Senin, 15 Agustus 2011

Skenario 3 Blok 3 Biologi Molekuler


PENGARUH FAKTOR GENETIK DAN EPIGENETIK
TERHADAP TOXOPLASMOSIS CONGINETAL


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus kelainan yang terjadi pada anak seperti kasus Hidrosefalus. Dengan semakin kritisnya cara berfikir pasien untuk mengetahui keadaan yang terjadi pada kelainan yang diderita, sikap profesional seorang dokter dibutuhkan dengan tuntutan harus mengetahui tentang berbagai macam penyakit genetic untuk dapat menjelaskan dan menjawab segala pertanyaan yang muncul. Selain itu, untuk membantu dokter dalam menganalis lebih lanjut tentang penyakit dan menegakkan diagnosis. Oleh karena itu, di dalam skenario 3 Blok Biologi Molekuler ini membahas Manifestasi Klinis Toxoplasmosis Konginetal sampai pada tingkatan molekulernya. Toxoplasma gondii adalah parasit yang jika menginfeksi pada awal kehamilan dapat ditransmisikan ke janin. Janin yang terinfeksi dalam kandungan dapat menunjukkan gejala klinis ketika lahir, misalnya hidrosefalus. Namun, suatu studi multisenter tentang Toxoplasmosis konginetal di Eropa menemukan bahwa tidak semua bayi dengan Toxoplasmosis Konginetal menunjukkan gejala klinis. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada faktor lain termasuk predisposisi genetic berperan dalam pathogenesis penyakit. Sebelumnya telah diketahui bahwa bayi yang menunjukkan gejala klinis yang lebih berat adalah mereka yang terinfeksi Toxoplasma gondii pada awal kehamilan, ketika system imun fetus belum begitu berkembang. Pemeriksaan molekuler yang dilakkan selanjutnya menemukan bahwa ada kaitan antara polimorfisme dan genomic imprinting dengan gambaran klinis yang muncul pada bayi dengan toksoplasmosis konginetal. Dari skenario diatas, mahasiswa diharapkan mampu memahami mengenai Epigenetik secara konsep baik dari prinsip dasar, analisis, aspek herediter hingga integrasi antara genetic dan epigentik. Hal ini dengan tujuan untuk benar-benar paham tentang keanekaragaman genomic manusia sehingga dibutukan dasar-dasar yang harus dikuasai sebelum mempelajari epigenetic dan manifestasi klinis penyakit pada manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab penyakit Toxoplasmosis? 2. Apa kaitan genomic imprinting dan polimorfisme terhadap Toxoplasmosis? 3. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis dari Toxoplasmosis Kongenital? 4. Bagaimana manifestasi dan gambaran klinis Toxoplasmosis Kongenital? 5. Apa hubungan antara Toxoplasma Gondii dengan umur kehamilan? 6. Apakah predisposisi genetik berperan terhadap penyakit Toxoplasmosis? 7. Hal apa yang mendasari pemeriksaan Toxoplasmosis Gondii pada bayi yang tidak menujukkan gejala klinis? 8. Bagaimana penegakkan diagnosis serta penatalaksanaan Toxoplasmosis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penyebab penyakit Toxoplasmosis. 2. Untuk mengetahui kaitan antara genotic imprinting dan polimorfisme terhadap Toxoplasmosis. 3. Untuk mengetahui patofisiologi dan patogenesis Toxoplasmosis. 4. Untuk mengetahui manifestasi dan gejala klinik Toxoplasmosis. 5. Untuk mengetahui hubungan antara Toxoplasmosis gondii dengan usia kehamilan. 6. Untuk mengetahui apakah predisposisi berperan terhadap Toxoplasmosis. 7. Untuk mengetahui sebab pemeriksaan Toxoplasmosis gondii pada bayi yang tidak menunujukkan gejala klinis Toxoplasmosis. 8. Untuk mengetahui langkah-langkah penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Toxoplasmosis.

D. Manfaat
1. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab, patogenesis, patofisiologi, manifestasi serta gejala klinis, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan Toxoplasmosis. 2. Mampu memahami definisi serta kaitan genomic imprinting dan polimorfisme terhadap penyakit Toxoplasmosis. 3. Mahasiswa mampu memastikan dan mengetahui apakah predisposisi berperan terhadap Toxoplasmosis. 4. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara Toxoplasmosis gondii dengan usia kehamilan. 5. Mahasiswa mampu mengetahui sebab pemeriksaan Toxoplasmosis gondii pada bayi yang tidak menunjukkan gejala klinis Toxoplasmosis.

BAB II STUDI PUSTAKA

A. TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis, yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia, dengan manusia sebagai inang insidental. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan. Penderita toxoplasmosis sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas (asimptomatis). (Hiswani) Hingga sepertiga populasi dunia terbukti mengalami infeksi Toxoplasma gondii. Namun, infeksi yang menimbulkan gejala sangat jarang, kacuali pada penderita immunocompromise dan pada bayi yang mengalami infeksi kongenital. (Schwartzman, 2001) Terdapat beberapa bentuk dari daur siklus hidup Toxoplasma gondii, bentuk infektifnya adalah oosista pada feses kucing atau bradizoit pada daging hewan (kambing, domba, babi, sapi) yang termakan manusia. Bentuk sista tidak akan mengakibatkan respon negatif pada sel sekitarnya hingga sista pecah, mengeluarkan bradizoit yang dapat berubah menjadi bentuk takizoit dan dapat menyebabkan necrosis dan peradangan. (Schwartzman, 2001)

B. TOXOPLASMOSIS CONGENITAL Toxoplasma dapat menginfeksi ibu hamil dan bila parasit dapat masuk ke dalam tubuh janin, maka janin akan terinfeksi. Kemampuan parasit untuk menembus dinding plasenta bergantung pada karakter anatomi dari plasenta, yang akan berkembang sesuai dengan umur kehamilan. Janin yang terinfeksi pada awal kehamilan memiliki resiko lebih tinggi akan adanya manifestasi klinis yang menunjukkan adanya infeksi Toxoplasma. (Schwartzman, 2001) Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan. Pada saat ini diagnosis toxoplasmosis menjadi lebih mudah ditemukan karena adanya antibodi IgM atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan cara diagnosis maka pengobatan penyakit ini menjadi lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga pengobatan yang diberikan dapat sembuh sempurna bagi penderita toxoplasmosis. Dengan jalan tersebut diharapkan insidensi keguguran, cacat kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin. Pada akhirnya kejadian kecacatan pada anak dapat dihindari dan menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. (Hiswani)

C. DIAGNOSIS TOXOPLASMOSIS. Diagnosis toxoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan serologis dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita. Seperti telah diuraikan diatas, gejala klinis sering kali meragukan dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita bukanlah suatu hal yang mudah. Maka pemeriksaan secara serologis terhadap antibodi penderita toxoplasmosis merupakan alat bantu diagnosis yang mudah dan baik. Dasar pemeriksaan serologis ialah antigen toxoplasmosis bereaksi dengan antibodi spesifik yang terdapat dalam serum darah penderita. Beberapa jenis pemeriksaan serologis yang umum dipakai ialah : Dye test Sabin Feldman, Complement Fixation test (CFT), reaksi Fluoresensi antibodi, Indirect Hemagglutination Test dan enzym linked immunosorben assay (Elisa). Dye test Sabin Feldman merupakan pemeriksaan yang pertama kali ditemukan. Dasar test ini yaitu toxoplasma gondii mudah diwarnai dengan metilen blue. Tetapi bila dicampur dengan serum kebal, maka parasit tidak dapat mengambil warna lagi karean anti bodi toxoplasma yang ada dalam serum tersebut akan melisis parasit ini. Complement fixaton test (CFT) berdasarkan reaksi antigen antibodi yang akan mengikat komplement sehingga pada penambahan sel darah merah yang dilapisi anti bodi tidak terjadi hemolisis. Reaksi fluoresensi anti bodi memakai sediaan yang mengandung toxoplasma yang telah dimatikan. Anti bodi yang ada dalam serum akan terikat pada parasit. Setelah ditambah antiglobulin manusia yang berlabel fluoresens. Inderect hemaglutination test mempergunakan antigen yang diletakkan pada sel-sel darah merah, bila dicampur dengan serum kebal menimbulkan aglutinasis. Elisa mempergunakan antigen toxoplamosis yang diletakkan pada penyangga padat. Mula-mula diinkubasi dengan reum penderita, kemudian dengan antibodi berlabel enzim. Kadar anti bodi dalam serum penderita sebanding dengan intertitas warna yang timbul setelah ikatan antigen anti bodi dicampur dengan substat. Diagnosis terhadap toxoplasmosis secara mudah dapat ditegakkan dengan menemukan anti bodi terhadap penderita terhadap serum darah penderita. Anti toxoplasma gondii kelas IgM timbul segera setelah infeksi, dan baru mencapai puncaknya pada minggu keempat kemudian menurun secara lambat dan tidak terdeteksi lagi setelah empat bulan. Sedang anti toxoplasma kelas IgG dapat dideteksi setelah 3 atau 4 bulan infeksi dan akdarnya menetap sampai bertahuntahun. Dengan memeriksa antibodi kelas IgG dan IgM, maka kita dapat mengetahui apakah seseorang dalam efeksi akut, rentan atau kebal tehadap toxoplasmosis. Selain seperti cara diatas bisa juga dilakukan pemeriksaan histopatologis jaringan otak, sum-sum tulang belakang, kelenjar limpe, cairan otak merupakan diagnosis pasti tetapi cara ini sulit dilakukan.

D.DIAGNOSIS TOXOPLASMOSIS KONGENITAL PADA BAYI.

Di Indonesia sering dijumpai bayi yang dilahirkan dengan kelianan kongnital. Penyebab kelainan kongenital karena infeksi termasuk golongan toxoplasma. Janin mulai membentuk zat anti pada akhir trimester pertama, yang terdiri dari IgM zat anti ini biasanya menghilang setelah 1 – 3 bulan. Zat anti IgM pada bayi didapat dari ibunya melalui plasenta. Konsentrasi IgG pada neonatus berkurang, dan akan naik lagi bila bayi dapat mebuat IgG sendiri pada umur lebih kurang 3 bulan. Serodiagnosis infeksi kongenital berdasarkan kenaikan jumlah zat anti IgG spesifik atau deteksi zat anti IgM spesifik. Kelainan klinik pada bayi-bayi yang tersangka toxoplasmosis kongenital ini adalah merupakan trias klasik yaitu Hidrocephalus, koriokretinitis, dan perkapuran otak. Ada bayi yang hanya menunjukkan suatu kelainan seperti hepatosplenomegali katarak, mikrosefalus, kejang, dan ada yang menunjukkan lebih dari satu kelainan di atas. E. GENETIKA DAN EPIGENETIKA DARI TOKSOPLASMOSIS KONGENITAL Hipotesis spesifik genetik bahwa polimorfisme pada dua gen yang bertanggung jawab atas kelainan penglihatan, ABCA4 dan COL2A1, disebabkan oleh toxoplasmosis kongenital. COL2A1 mengkode collagen tipe 2 yang dapat ditemukan pada vitreous humor, cornea, sclera, lensa, dan retina. Pada toxoplasmosis COL2A1 menghasilkan perbedaan dalam ekspresi kolagen di retina dan vitreous mempengaruhi migrasi parasit ke mata dan membelah diri. ABCA4 mengkode retina-specific ATP-binding cassette transporter protein Toxoplasmosis mengubah mekanisme modifikasi epigenetik COL2A1 dan ABCA4 khususnya selama masa perkembangan. Toxoplasma juga mempengaruhi regulasi genetik patogenesis penyakit, yaitu NFκB sites yang mengatur regulasi ekspresi sel dan proses perkembangan. Yang juga memungkinkan parasit mungkin mempengaruhi secara langsung dengan metylasi dan asetilasi histon. Secara keseluruhan, polmorfisme pada ABCA4 dan COL2A1 berhubungan dengan kelainan mata dan manifestasi lainnya dari toxoplasmosis kongenital. (Jamieson, et al, 2008)

BAB III PEMBAHASAN

Permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam skenario merupakan kemunculan manifestasi klinis pada bayi yang terdiagnosis menderita toxoplasmosis congenital. Menjadi suatu masalah dikarenakan tidak semua bayi penderita toxoplasmosis congenital memunculkan gejala klinis, bahkan pemunculan gejala ini sangat jarang pada sebagian besar penderita. Berdasarkan literatur yang ada, menyebutkan bahwa infeksi toxoplasma gondii (parasit penyebab toxoplasmosis) pada usia kehamilan dini berpotensi lebih tinggi memunculkan manifestasi toxoplasmosis congenital pada bayi. Selain waktu infeksi dari toxoplasma gondii berpengaruh terhadap pemunculan manifestasi klinis, dipercayai faktor genetika dan epigenetika juga turut berperan dalam manifestasi klinis toxoplasmosis congenital. Hipotesis spesifik genetik bahwa polimorfisme pada dua gen yang bertanggung jawab atas kelainan penglihatan, ABCA4 dan COL2A1, disebabkan oleh toxoplasmosis kongenital. COL2A1 mengkode collagen tipe 2 yang dapat ditemukan pada vitreous humor, cornea, sclera, lensa, dan retina. Pada toxoplasmosis COL2A1 menghasilkan perbedaan dalam ekspresi kolagen di retina dan vitreous mempengaruhi migrasi parasit ke mata dan membelah diri. ABCA4 mengkode retina-specific ATP-binding cassette transporter protein. Toxoplasmosis mengubah mekanisme modifikasi epigenetik COL2A1 dan ABCA4 khususnya selama masa perkembangan. Toxoplasma juga mempengaruhi regulasi genetik patogenesis penyakit, yaitu NFκB sites yang mengatur regulasi ekspresi sel dan proses perkembangan. Yang juga memungkinkan parasit mungkin mempengaruhi secara langsung dengan metylasi dan asetilasi histon. Secara keseluruhan, polmorfisme pada ABCA4 dan COL2A1 berhubungan dengan kelainan mata dan manifestasi lainnya dari toxoplasmosis kongenital. Dari pembahasan di atas telah diketahui bahwa toxoplasmosis turut merusak secara genetis dan epigenetis. Akan tetapi bagaimana genetika dan epigenetika mempengaruhi pemunculan manifestasi klinis pada penderita toxoplasmosis congenital belum diketahui secara pasti. Hipotesis sementara berhubungan dengan methylasi protein histon, apakah toxoplasma tersebut menyebabkan methylasi ataukah adanya methylase dapat menghambat infeksi dari toxoplasma itu masih perlu dilakukan penelitian dan penelusuran tinjauan pustaka lebih lanjut.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan Analisis variasi genetik manusia dapat dijadikan suatu studi yang ampuh dalam memahami faktor risiki untuk penyakit. Banyak penyakit justru lebih mudah dicari faktor risikonya dengan analisis variasi genetik. Toxoplasmosis conginetal yang disebabkan oleh toxoplasma gondii yang dapat ditularkan ibu ke janinnya. Bayi dengan tanda-tanda klinis yang paling parah adalah adanya kelainan pada otak dan mata karena adanya infeksi toxoplasma gondii pada awal kehamilah, yaitu pada saat system kekebalan janin belum berkembang dengan baik. Tetapi juga terjadi banyak kasus bahwa si bayi tidak menunjukkan adanya gejala klinis. Analisis variasi genetik dapat memberikan wawasan mengenai peristiwa di dalam rahim yang sulit diketahui menggunakan analisis biasa. Adanya toxoplasmosis conginetal ternyata bukan sekedar karena adanya infeksi dari toxoplasma gondii pada awal kehamilan, tetapi juga ada kaitanya dengan genetik maupun epigenetik. Fenomena genomic imprinting dan polimorfisme menjawab hipotesa tersebut. Hal ini telah dibuktikan dengan berbagai penelitian.

B. Saran

1. Dalam menentukan diagnosis terhadap suatu penyakit, sebaiknya dokter memahami analisis variasi genetik manuasia. Karena tidak sedikit penyakit yang justru lebih mudah dipahami patogenesisnya dengan menggunakan analisis variasi genetik.

2. Dokter harus pandai-pandai memberikan konseling kepada pasien yang menderita penyakit-penyakit akibat adanya kelainan genetik, hal ini dikarenakan banyak penyakit akibat kelainan genetik itu merupakan suatu sindrom (kumpulan gejala) yang biasanya dapat menyebabkan cacat pada si penderita.

3. Dokter harus memahami prinsip pengaruh epigenetik terhadap perkembangan janin, karena banyak penyebab kelainan konginetal pada bayi akibat adanya pengaruh epigenetik baik dari orang tua maupun yang terjadi selama kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

Hiswani, Toxoplasmosis Penyakit Zoonosis yang Perlu Diwaspadai oleh Ibu Hamil. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani5.pdf (diakses 24 November 2010)
Jamieson S.E., de Roubaix L., Cortina-Borja M., et al. 2008. Genetic and epigenetic factors at COL2A1 and ABCA4 influence clinical outcome in congenital toxoplasmosis. Plos One.
Schwartzman J.D. 2001. Toxoplasmosis. In: Gillespie S. and Pearson R.D. (eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology.
John Wiley & Sons Ltd Principles and Practice of Clinical Parasitology, Bab 5 (Toxoplasmosis oleh Joseph D. Schwartzman) editor: S. Gillespie dan Richard D. Pearson, 2001, John Wiley & Sons Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar