mengetahui analisi data hasil pemeriksaan rhinoskopi, pemeriksaan orofaring, pemeriksaan foto kepala, dan pemeriksaan labolatorium.
7.      Mengetahui diagnosis dan diagnosis banding pada skenario ini.
8.      Mengetahui penatalaksaan pasien pada skenario.

D.    MANFAAT
     Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami dasar teori meliputi etiologi, patologi, dan patofisiologi mengenai penyakit hidung dan kelainan pada hidung, sehingga dapat menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan yang tepat pada pasien













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Anatomi Hidung dan Gigi
A.    Nasus (Hidung)
Pada permukaan inferior nasus terdapat dua lubang , yaitu nares anteriores yang dipisahkan satu sama lain oleh septum nasi.
Septum nasi terdiri dari:
-     Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis
-     Os vomer
-     Cartilago septi nasi
Ø Cavum Nasi
Cavum nasi dapat berhubungan dengan nasofaring melalui choanae. Bagian 2/3 inferior membran mukosa cavum nasi termasuk area respiratoria, sedangkan bagian 1/3 superior merupakan area olfaktoria. Cavum nasi ini dilapisi oleh membran mukosa, kecuali bagian vestiblum nasi yang dilapisi oleh kulit
.
Dinding lateral cavum nasi dibagi menjadi:
-       Di bagian anterior terdapat vestibulum nasi dimana akan dijumpai vibrisae, di bagian atas dan dorsal dibatasi oleh limen nasi.
-       Di bagian tengah terdapat atrium dan meatus nasi
-       Di bagian posterior terdapat concha dan meatus nasi
·    Chonca
Merupakan penonjolan tulang yang memperluas cavum nasi. Terdiri dari concha nasalis superior dan media, yang merupakan penonjolan dari fascies medialis labyrinthus ethmoidalis, serta concha nasalis inferior, yang merupakan penonjolan tulang independen. Tiap choncha tersebut akan melindungi meatus nasi dibawahnya.
·      Meatus Nasi
a.       Meatus Nasi Superior
   Terletak diantara concha nasalis superior dan concha nasalis media. Dimuarai oleh cellulae ethmoidalis posteriores dan sinus sphenoidalis. Terdapat recessus sphenoethmoidalis diatas concha nasalis superior yang merupakan lubang keluar dari sinus sphenoidalis.
b.      Meatus Nasi Media
    Terletak diantara concha nasalis media dan concha nasalis inferior dan merupakan muara dari sinus maxillaris. Pada sisi lateralnya, terdapat celah yaitu hiatus semilunaris dimana di dekatnya terdapat lubang sinus ethmoidalis anterior. Pada sisi atasnya terdapat peninggian, yaitu bulla ethmoidalis yang di dalamnya terdapat cullale ethmoidalis. Pada bagian anterosuperior akan berhubungan dengan infundibulum, yang merupakan jalan menuju sinus frontalis.
c.       Meatus Nasi Inferior
Terletak di bawah concha nasalis inferior dan merupakan muara  dari ductus nasolacrimalis.
Ø  Vascularisasi
      Bagian bawah divascularisasi oleh a. palatina major dan a. sphenopalatina, yang merupakan cabang-cabang dari a. maxillaris interna. Bagian depan oleh cabang-cabang a. fascialis. Pada bagian depan septum nasi terdapat Plexus Kiesselbach, yang merupakan anastomosis antara r. septalis dari r. labialis superior a. fascialis dengan a. sphenopalatina.
Ø  Innervasi
     Bagian 2/3 inferior membran mukosa dipersarafi oleh nervus nasopalatinus cabang nervus maxillaris. Bagian anterior oleh nervus ethmoidalis anterior cabang nervus nasociliaris cabang nervus ophtalmicus. Bagian lateral oleh rami nasales nervus maxillaris, nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis anterior.
Ø  Sinus Paranasalis
a.       Sinus Maxillaris
     Merupakan sinus paranasalis terbesar yang disebut juga anthrum of Highmore. Sinus ini berbentuk piramid dengan puncak menjulang ke arah os. zygomaticum, dasarnya dibentuk oleh alveolar maxilla membentuk dinding lateral cavum nasi, dan atapnya dibentuk oleh dasar orbita.
Tiap sinus ini berhubungan dengan meatus nasi media melalui hiatus semilinaris pada ostium yang letaknya lebih tinggi daripada alasnya, sehingga sinus maxillaris tidak dapat mengalirkan sekret jika kepala dalam posisi tegak, kecuali dalam keadaan penuh. Aliran sekret hanya tergantung dari gerakan silia-silianya.
Sinus maxillaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus infraorbitalis.
b.      Sinus Frontalis
Terletak diantara tabula externa dan tabula interna ossis frontalis. Sinus ini berhubungan dengan infundibulum melalui ductus nasofrontalis dan akan bermuara pada meatus nasi media. Sinus frontalis dipersarafi oleh nervus supraorbitalis.
c.       Sinus Ethmoidales
Terdiri dari beberapa rongga kecil, yaitu cellulae etmoidales. Cellulae etmoidales anteriores berhubungan dengan meatus nasi media, sedangkat cellulae ethmoidales posteriores bermuara ke meatus nasi superior. Sinus etmoidales dipersarafi oleh nervus ethmoidales anterior dan nervus ethmoidales posterior.
d.      Sinus Sphenoidalis
Terdapat pada corpus ossis sphenoidalis yang dapat meluas ke dalam ala major dan ala minor ossis sphenoidalis. Sinus ini membuka ke dalam recessus sphenoethmoidalis yang terletak diatas concha nasalis superior. Sinus sphenoidalis dipersarafi oleh nervus ethmoidales posterior.
B.                 Gigi Geligi (Dentes)
a.                   Gigi Susu (Dentes decidui)
Gigi ini muncul dalam rongga mulut sekitar umur enam bulan dan selesai pada akhir tahun kedua. berjumlah 20 buah, yaitu 4 incisivus, 2 caninus, 4 molar pada setiap rahang.
Rumus :                                       m2 m1 c i2 i1      i1 i2 c m1 m2


                                                   m2 m1 c i2 i1        i1 i2 c m1 m2
b.      Gigi Tetap (Dentes permanentes)
Gigi tetap berjumlah 32 buah, yaitu 2 incisivus, 2 caninis, 4 premolar, 6 molar pada setiap rahang. Gigi ini mulai timbul sekitar umur enam tahun, dan gigi terakhir yang tumbuh adalah molar ketiga, yang terjadi antara umur 17 hingga 30 tahun.
Rumus:
                                     M3 M2 M1 P2 P1 C I2 I1            I1 I2 C P1 P2 M1 M2 M3
                                     M3 M2 M1 P2 P1 C I2 I1            I1 I2 C P1 P2 M1 M2 M3
v  Neurovascular Gigi
-          a/v/n alveolaris superior anterior (gigi C dan I atas)
-          a/v/n alveolaris superior media (gigi M1 dan P atas)
-          a/v/n alveolaris superior posterior (gigi M2 dan M3 atas)
-          a/v/n alveolaris inferior (gigi M dan P bawah)
-          r. incisivus a/v/n alveolaris inferior (gigi C dan I bawah)
v  Neurovascular Gingival
-          a/v/n buccinator dan n. buccalis
-          r. labialis a/v/n infraorbitalis
-          n. palatinus major
-          n. nasopalatinus
(Buku Panduan Praktikum Anatomi Jilid 2, 2010)
Fisiologi Hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85%-90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997 ;McCaffrey,2000).
Menurut Mangunkusumo (2001) fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal (Ballenger,1994; Mangunkusomo,2001).
Histologi Hidung
Luas permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda (Mygind 1981).
a.        
Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.
Cavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996).
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger 1996).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng (Waguespack 1995; Ballenger 1996).
b.        Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg 1997).
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar.(Sakakura 1994).
c.         Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind 1981).
d.        Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger 1996).
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).
A.    Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E. Usia 15-30 tahun sangat rentan akan paparan alergen sehingga menyebabkan rhinitis alergi.
1.      Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap sensitisasi dan diikuti tahap provokas/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediated Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.  Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC komplek peptida MHC kelas II yang kemudian di presentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan  Th 0 yang berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia terutama histamin.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulakn rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.  Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
2.      Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran selgoblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler danpenebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosadan submukosa hidung.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1.Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau deburumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
2.Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,telur,coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3.Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dansengatan lebah.
4.Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnyabahan kosmetik, perhiasan.
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :
1.  Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen),rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnyadibagi menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang).
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.2.
2. Persisten/ menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai,berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat.
Bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.
3.      Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar ingus(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata ataupalatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.
4.      Pemeriksaan Fisik 
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau lividdisertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah matayang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergicshiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggungtangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergiccrease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi ( facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta ( geographictongue).
5.      Pemeriksaan Penunjang
Invitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
Invivo :Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, ujiintrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SETdilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasiyang bertingkat kepekatannya. Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus ProvocativeDilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan dieteliminasi dan provokasi (Challenge Test).
6. Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab daneliminasi.
b. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1(klasik)dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapatmenembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat responfase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif 
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferiorturbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak berhasildikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
6.      Komplikasi
 Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1.Polip hidung.
2.Otitis media.
3.Sinusitis paranasal.

B.     Tumor Hidung dan Sinonasal
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya berkisar sekitar 1% dari seluruh keganasan.
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium,minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Gejala timbul setelah tumor besar, mendorong atau timbul setelah tumor besar, mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.            Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2.            Gejala orbital.
Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3.            Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4.            Gejala fasial.
Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anestesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5.            Gejala intracranial.
Perluasan tumor ke intrakranial akan menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia, dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampe ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesi daerah yang dipersarafi nervus maksillaris dan mandibularis.
Pemeriksaan Fisik 
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak. Pada periksaan kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor  berada di sinus maksila. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor  pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
Pemeriksaan Penunjang 
Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan buatlah tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi ataumelalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karenaakan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah denganangiografi.
C.    SINUSITIS
1.      Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai bebeerapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maxila dan sinusitis etmooid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo, 2007).
2.      Faktor predisposisi
Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di rongga hidung. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi bisa menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia (Mangunkusumo & Rifki, 2000).
3.      Patofisiologi
Organ-organ pembentuk KOM letaknya berdekatan, dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik.
 Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
4.      Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara  4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
5.      Gejala Sinusitis
Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Nyeri tekan di daerah sinus yang terkena, kadang nyeri terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri di vertex, oksipital, belakang bola mata, atau daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya 1 atau 2 dari gejala seperti sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkhitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
6.      Pemeriksaan sinus paranasal
1)      Inspeksi
Adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
2)      Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
3)      Transiluminasi
Hanya dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologic tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena terbatas kegunaannya.
Gambar. transiluminasi sinus maxilla

4)      Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
Dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maxilla (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
5)      Sinuskopi
Dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maxilla melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maxilla yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
6)      Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologic. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
7)      CT-scan
Merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengibatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melkaukan operasi sinus.
              Gambar. Posisi waters                                     Gambar. Posisi lateral
                                   Gambar. posisi postero-anterior
7.      Tata laksana
Tujuan terapi sinusitis adalah
1) mempercepat penyembuhan
2) mencegah komplikasi
3) mencegah perubahan menjadi kronik.
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi, dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penicilin seperti amoxicillin. Selain itu juga bisa diberikan  ampisilin, erhythromycin, sefaklor monohidrat, asetil sefuroksim, trimethoprim-sulfametoksazol, amoxicillin-asam klavulanat, klaritromisin.
Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoxilin atau ampisilin + asam klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maxilla atau proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Dekongestan sistemik yang sering digunakan seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin. Analgetik diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Mukolitik yang dipilih diantaranya bromheksin, ambroksol, asetilsistein. Steroid intranasal seperti beklometason, flunisolid, triamnisolon. Diatermi dilakuakn untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Indikasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).

8.      Komplikasi
·                     Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita, selanjutnya terjadi trombosis sinus kavernosus.
·           Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis,abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
·      Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral/fistula pada pipi.
·      Kelainan paru
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru sinobronkitisselain itu juga timbul asma bronkial. (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007)

D.    POLIP HIDUNG
1.      Definisi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi mukosa.  Diduga predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2.      Patogenesis
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau turbulensi udara, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
Bila proses berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
3.      Makroskopis
Polip merupakan massa bertangkai, permukaan licin, bentuk bulat atau lonjong, warna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuningan karena mengandung banyak jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
4.      Mikroskopis
Epitel serupa mukosa hidung normal, epitel bertingkat semua bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel goblet. Pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik, atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel radangnya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaiut polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
5.      Diagnosis Polip Nasi
1)      Anamnesis
Keluhan utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat, rinore mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, nyeri hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila infeksi sekunder mungkin terdapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
2)      Pemeriksaan Fisik
Polip masif dapat menyebabkan deformitas. Pada rinoskopi anterior terlihat sebagai massa warna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
3)      Pemeriksaan Radiologi
Foto sinus paranasal dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan batas udara-cairan dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada polip yang gagal diterapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunkusumo & Wardani, 2007).

6.      Penatalaksanaan
Menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip sebagai polipektomi medikamentosa, topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik berespon lebih baik dibanding neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah (Mangunkusumo & Wardani, 2007).









BAB III
PEMBAHASAN
Pada scenario di dapatkan beberapa gejala di antaranya adalah :
 Pasien mengalami sakit kepala separoh .Istilah ini di gunakan untuk nyeri wajah bagian bawah.Tergolong dalam hal ini adalah neuralgia fascialis tidak khas,neuralgia ganglion sfenopalatinum dan neuralgia vidianus. Dugaan terakhir adalah bahwa umumnya sindrom nyeri pada daerah ini disebabkan oleh vasodilatasi dan bukan karena proses neuropati kecuali diimplinkasikan pada system syaraf otonom di kasus tertentu.
Rinosinusitis akut tentunya dapat di tentukan kontak dalam fosa nasalis, di samping tekanan ataupun tegangan dalam sinus tertentu. Keterlibatan sinus secara tersendiri cenderung menimbulkan nyeri pada lokasi berikut:
1.      Maksilaris : wajah depan (pipi) dengan penyebaran ke gigi,orbita dan region malar
2.      Etmoidalis :interokular dengan penyebaran ke lokasi  sinus frontalis
3.      Frontalis : dahi, interokular dan daerah temporal
4.      Sfenoidalis : retro-orbita ,menyebar kearah vertex dan kadang-kadang kedaerah mastoid.
Ingus berbau busuk dikarenakan adanya infeksi oleh bakteri anaerob yang memfermentasi lemak dan memiliki bau yang khas yaitu bau busuk, hal ini dikarenakan mukus yang berlebihan pada cavum nasi merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri anaerob. Mengenai Tercium bau busuk pada pagi hari , Secara normal bau mulut pagi hari disebabkan bakteri alami yang ada di mulut. Saat beraktivitas, air liur dan gerakan mulut normal untuk bicara dan mengunyah, sehingga dapat membersihkan serpihan makan dan mencegah bakteri berkembang,dan pada saat tidur produksi air liur berkurang. Tetapi karena tercium bau busuk ,hal ini mengindikasikan adanya Infeksi  karena terjadi
Pasien juga mengalami perdarahan .Di mana Pada kondisi fisiologis plexus kieselbach pada cavum nasi mudah ruptur baik oleh trauma ringan ataupun berat,  contohnya adalah saat mengeluarkan ingus, pada skenario mukus yang disekresikan banyak sehingga lebih memperberat trauma pada plexus kieselbach yang memungkinkan ingus bercampur darah.
Dalam scenario pasien juga mempunyai riwayat sering menggunakan koyo,air garam dan daun sirih. Dimana dari ketiga tersebut mempunyai beberapa hal yang perlu di pahami . Diantaranya adalah Daun sirih mengandung betIephenol, seskuiterpen, pati, diatase, gula dan kavikol (memiliki kekuatan untuk membunuh kuman), anti-oksidasi dan fungisida, anti jamur.
Beberapa studi menunjukkan fungsi khusus dari air garam di bidang kesehatan diantaranya adalah untuk melenturkan dan mengurangi rasa nyeri pada otot yang sakit. Berkumur dengan air garam juga dapat menurunkan suatu peradangan, menyembuhkan infeksi dan bersifat astrigen yang dapat menguatkan gusi.  Air garam yang digunakan untuk mengurangi radang gusi adalah air garam yang berasal dari garam dapur yang beriodium.  Air garam ini haruslah memiliki konsentrasi lebih dari 0,9 % berupa larutan hipertonis yang mempunyai tekanan osmosis yang lebih besar dari cairan yang ada di dalam sel. Perbedaan tekanan osmosis ini menyebabkan cairan dari sel bakteri tertarik ke luar sel sehingga sitoplasma bakteri lama-kelamaan akan menyusut akibatnya sel akan mati atau tidak mampu berkembang biak.
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,berwarna putih keabu-abuan ,yang terjadi akibat inflamasi mukosa.Polip dapat timbul baik laki-laki maupun perempuan , dari usia anak-anak sampai usia lanjut .
Reflek Bersin dapat disebabkan banyak hal  , salah satunya adalah untuk mendeteksi adanya bakteri dan kelebihan cairan yang masuk ke dalam hidung. Karena tubuh manusia diciptakan punya sistem penolakan terhadap sesuatu yang dapat merusak tubuh kita seperti: bakteri, kuman, virus, dll.
Mekanisme alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang di awali dengan tahap sensitisasi alergi.Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya,dan late phase allergic reaction yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam.setelah pemaparan.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi , makrofag atau moonosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen di permukaan mukosa hidung .Setelah dip roses antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II.yang kemudian dipresentasikan pada sel Thelper.Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti IL1 yang akan m engaktifkan Th 0 untuk berpoliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Peran kedua terjadi granulasi sel mast mengeluarkan sitokin seperti histamine yang menyebabkan terjadinya gangguan,yaitu alergi.
Hubungan gigi dan sakit yang di derita oleh pasien Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi ,bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas.Infeksi gigi rahang atas seperti apical akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Hasil analisis pemeriksaan pada scenario yaitu:
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan konkha hipertrofi,massa putih , discharge kental,kuning kecoklatan , hal ini dapat mengindikasikan adanya Polip hidung yang umumnya terjadi akibat reaksi dari peradangan yang berkepanjangan,bisa disebabkan karena adanya reaksi hipersensitivitas (alergi) , dan juga berhubungan dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan Leukositosis dan eosinofil , dimana Leukosit dan eosinofil merupakan penanda dari adanya Reaksi Hipersensitivitas .Perlu dipikirkan juga mengenai tumor stadium awal , untuk diagnosis pasti perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Hasil pemeriksaan lab didapatakan leukositosis yang menandakan adanya infeksi dan peningkatan eusinofil menunjukan adanya reaksi alergi.
Pada pemerikasaan orofaring didapatkan post nasal drip karena belebihnya mukus yang dihasilkan sehingga menyebabkan upper airways chough syndrome, atau batuk yang terus menerus karena tetesan mukus. Pemeriksaan gigi menunjukan gangren pada M1 sinistra dan M2 dextra dimungkinkan berhubungan dengan faktor predisposisi sinusitis yang merupakan penjalaran dari gangren pada radix dentes yang berdekatan dengan sinus maxilaris.
Penatalaksanaan rhinitis alergi :
1.      Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliminasi.Dan juga dengan medikamentosa .
2.      Antihistamin yang di pakai adalah antagonis histamine H-1 , yang bekerja secara inhibitor kempetitif pada reseptor H-1 sel target,Dan merupakan preparat farmakologik yang sering di pakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa di pakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical.Dan preparat kortikosteroid
3.      Operatif
Tindakan konkotomi parsial ,konkoplasti,perlu di fikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triktor asetat.

Penatalaksanaan sinusitis:
Menghindari alergen penyebabnya,bisa  dengan imunoterapi.Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial ,untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka ostium sinus.Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin .
Pada sinusitis yang kronik diberikan antibiotik  yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan ,seperti analgetik,mukolitik,steroid,pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).






















BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pasien menderita sinusitis maxillaris dextra. Sinusitis maxillaris dextra merupakan peradangan pada mukosa yang melapisi permukaan sinus maxillaris dextra. Penyakit ini dapat diakibatkan karena adanya polip pada hidung pasien. Selain itu pasien juga memiliki rinitis alergi yang ditandai dengan bersin-bersin saat terpapar debu. Gangren yang terjadi pada M1 kiri atas serta M2 kanan atas juga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis maxillaris dextra pada pasien. Sebab dasar sinus maxilla hanya dibatasi oleh tulang yang sangat tipis dengan akar gigi molar atas. Sehingga penyebaran infeksi dapat terjadi secara dentogen.

Penatalaksanaan untuk sinusitis maxillaris dextra dapat berupa drainage dan medikamentosa. Pemberian antibiotik serta dekongestan lokal maupun oral seperti efedrin dan pseudoefedrin dapat menjadi pilihan tatalaksana. Selain itu bisa dilakukan surgikal dan cabut geraham yang mengalamk gangren.

B.     Saran

Diskusi tutorial pada skenario pertama berlangsung lancar. Namun keterlambatan tutor dan pergantian tutor di pertemuan kedua membuat mahasiswa kesulitan dalam menentukkan arah diskusi. Walau begitu semua learning objective yang telah ditetapkan dapat dijawab dengan baik.














DAFTAR PUSTAKA

1.      Septianto, Teddy; dkk. 2010. Buku Panduan Praktikum Anatomi Jilid 2. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi Fakultas Kedokteran UNS
2.      www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/.../Chapter%20II.pdf
3.      Mangunkusumo, Endang. Rifki, Nusjirwan. 2000. Sinusitis dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

4.      Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5.      Soetjipto, Damayanti. Mangunkusumo, Endang. 2007. Sinus Paranasal dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

6.      Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar IlmuKesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007; 128-134.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar