Senin, 15 Agustus 2011

Skenario 3 Blok 4 Metabolisme,Obat dan Nutrisi


REAKSI  HIPERSENSITIF SEBAGAI MANIFESTASI DARI FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK OBAT


BAB I
PENDAHULUAN

Banyak obat yang dapat menyebabkan efek samping yang dapat memacu timbulnya reaksi alergi atau hipersensitivitas. Pada reaksi tersebut, sistem imun merespon obat dengan salah yaitu mengenalnya sebagai antigen yang akan mengintervensi tubuh, dan imun tersebut akan melawannya dan mengeluarkan suatu zat kimia yang disebut histamin.
Histamin ini bertanggung jawab untuk mengakibatkan alergi ini, gejala seperti kemerahan pada kulit, gatal-gatal, perih pada kulit dan mata, bengkak pada mulut dan tenggorokan. Bahkan tidak jarang menyebabkan kesulitan bernapas, pusing, muntah, diare dan masalah lainnya.
Saat ini, semakin banyak kasus hipersensitivitas atau yang biasa kita sebut alergi di sekeliling kita seiring semakin mudahnya kita mendapatkan obat.  Suatu obat dapat menyebabkan hipersensitivitas seseorang tetapi tidak untuk orang lain. Hal tersebut disebabkan oleh farmakogenetik seseorang. Hipersensitivitas itu sendiri adalah reaksi alergi pada pemberian suatu obat.
Hipersensitivitas ini akan menimbulkan efek imunologis dan non imunologis yang nantinya akan kami bahas di bab pembahasan.
 Efek ini berbeda antara satu dengan yang lain. Sebelumnya, kita perlu mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik sebelum memberikan suatu obat kepada pasien untuk menghindari reaksi alergi ini.
Farmakokinetik ialah ilmu yg mempelajari nasib obat dalam tubuh, meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dalam tubuh. Sedangkan Farmakodinamik ialah ilmu yg mempelajari efek obat terhadap fisiologi organ tubuh dan mekanisme kerja .
Hipersensitivitas obat yang akan kita bahas dapat dilihat dari skenario dibawah.
Seorang perempuan usia 30 tahun, obese, dirawat di RS. Penderita tidak bisa tidur, muntah-muntah, diare, serta kulit terlihat merah dan gatal-gatal. Sebelumnya, selama satu minggu pasien mengkonsumsi obat teh pelangsing yang diminum sebelum makan. Pasien masih menyusui. Anak yang disusui juga menderita muntah, gatal dan gelisah(rewel).
Pemeriksaan klinis pada pasien tersebut didapatkan: kulit kemerahan, berat badan 80 kg, tinggi 150 cm, tensi 110/70 mmHg. Pemeriksaan laboratorium: SGOT 125 IU (normal : 40 IU), SGPT 200 IU (normal 40 IU).
Teman pasien tersebut juga minum obat serupa, dan dapat menurunkan berat badan, tetapi tidak ada keluhan berarti.




















BAB II
STUDI PUSTAKA

Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Absorbsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah bentu tempat obat, cara pemberian obat, luas permukaan obat, fisik dan kimia obat, dan formulasi obat. Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, oleh karena itu obat yang terabsorbsi adalah obat non-ionik dan yang larut dalam lemak. Yaitu sesuai Hukum Fick : “hanya bentuk nonion (NI) yang mempunyai kelarutan lemak yang dapat berdifusi, sedangkan bentuk ion (I) tidak dapat berdifusi karena tidak mempunyai kelarutan lemak. Absorbsi terbaik di saluran pencernaan adalah di usus halus.
Distribusi adalah berikatannya protein plasma dengan obat melalui berbagai ikatan lemah, di antaranya ikatan hidrofobik, Van der Waals, hydrogen, dan ionik. Contoh protein plasma adalah albumin, site I, site II, asam-asam lemak, α-glikoprotein, CBG, dan SSBG. Reaksi distribusi melalui 2 fase, yaitu fase I adalah distribusi pada organ dengan perfusi yang sangat baik, yaitu pada jantung, hati, otak, ginjal. Sedangkan distribusi fase II cakupannya lebih luas ke organ-organ dengan perfusi kurang baik, yaitu kulit, otot, dan viscera.
Metabolisme/biotransformasi adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu. Metabolisme terutama terjadi di hati, yaitu di membran endoplasmic reticulum dan cytosol (intrahepatik), dan bisa terjadi  secara ekstrahepatik di dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus). Reaksi metabolisme fase I yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim CYP 450. Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidase melalui enzim UDP-glukuronil transferase (UGT). Sedangkan ekskresi adalah proses pengeluaran reaksi sisa metabolisme di dalam tubuh yang tidak diperlukan lagi. Di ginjal terjadi 3 proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proximal, dan reabsorbsi pasif di sepanjang tubulus.

Obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel akorganisme. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup 2 konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. (Ganiswara et.al., 2001).
Efek obat terhadap tubuh bermacam-macam, bias menyebabkan, hiporeaktif, hipereaktif, dan hipersensitivitas.
Definisi sederhana hipersensitivitas adalah reaksi alergi pada pemberian suatu obat. Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini.
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis (Anonim, 2008).

Farmakogenetika merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman pengaruh (respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi mengenai pengaruh genetik terhadap respons obat.
Adanya perbedaan kerja obat karena farmakogenetik disebabkan karena :
Selain farmakogenetik, aspek farmakokinetik, makanan dan minuman, keadaan penyakit, dan kontak dengan senyawa kimia tertentu juga mempengaruhi perbedaan respon tubuh terhadap kerja obat yang berbeda terhadap masing-masing individu. (Widianto, 1985).


BAB III
PEMBAHASAN

Obat yang masuk ke dalam tubuh untuk memberikan efek  melalui beberapa proses farmakokinetik: absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.Namun, tidak semua obat melalui proses farmakokinetik dengan lengkap (tergantung cara pemberian obat). Sebagai contoh cara pemberian obat dengan cara injeksi intravena tidak melalui proses absorbsi. Setelah mengalami absorpsi dan distribusi (pengikatan obat oleh protein plasma yang kemudian disalurkan ke organ-organ yang membutuhkan, obat disalurkan dalam sel dengan melalui reseptor obat). Adanya perbedaan kerja reseptor dapat mempengaruhi metabolisme obat.












Pada kasus diatas, permasalahan terdapat pada proses farmakokinetik obat pada masing-masing individu. Walaupun dosis Seoran perempuan usia 30 tahun yang sedang menyusui dengan temannya sama, namun respon tubuh dapat berbeda, dikarenakan penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya tidak sama. Adanya perbedaan ini dapat dikarenakan perbedaan polimorfisme genetik, sehingga akibatnya respon tubuh juga akan berbeda. Seorang perempuan yang usianya 30 tahun dan sedang menyusui anaknya tadi mengalami reaksi hipersensitive, sedangkan temannyanya tidak.
Di skenario 3 ini pasien yang mengalami muntah, diare, tidak bisa tidur merupakan adanya farmakodinamis non-imunologis. Sedangkan timbulnya kulit kemerahan dan gatal karena adanya farmakodinamis imunologis.
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Pasien juga minum obat sebelum makan ini merupakan salah satu timbulnya gangguan-gangguan pada pencernaan. Memang dengan keadaan perut kosong maka penyerapan obat akan berlangsung lebih cepat, tetapi jika obat langsung bergesakan dengan membrane pada organ seperti lumen lambung maka dapat menyebabkan iritasi atau kelainan lainnya.
Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT dalam darah berfungsi sebagai indikator berbagai penyakit. Pada intinya, enzim-enzim tersebut (oksaloasetat dan piruvat transaminase) sulit masuk ke jaringan, sehingga tertimbun di dalam peredaran darah. SGPT(serum glutamate piruvat transaminase) dan SGOT (serum glutamate oksaloasetat transaminase) seseorang yang tinggi mengindikasikan adanya kelainan organ(hati, jantung, jaringan skeleton) pada tubuh seseorang. SGPT lebih spesifik terhadap adanya kelainan pada hati
Penatalaksanaan pasien dimulai dari penghentian minum obat the pelangsing selain karena adanya reaksi hipersensitivitas dari pasien juga karena si ibu yang masih dalam keadaan menyusui anaknya. Diet tidak boleh dilakukan pada saat sang ibu dalam keadaan menyusui, karena itu dapat menimbulkan reaksi farmakogenetik. Bersamaan dengan penghentian obat maka si ibu diberikan penanganan efek nonterapi (efek samping).





























BAB IV
PENUTUP

Obat pada hakikatnya adalah zat asing yang dalam dosis atau takaran tertentu, dapat memberikan efek terapetik pada makhluk hidup (manusia). Namun, efek obat dapat berbeda-beda untuk setiap individu. Perbedaan ini bisa disebabkan proses farmakologi tiap orang yang berbeda-beda dan berhubungan dengan genetik tiap orang. Mengenai hal ini, kelainan yang dapat terjadi adalah hiporeaktif (pada dosis normal efek yang didapat kurang) atau hipereaktif (pada dosis normal efek yang didapat berlebihan). Bagi orang yang hipereaktif, efek samping yang terjadi dapat dibagi menjadi efek imunologis dan efek nonimunologis.
Pemberian obat harus mempertimbangkan banyak hal, selain adanya hipersensitivitas pada pasien tertentu, keadaan pasien juga harus menjadi pertimbangan penting. Bagi ibu hamil dan menyusui, pemilihan dan pemakaian obat harus sangat hati-hati karena farmakokinetika obat, terutama pada proses ekskresi, dapat mempengaruhi bahkan membahayakan anak dari ibu tersebut. Oleh karena itu, dalam pemberian obat, seorang dokter harus selalu berpegangan pada ungkapan “Obat adalah racun, yang membedakan hanyalah dosis dan cara penggunaan.”

Ketika akan mengonsumsi obat, alangkah baiknya untuk mempertimbangkan pemilihan obat. Karena tidak semua obat cocok untuk setiap orang. Obat yang cocok bagi seseorang belum tentu cocok bagi orang lain.
 Seseorang ibu yang sedang hamil ataupun menyusui, ada baiknya untuk tidak mengonsumsi obat pelangsing terlebih dahulu, karena obat tersebut dapat mempengaruhi janin ataupun anak yang sedang disusui.


DAFTAR PUSTAKA


Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM. Farmakogenetika. n.d. http://www.farklin.com/images/multirow3f1e1d0fb4b43.pdf
(19 Desember 2010)
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar