Senin, 15 Agustus 2011

Skenario 1 Blok 3 Biologi Molekuler


BAB I
PENDAHULUAN


Semua ibu yang sedang mengandung tentu saja menginginkan anaknya lahir dengan kondisi normal seperti manusia sehat pada umumnya. Namun, pada kenyataannya dapat terjadi beberapa kelainan dalam manusia yang muncul bahkan sejak manusia baru saja terbentuk. Kelainan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik.
Kelainan genetik yang terjadi dapat mengakibatkan berbagai penyakit, dari yang ringan hingga mematikan, dari yang dapat terlihat lewat fisik penderita maupun yang tidak terlihat. Kelainan genetik pun hingga kini belum ditemukan pengobatan kausatifnya. Penatalaksanaan untuk penderita hanya sebatas peningkatan mutu hidup dan pengobatan simptomatis. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula akan ditemukan pengobatan baru yang lebih efektif dan efisien. Untuk itu, tentu penulis sebagai mahasiswa kedokteran perlu mempelajari tentang seluk beluk penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetik yang salah satunya adalah Sindrom Down.
Berikut ini permasalahan dalam skenario yang akan dibahas dalam laporan ini:
Seorang wanita 39 tahun memeriksakan anak pertamanya yang telah berusia 2 tahun di poliklinik kesehatan ibu-anak PUSKESMAS karena belum bisa berjalan dan bicara dengan jelas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya hipotonus pada anggota gerak bawah, flat facial profile, dan lidah yang lebih tebal dan besar dibandingkan ukuran mulutnya. Juga didapatkan tingkat kecerdasan anak tidak sesuai dengan umurnya (retardasi mental) dimana kemampunnya identik dengan anak umur 10 bulan.
Dokter menjelaskan kelainan ini bisa terjadi akibat faktor kelainan kromosom pada saat pembelahan sel, sehingga terjadi gangguan pada perkembanan embrio janin dalam kandungan. Dokter menyarankan untuk pemeriksaan kariotyping serta pemeriksaan lain untuk memastikan jika ada komplikasi atau penyakit penyerta lain. Ibu tersebut sangat khawatir mengenai perkembangan dan masa depan anaknya, serta ingin mencegah terjadinya kelainan yang sama jika ia hamil lagi.
Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis kelainan Down syndrome terutama dari segi molekuler-genetika, serta mencari hubungan faktor hereditas dengan Down syndrome.





BAB II
STUDI PUSTAKA

Sel adalah unit struktural dan fungsional terkecil dari makhluk hidup. Secara struktural, terdapat dua jenis sel, yaitu sel prokariotik dan sel eukariotik. Perbedaan utama antara kedua jenis sel tersebut adalah bahwa materi genetik (DNA) sel prokariotik tidak terletak dalam suatu struktur membran ganda yang disebut nukleus. Sedangkan pada eukariota, semua materi genetiknya terdapat pada molekul DNA, yang terdapat sebagai kromosom. Sel eukariotik memiliki berbagai organel, di antaranya mitokondria sebagai penghasil ATP, sentriol (terletak di dalam sentrosom) yang terdapat pada kutub sel, vakuola berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan, ribosom berfungsi sebagai tempat pembuatan protein, dan sitoskeleton sebagai pemberi kerangka pada sel (Cullen, 2006). Apparatus Golgi sebagai pusat sintesis gula, lipid, serta pegumpul dan pengepakan produk-produk sekretoris; lisosom mengandung enzim hidrolitik untuk digesti intraseluller, merombak isi sel, dan membongkar toksin, peroksisom menghacurkan hidrogen peroksida, dan sitoplasma sebagai pusat aktivitas sel (Mujosemedi, 2010).                                                                                                                                                                                  
Dalam siklus sel mitotik terjadi interfase dan fase mitotik. Dalam interfase terdapat tahapan G1, S, dan G2. Pada tahapan ini, terjadi penggandaan DNA dan sintesis organel. Tahapan ini memakan waktu 90% dari total waktu siklus sel.
Fase mitotik (mitosis) terbagi atas lima subfase yaitu profase (benang kromatin memadat menjadi kromosom), prometafase (selubung nukleus terfragmentasi, mikrotubulus menempel di kinetokor), metafase (kromosom berderet di bidang ekuator), anafase (kromosom tertarik ke kutub yang berlawanan), dan telofase (nukleus terbentuk kembali, terjadi sitokinesis). Menghasilkan dua sel anakan dengan kromosom diploid (2n). (Campbell et al, 2002).
Dalam siklus sel meiosis, terjadi dua tahapan pembelahan, yaitu meiosis I yang sebelumnya melewati fase interfase dan meiosis II (tanpa interfase). Dalam meiosis dapat terjadi crossing over, yaitu petukaran gen antar kromosom homolog. Siklus hampir sama dengan mitosis, tetapi dalam meiosis menghasilkan 4 sel anakan dengan kromosom haploid (n). (Campbell et al, 2002).

  Kromosom adalah benda-benda halus lurus seperti batang atau tengkok dan terdiri dari zat yang mudah mengikat warna, fungsinya sebagai pembawa sifat-sifat genetik. (Suryo, 2005).
  Bagian-bagian kromosom di antaranya adalah kromonema, yaitu pita berbentuk spiral, kromomer adalah penebalan kromonema di beberapa tempat. Bagian lainnya ialah sentromer, lekukan ke dua, telomer, dan satelit. (Suryo, 2005).      
Kelainan pada kromosom dapat kita sebut sebagai aberrasi. Aberrasi kromosom dibagi menjadi dua, yaitu:

Down syndrome adalah suatu kondisi kelainan kromosom yang dikaitkan dengan cacat intelektual, penampilan wajah karakteristik, dan hipotonia pada bayi. Tingkat cacat intelektual bervariasi, tetapi biasanya ringan sampai sedang. Orang dengan Down syndrome dapat lahir dengan berbagai cacat lahir. Sekitar setengah dari semua anak yang terkena dampak memiliki cacat jantung, kelainan pencernaan seperti penyumbatan usus. (Antonarakis, et al.2004)
Individu dengan Down syndrome memiliki peningkatan risiko mengembangkan beberapa kondisi medis. Ini termasuk refluks gastroesophageal, yang merupakan aliran balik isi lambung asam ke kerongkongan, dan penyakit celiac, yang merupakan intoleransi protein yang disebut gluten gandum. Sekitar 15 persen orang dengan Down syndrome memiliki kelenjar tiroid kurang aktif (hipotiroidisme). Individu dengan Down syndrome juga memiliki peningkatan risiko gangguan pendengaran dan penglihatan. Selain itu, sekitar 1 persen dari anak-anak dengan Down syndrome mengembangkan kanker sel darah (leukemia). (Antonarakis, et al.2004)
Kasus sindrom Down terjadi karena adanya trisomi 21. Dari sudut sitologi dapat dibedakan dua tipe sindrom Down, yaitu:
Penderita memiliki 47 kromosom
Penderita laki-laki = 47, XY, +21
Penderita perempuan = 47, XX, +21
Kira-kira 92.5 % dari semua kasus sindrom Down tergolong dalam tipe ini.
Translokasi adalah peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom yang disebabkan karena suatu potongan kromosom lainnya yang bukan homolognya. Pada sindrom Down translokasi, lengan panjang dari autosom nomor 21 melekat pada autosom lain, kadang-kadang dengan autosom 15 tetapi yang lebih sering dengan autosom 14. Dengan demikian, individu yang menderita sindrom Down translokasi memiliki 46 kromosom. (Suryo, 2005).
Pada Down syndrome trisomi 21 (utuh), dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Non-disjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu 1) adanya virus atau akibat radiasi; 2) adanya pengandungan antibodi tiroid yang tinggi; 3) sel telur mengalami kemunduran apabila setelah berada dalam tuba fallopii tidak dibuahi. Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21). (Suryo, 2005).
Screening untuk sondrom Down dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya dengan:
Deteksi kelainan dari darah ibu terhadap kandungan zat-zat tertentu seperti a feto protein, estrol, ACG.
CVS ini untuk memeriksa sel-sel janin yang diperoleh secara biopsi terhadap villi chrrionic.
(Sulastowo, 2008)
Tidak ada terapi medis yang tersedia bagi retardasi mental pada penderita Down syndrome. Hal yang dapat dilakukan pada penderita Down syndrome hanya berupa terapi penunjang, antara lain seperti konseling genetik, vaksinasi dan perawatan kesehatan, perawatan medis dan monitoring untuk pasien Down syndrome dewasa, terapi bedah bagi penyakit yang berkaitan, dan konsultasi (fisik, occupational therapy, terapi bicara). (Chen, 2007)





BAB III
PEMBAHASAN

Down syndrome (trisomi 21) adalah kelainan genetik, aneuploidi (2n+1), dimana kromoson no.21 terdapat sebayak tiga kopi yang seharusnya hanya dua kopi. Semua pasangan suami istri memiliki risiko melahirkan anak dengan kelainan trisomi 21. Trisomi 21 terjadi karena kesalahan pada saat pembelahan sel-sel gamet saat meiosis sehingga mempunyai kariotip 47, XX+21 atau 47, XY+21. Penyakit ini dapat terjadi karena adanya non-disjunction, translokasi, ataupun over expression gen. Pada penderita syndrome down ini memiliki ciri-ciri seperti yang dibahas di sekenario yang disebut mongolisme. Asupan nutrisi (asam folat) dan usia ibu saat hamil sangat berpengaruh terhadap risiko terjadinya kelainan ini. Hal ini dikarenakan, semua oosit wanita terbentuk saat lahir, sel ini berhenti meiosis sampai saat ovulasi. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya usia oosit berperan menimbulkan non-disjunction karena disposisi. Non-disjunction tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: virus, kerusakan akibat radiasi, terdapat kandungan antibodi tiroid yang tinggi, dan sel telur mengalami kemunduran kualitas karena dalam tubafalopi tidak dibuahi. Untuk mengetahui adanya kelainan kromosom ini, kita dapat menggunakan teknik kariotyping (pewarnaan kromosom) sehingga dapat diketahui secara pasti.
Penambahan atau pengurangan satu atau dua kromosom lebih berbahaya daripada adanya penambahan atau pengurangan tiga kromosom dan kelipatannya karena jika hanya ada insersi atau delesi satu atau dua buah kromoson maka akan menggeser susunan nukleotida berikutnya sehingga akan mengubah seluruh protein yang seharusnya terbentuk. Sedangkan jika kehilangan tiga atau kelipatannya maka individu tersebut hanya akan kehilangan satu atau beberapa protein tertentu tanpa membuat perubahan drastis hasil protein yang seharusnya dihasilkan. Maka dari itu, syndrome down adalah kelainan kromosom yang menimbulkan kelainan-kelainan yang kompleks.
Sampai saat ini terapi yang ada hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan harapan hidup pasien yaitu dengan: konseling genetik, vaksinisasi, perawatan kesehatan, perawatan medis, konsultasi (pemeriksaan fisik, occupational therapy, terapi bicara), dan sebagainya. Jadi, terapi pada penderita Down syndrome lebih mengacu kepada bagaimana penderita Down syndrome dapat hidup dengan kualitas yang lebih baik dan bagaimana penderita Down syndrome dapat bersosialisasi dan hidup dalam masyarakat, agar dapat mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada orang lain.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


Sampai sekarang kelainan genetik down syndrome belum ditemukan obatnya. Peran orang tua dan lingkungan sangat penting bagi penderita down syndrome agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Sekalipun penderita down syndrome memiliki kekurangan dalam berbagai aspek dibanding manusia normal, biasanya penderita down syndrome memiliki kelebihan yang luar biasa yang tidak ditemui pada manusia normal. Apabila kelebihan itu dapat ditemukan dan dikembangkan, maka dapat menjadi hal yang luar biasa dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderita down syndrome.





DAFTAR PUSTAKA

Antonarakis, Lyle R., Dermitzakis. 2004. Chromosome 21 and down syndrome: from genomics to patophysiology. Diakses 5 November 2010 (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510164)
Campbell, Reece Mitchell. 2002. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Chen, Harold. 2007. Down Syndrome. Diakses 5 November 2010 (http://www.emedicine.com/ped/topic615.htm )
Cullen, Katherine E. 2006. Biologi Molekuler dan Sel. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sulastowo. 2008. Down Syndrome. Diakses 5 November 2010 (http://DownSyndrome _ HouseOfSulastowo.htm)
Suryo. 2005. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press





Tidak ada komentar:

Posting Komentar