BAB I
PENDAHULUAN
Semua ibu yang sedang mengandung tentu saja
menginginkan anaknya lahir dengan kondisi normal seperti manusia sehat pada
umumnya. Namun, pada kenyataannya dapat terjadi beberapa kelainan dalam manusia
yang muncul bahkan sejak manusia baru saja terbentuk. Kelainan tersebut pada
umumnya disebabkan oleh kelainan genetik.
Kelainan genetik yang terjadi dapat
mengakibatkan berbagai penyakit, dari yang ringan hingga mematikan, dari yang
dapat terlihat lewat fisik penderita maupun yang tidak terlihat. Kelainan
genetik pun hingga kini belum ditemukan pengobatan kausatifnya. Penatalaksanaan
untuk penderita hanya sebatas peningkatan mutu hidup dan pengobatan
simptomatis. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula akan ditemukan pengobatan
baru yang lebih efektif dan efisien. Untuk itu, tentu penulis sebagai mahasiswa
kedokteran perlu mempelajari tentang seluk beluk penyakit yang disebabkan oleh
kelainan genetik yang salah satunya adalah Sindrom Down.
Berikut ini permasalahan dalam skenario yang akan dibahas dalam laporan ini:
Seorang
wanita 39 tahun memeriksakan anak pertamanya yang telah berusia 2 tahun di
poliklinik kesehatan ibu-anak PUSKESMAS karena belum bisa berjalan dan bicara dengan jelas. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya
hipotonus pada anggota gerak bawah, flat facial profile, dan lidah
yang lebih tebal dan besar dibandingkan ukuran mulutnya. Juga didapatkan tingkat
kecerdasan anak tidak sesuai dengan umurnya (retardasi mental) dimana
kemampunnya identik dengan anak umur 10 bulan.
Dokter
menjelaskan kelainan ini bisa terjadi akibat faktor
kelainan kromosom pada saat pembelahan sel, sehingga terjadi gangguan pada perkembanan embrio janin dalam
kandungan. Dokter
menyarankan untuk pemeriksaan kariotyping serta pemeriksaan lain untuk memastikan jika ada
komplikasi atau penyakit penyerta lain. Ibu tersebut sangat khawatir mengenai perkembangan dan masa depan
anaknya, serta
ingin mencegah terjadinya kelainan yang sama jika ia hamil lagi.
Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis
kelainan Down syndrome terutama dari
segi molekuler-genetika, serta mencari hubungan faktor hereditas dengan Down syndrome.
BAB II
STUDI
PUSTAKA
Sel adalah unit struktural dan fungsional terkecil dari makhluk hidup. Secara struktural,
terdapat dua jenis sel, yaitu sel prokariotik dan sel eukariotik. Perbedaan
utama antara kedua jenis sel tersebut adalah bahwa materi genetik (DNA) sel
prokariotik tidak terletak dalam suatu struktur membran ganda yang disebut
nukleus. Sedangkan pada eukariota, semua materi genetiknya terdapat pada
molekul DNA, yang terdapat sebagai kromosom. Sel eukariotik memiliki berbagai
organel, di antaranya mitokondria sebagai penghasil ATP, sentriol (terletak di
dalam sentrosom) yang terdapat pada kutub sel, vakuola berfungsi sebagai tempat
penyimpanan makanan, ribosom berfungsi sebagai tempat pembuatan protein, dan sitoskeleton
sebagai pemberi kerangka pada sel (Cullen, 2006). Apparatus Golgi sebagai pusat
sintesis gula, lipid, serta pegumpul dan pengepakan produk-produk sekretoris;
lisosom mengandung enzim hidrolitik untuk digesti intraseluller, merombak isi
sel, dan membongkar toksin, peroksisom menghacurkan
hidrogen peroksida, dan sitoplasma
sebagai pusat aktivitas sel (Mujosemedi, 2010).
Dalam siklus sel mitotik terjadi interfase dan
fase mitotik. Dalam interfase terdapat tahapan G1, S, dan G2. Pada tahapan ini,
terjadi penggandaan DNA dan sintesis organel. Tahapan ini memakan waktu 90%
dari total waktu siklus sel.
Fase mitotik (mitosis) terbagi atas lima subfase yaitu profase (benang kromatin memadat menjadi kromosom),
prometafase (selubung nukleus terfragmentasi, mikrotubulus menempel di kinetokor),
metafase (kromosom berderet di bidang ekuator), anafase (kromosom tertarik ke kutub yang berlawanan), dan telofase (nukleus terbentuk kembali, terjadi
sitokinesis). Menghasilkan dua sel anakan dengan kromosom diploid (2n). (Campbell et al,
2002).
Dalam siklus sel meiosis, terjadi dua tahapan pembelahan, yaitu meiosis I yang sebelumnya melewati fase interfase dan
meiosis II (tanpa interfase). Dalam meiosis dapat
terjadi crossing over, yaitu
petukaran gen antar kromosom homolog. Siklus hampir sama dengan mitosis, tetapi
dalam meiosis menghasilkan 4 sel anakan dengan kromosom haploid (n). (Campbell et al, 2002).
Kromosom adalah benda-benda halus lurus seperti
batang atau tengkok dan terdiri dari zat yang mudah mengikat warna, fungsinya
sebagai pembawa sifat-sifat genetik. (Suryo, 2005).
Bagian-bagian
kromosom di antaranya adalah kromonema, yaitu pita berbentuk spiral, kromomer
adalah penebalan kromonema di beberapa tempat. Bagian lainnya ialah sentromer,
lekukan ke dua, telomer, dan satelit. (Suryo, 2005).
Kelainan pada kromosom dapat kita sebut sebagai
aberrasi. Aberrasi kromosom dibagi menjadi dua, yaitu:
Down syndrome adalah
suatu kondisi kelainan kromosom yang dikaitkan dengan cacat intelektual,
penampilan wajah karakteristik, dan hipotonia pada bayi. Tingkat cacat
intelektual bervariasi, tetapi biasanya ringan sampai sedang. Orang dengan Down syndrome dapat lahir dengan
berbagai cacat lahir. Sekitar setengah dari semua anak yang terkena dampak
memiliki cacat jantung,
kelainan pencernaan seperti penyumbatan usus.
(Antonarakis, et al.2004)
Individu dengan Down syndrome memiliki peningkatan risiko mengembangkan beberapa
kondisi medis. Ini termasuk refluks gastroesophageal, yang merupakan aliran
balik isi lambung asam ke kerongkongan, dan penyakit celiac, yang merupakan
intoleransi protein yang disebut gluten gandum. Sekitar 15 persen orang dengan Down syndrome memiliki kelenjar tiroid
kurang aktif (hipotiroidisme). Individu dengan Down syndrome juga memiliki peningkatan risiko gangguan pendengaran
dan penglihatan. Selain itu, sekitar 1 persen dari anak-anak dengan Down
syndrome mengembangkan kanker sel darah (leukemia). (Antonarakis, et al.2004)
Kasus sindrom Down terjadi karena adanya
trisomi 21. Dari sudut sitologi dapat dibedakan dua tipe sindrom Down, yaitu:
Penderita memiliki 47 kromosom
Penderita
laki-laki = 47, XY, +21
Penderita
perempuan = 47, XX, +21
Kira-kira
92.5 % dari semua kasus sindrom Down tergolong dalam tipe ini.
Translokasi adalah peristiwa terjadinya
perubahan struktur kromosom yang disebabkan karena suatu potongan kromosom
lainnya yang bukan homolognya. Pada sindrom Down translokasi, lengan panjang
dari autosom nomor 21 melekat pada autosom lain, kadang-kadang dengan autosom
15 tetapi yang lebih sering dengan autosom 14. Dengan demikian, individu yang
menderita sindrom Down translokasi memiliki 46 kromosom. (Suryo, 2005).
Pada Down
syndrome trisomi 21 (utuh), dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada
waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan
zigot, walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang
pertama. Oosit primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I
stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat
mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin
mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome,
dalam meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan
apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk
zigot trisomi 21. Non-disjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu 1) adanya virus atau akibat radiasi; 2) adanya pengandungan antibodi
tiroid yang tinggi; 3) sel telur mengalami kemunduran apabila setelah berada
dalam tuba fallopii tidak dibuahi. Non-disjunction hanya
ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah ada non-disjunction
dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak ada
waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari
adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis
ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21). (Suryo, 2005).
Screening untuk
sondrom Down dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya dengan:
Deteksi
kelainan dari darah ibu terhadap kandungan zat-zat tertentu seperti a feto
protein, estrol, ACG.
CVS
ini untuk memeriksa sel-sel janin
yang diperoleh secara biopsi terhadap villi chrrionic.
(Sulastowo, 2008)
Tidak
ada terapi medis yang tersedia bagi retardasi mental pada penderita Down
syndrome. Hal yang dapat dilakukan pada penderita Down syndrome
hanya berupa terapi penunjang, antara lain seperti konseling genetik, vaksinasi
dan perawatan kesehatan, perawatan medis dan monitoring untuk pasien Down
syndrome dewasa, terapi bedah bagi penyakit yang berkaitan, dan konsultasi (fisik, occupational therapy,
terapi bicara). (Chen, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN
Down syndrome (trisomi 21) adalah
kelainan genetik, aneuploidi (2n+1),
dimana kromoson no.21 terdapat sebayak tiga kopi yang seharusnya hanya dua
kopi. Semua pasangan suami istri memiliki risiko melahirkan anak dengan
kelainan trisomi 21. Trisomi 21 terjadi karena kesalahan pada saat pembelahan
sel-sel gamet saat meiosis sehingga mempunyai kariotip 47, XX+21 atau 47,
XY+21. Penyakit ini dapat terjadi karena adanya non-disjunction, translokasi, ataupun over expression gen. Pada penderita syndrome down ini memiliki ciri-ciri seperti yang dibahas di
sekenario yang disebut mongolisme. Asupan nutrisi (asam folat) dan usia ibu
saat hamil sangat berpengaruh terhadap risiko terjadinya kelainan ini. Hal ini
dikarenakan, semua oosit wanita terbentuk saat lahir, sel ini berhenti meiosis
sampai saat ovulasi. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya usia oosit berperan
menimbulkan non-disjunction karena disposisi. Non-disjunction tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
virus, kerusakan akibat radiasi, terdapat kandungan antibodi tiroid yang
tinggi, dan sel telur mengalami kemunduran kualitas karena dalam tubafalopi
tidak dibuahi. Untuk mengetahui adanya kelainan kromosom ini, kita dapat menggunakan
teknik kariotyping (pewarnaan kromosom) sehingga dapat diketahui secara pasti.
Penambahan atau pengurangan satu atau dua
kromosom lebih berbahaya daripada adanya penambahan atau pengurangan tiga
kromosom dan kelipatannya karena jika hanya ada insersi atau delesi satu atau dua
buah kromoson maka akan menggeser susunan nukleotida berikutnya sehingga akan
mengubah seluruh protein yang seharusnya terbentuk. Sedangkan jika kehilangan
tiga atau kelipatannya maka individu tersebut hanya akan kehilangan satu atau beberapa
protein tertentu tanpa membuat perubahan drastis hasil protein yang seharusnya
dihasilkan. Maka dari itu, syndrome down
adalah kelainan kromosom yang menimbulkan kelainan-kelainan yang kompleks.
Sampai saat ini terapi yang ada hanya bertujuan
untuk meningkatkan kualitas dan harapan hidup pasien yaitu dengan: konseling
genetik, vaksinisasi, perawatan kesehatan, perawatan medis, konsultasi
(pemeriksaan fisik, occupational therapy,
terapi bicara), dan sebagainya. Jadi, terapi
pada penderita Down syndrome lebih mengacu kepada bagaimana penderita Down
syndrome dapat hidup dengan kualitas
yang lebih baik dan bagaimana penderita Down syndrome dapat
bersosialisasi dan hidup dalam masyarakat, agar dapat mandiri dan mengurangi
ketergantungan kepada orang lain.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Sampai sekarang
kelainan genetik down syndrome belum
ditemukan obatnya. Peran orang tua dan lingkungan sangat penting bagi penderita
down syndrome agar dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Sekalipun penderita down
syndrome memiliki kekurangan dalam berbagai aspek dibanding manusia normal,
biasanya penderita down syndrome memiliki
kelebihan yang luar biasa yang tidak ditemui pada manusia normal. Apabila
kelebihan itu dapat ditemukan dan dikembangkan, maka dapat menjadi hal yang
luar biasa dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderita down syndrome.
DAFTAR PUSTAKA
Antonarakis, Lyle R., Dermitzakis. 2004. Chromosome 21 and down syndrome: from genomics to patophysiology.
Diakses 5 November 2010 (www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510164)
Campbell, Reece Mitchell. 2002.
Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Chen,
Harold. 2007. Down Syndrome. Diakses 5 November
2010 (http://www.emedicine.com/ped/topic615.htm )
Cullen, Katherine E. 2006. Biologi
Molekuler dan Sel. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sulastowo.
2008. Down Syndrome. Diakses 5 November 2010 (http://DownSyndrome _ HouseOfSulastowo.htm)
Suryo. 2005. Genetika Manusia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar