REAKSI HIPERSENSITIF SEBAGAI MANIFESTASI DARI
FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK OBAT
BAB
I
PENDAHULUAN
Banyak obat yang dapat
menyebabkan efek samping yang dapat memacu timbulnya reaksi alergi atau
hipersensitivitas. Pada reaksi tersebut, sistem imun merespon obat dengan salah
yaitu mengenalnya sebagai antigen yang akan mengintervensi tubuh, dan imun
tersebut akan melawannya dan mengeluarkan suatu zat kimia yang disebut
histamin.
Histamin ini bertanggung
jawab untuk mengakibatkan alergi ini, gejala seperti kemerahan pada kulit,
gatal-gatal, perih pada kulit dan mata, bengkak pada mulut dan tenggorokan.
Bahkan tidak jarang menyebabkan kesulitan bernapas, pusing, muntah, diare dan
masalah lainnya.
Saat ini, semakin
banyak kasus hipersensitivitas atau yang biasa kita sebut alergi di sekeliling
kita seiring semakin mudahnya kita mendapatkan obat. Suatu obat dapat menyebabkan
hipersensitivitas seseorang tetapi tidak untuk orang lain. Hal tersebut disebabkan
oleh farmakogenetik seseorang. Hipersensitivitas itu sendiri adalah reaksi alergi pada pemberian suatu obat.
Hipersensitivitas ini
akan menimbulkan efek imunologis dan non imunologis yang nantinya akan kami
bahas di bab pembahasan.
Efek ini berbeda antara satu dengan yang lain.
Sebelumnya, kita perlu mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik sebelum
memberikan suatu obat kepada pasien untuk menghindari reaksi alergi ini.
Farmakokinetik
ialah ilmu yg mempelajari nasib obat dalam tubuh, meliputi
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dalam tubuh. Sedangkan
Farmakodinamik ialah ilmu yg mempelajari efek obat terhadap fisiologi organ tubuh dan
mekanisme kerja .
Hipersensitivitas obat
yang akan kita bahas dapat dilihat dari skenario dibawah.
Seorang
perempuan usia 30 tahun, obese, dirawat di RS. Penderita tidak bisa tidur,
muntah-muntah, diare, serta kulit terlihat merah dan gatal-gatal. Sebelumnya,
selama satu minggu pasien mengkonsumsi obat teh pelangsing yang diminum sebelum
makan. Pasien masih menyusui. Anak yang disusui juga menderita muntah, gatal
dan gelisah(rewel).
Pemeriksaan
klinis pada pasien tersebut didapatkan: kulit kemerahan, berat badan 80 kg,
tinggi 150 cm, tensi 110/70 mmHg. Pemeriksaan laboratorium: SGOT 125 IU (normal
: 40 IU), SGPT 200 IU (normal 40 IU).
Teman
pasien tersebut juga minum obat serupa, dan dapat menurunkan berat badan,
tetapi tidak ada keluhan berarti.
BAB II
STUDI PUSTAKA
Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yaitu mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi.
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Absorbsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah
bentu tempat obat, cara pemberian obat, luas permukaan obat, fisik dan kimia
obat, dan formulasi obat. Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif,
oleh karena itu obat yang terabsorbsi adalah obat non-ionik dan yang larut
dalam lemak. Yaitu sesuai Hukum Fick : “hanya bentuk nonion (NI) yang mempunyai
kelarutan lemak yang dapat berdifusi, sedangkan bentuk ion (I) tidak dapat
berdifusi karena tidak mempunyai kelarutan lemak. Absorbsi terbaik di saluran
pencernaan adalah di usus halus.
Distribusi adalah berikatannya protein plasma dengan obat melalui
berbagai ikatan lemah, di antaranya ikatan hidrofobik, Van der Waals, hydrogen,
dan ionik. Contoh protein plasma adalah albumin, site I, site II, asam-asam
lemak, α-glikoprotein, CBG, dan SSBG. Reaksi distribusi melalui 2 fase, yaitu
fase I adalah distribusi pada organ dengan perfusi yang sangat baik, yaitu pada
jantung, hati, otak, ginjal. Sedangkan distribusi fase II cakupannya lebih luas
ke organ-organ dengan perfusi kurang baik, yaitu kulit, otot, dan viscera.
Metabolisme/biotransformasi adalah mengubah obat yang non polar
(larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal
atau empedu. Metabolisme terutama terjadi di hati, yaitu di membran endoplasmic reticulum dan cytosol (intrahepatik), dan bisa
terjadi secara ekstrahepatik di dinding
usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora
usus). Reaksi metabolisme fase I yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim CYP
450. Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidase melalui
enzim UDP-glukuronil transferase (UGT). Sedangkan ekskresi adalah proses pengeluaran
reaksi sisa metabolisme di dalam tubuh yang tidak diperlukan lagi. Di ginjal
terjadi 3 proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal,
dan reabsorbsi pasif di sepanjang tubulus.
Obat
menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel akorganisme.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup 2
konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh.
Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang
sudah ada. (Ganiswara et.al., 2001).
Efek
obat terhadap tubuh bermacam-macam, bias menyebabkan, hiporeaktif, hipereaktif,
dan hipersensitivitas.
Definisi
sederhana hipersensitivitas
adalah reaksi alergi pada pemberian suatu obat. Reaksi hipersentsitivitas
memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Di sini antigen atau alergen bebas akan
bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau
sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi
tipe cepat.
Di sini antigen terikat pada sel sasaran.
Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan
dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini
merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan
ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini.
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan
komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic
factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal.
Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea
dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok,
pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes
simpleks.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan
III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV
yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit
T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan
menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan
pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan
keratitis diskiformis (Anonim, 2008).
Farmakogenetika merupakan
salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman
pengaruh (respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor
genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi mengenai pengaruh genetik terhadap
respons obat.
Adanya perbedaan kerja obat karena farmakogenetik disebabkan karena
:
Selain farmakogenetik, aspek farmakokinetik, makanan dan minuman,
keadaan penyakit, dan kontak dengan senyawa kimia tertentu juga mempengaruhi
perbedaan respon tubuh terhadap kerja obat yang berbeda terhadap masing-masing
individu. (Widianto, 1985).
BAB III
PEMBAHASAN
Obat yang masuk ke dalam tubuh untuk memberikan efek melalui beberapa proses farmakokinetik:
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.Namun, tidak semua obat melalui
proses farmakokinetik dengan lengkap (tergantung cara pemberian obat). Sebagai
contoh cara pemberian obat dengan cara injeksi intravena tidak melalui proses
absorbsi. Setelah mengalami absorpsi dan distribusi (pengikatan obat oleh
protein plasma yang kemudian disalurkan ke organ-organ yang membutuhkan, obat
disalurkan dalam sel dengan melalui reseptor obat). Adanya perbedaan kerja
reseptor dapat mempengaruhi metabolisme obat.
Pada kasus diatas, permasalahan terdapat pada proses
farmakokinetik obat pada masing-masing individu. Walaupun dosis Seoran perempuan
usia 30 tahun yang sedang menyusui dengan temannya sama, namun respon tubuh
dapat berbeda, dikarenakan penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya
tidak sama. Adanya perbedaan ini dapat dikarenakan perbedaan polimorfisme
genetik, sehingga akibatnya respon tubuh juga akan berbeda. Seorang perempuan
yang usianya 30 tahun dan sedang menyusui anaknya tadi mengalami reaksi
hipersensitive, sedangkan temannyanya tidak.
Di skenario 3 ini pasien yang mengalami muntah, diare, tidak
bisa tidur merupakan adanya farmakodinamis non-imunologis. Sedangkan timbulnya
kulit kemerahan dan gatal karena adanya farmakodinamis imunologis.
Pada dasarnya tubuh
kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik
ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B,
yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem
imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu
dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang
mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen
masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut
hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah
keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Pasien juga minum obat
sebelum makan ini merupakan salah satu timbulnya gangguan-gangguan pada
pencernaan. Memang dengan keadaan perut kosong maka penyerapan obat akan
berlangsung lebih cepat, tetapi jika obat langsung bergesakan dengan membrane
pada organ seperti lumen lambung maka dapat menyebabkan iritasi atau kelainan
lainnya.
Pemeriksaan kadar SGOT
dan SGPT dalam darah berfungsi sebagai indikator berbagai penyakit. Pada
intinya, enzim-enzim tersebut (oksaloasetat dan piruvat transaminase) sulit
masuk ke jaringan, sehingga tertimbun di dalam peredaran darah. SGPT(serum
glutamate piruvat transaminase) dan SGOT (serum glutamate oksaloasetat
transaminase) seseorang yang tinggi mengindikasikan adanya kelainan organ(hati,
jantung, jaringan skeleton) pada tubuh seseorang. SGPT lebih spesifik terhadap
adanya kelainan pada hati
Penatalaksanaan pasien dimulai dari penghentian minum obat
the pelangsing selain karena adanya reaksi hipersensitivitas dari pasien juga
karena si ibu yang masih dalam keadaan menyusui anaknya. Diet tidak boleh
dilakukan pada saat sang ibu dalam keadaan menyusui, karena itu dapat
menimbulkan reaksi farmakogenetik. Bersamaan dengan penghentian obat maka si
ibu diberikan penanganan efek nonterapi (efek samping).
BAB IV
PENUTUP
Obat pada hakikatnya adalah zat asing yang dalam
dosis atau takaran tertentu, dapat memberikan efek terapetik pada makhluk hidup
(manusia). Namun, efek obat dapat berbeda-beda untuk setiap individu. Perbedaan
ini bisa disebabkan proses farmakologi tiap orang yang berbeda-beda dan
berhubungan dengan genetik tiap orang. Mengenai hal ini, kelainan yang dapat
terjadi adalah hiporeaktif (pada dosis normal efek yang didapat kurang) atau
hipereaktif (pada dosis normal efek yang didapat berlebihan). Bagi orang yang
hipereaktif, efek samping yang terjadi dapat dibagi menjadi efek imunologis dan
efek nonimunologis.
Pemberian obat harus mempertimbangkan banyak hal,
selain adanya hipersensitivitas pada pasien tertentu, keadaan pasien juga harus
menjadi pertimbangan penting. Bagi ibu hamil dan menyusui, pemilihan dan
pemakaian obat harus sangat hati-hati karena farmakokinetika obat, terutama
pada proses ekskresi, dapat mempengaruhi bahkan membahayakan anak dari ibu
tersebut. Oleh karena itu, dalam pemberian obat, seorang dokter harus selalu
berpegangan pada ungkapan “Obat adalah racun, yang membedakan hanyalah dosis
dan cara penggunaan.”
Ketika akan mengonsumsi obat, alangkah baiknya untuk
mempertimbangkan pemilihan obat. Karena tidak semua obat cocok untuk setiap
orang. Obat yang cocok bagi seseorang belum tentu cocok bagi orang lain.
Seseorang ibu
yang sedang hamil ataupun menyusui, ada baiknya untuk tidak mengonsumsi obat
pelangsing terlebih dahulu, karena obat tersebut dapat mempengaruhi janin
ataupun anak yang sedang disusui.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian
Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM. Farmakogenetika. n.d. http://www.farklin.com/images/multirow3f1e1d0fb4b43.pdf
(19 Desember 2010)
Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar