Senin, 23 Januari 2012

Skenario 2 Blok Endokrin


I.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
             Fisiologis manusia adalah suatu hal yang sangat kompleks dan rumit. Setiap jaringan, organ, bahkan setiap sel mempunyai kerja yang spesifik untuk mendukung fisiologis tubuh manusia. Sebagai contoh perbuatan fisiologis adalah, keinginan mencari makanan ketika lapar dan keinginan mencari minuman ketika haus. Hal tersebut adalah sebuah respons fisiologis yang dapat dikatakan tubuh secara otomatis akan meresponnya dan akhirnya tubuh akan melakukan tindakan makan dan minum. Begitu pula dengan organ yang bekerja dalam tubuh manusia yang tugasnya adalah untuk mensekresikan hormon. Hormon adalah suatu zat yang dapat bekerja dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.
            Kelenjar tiroid adalah salah satu contoh dari kelenjar yang mensekresikan hormon yang sangat penting untuk masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, bahkan tidak hanya anak-anak ada pula kelainan yang diakibatkan akibat ketidaknormalan sekresi hormon ini yang diderita oleh orang dewasa. Pada anak dapat menyebabkan kekerdilan dan retardasi mental sedangkan pada orang dewasa akan mengakibatkan eksoftalmus dan sebagainya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah fisiologis dari kelenjar tiroid dan hormon tiroid?
2.      Bagaimanakah patofisiologis dari hormon tiroid?
3.      Apakah yang dimaksud radang tiroid?
4.      Apakah yang dimaksud dengan Grave’s Disease?
5.      Apakah yang dimaksud dengan hipertiroidisme dan hipotiroidisme?
6.      Bagaimanakah mekanisme gejala dari hipertiroidisme?
7.      Bagaimana interpretasi hasil lab pada skenario dengan diagnosis?
8.      Bagaimanakah penatalaksanaan dan prognosis dari pasien yang berkaitan dengan kasus?
9.      Bagaimanakah pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis?

C.    Tujuan dan Manfaat Pembelajaran
1.      Memahami fisiologis dari kelenjar tiroid dan hormon yang dihasilkan.
2.      Memahami patofisiologis dari hormon tiroid.
3.      Mengetahui yang dimaksud dengan radang tiroid.
4.      Mengetahui dan memahami tentang Grave’s Disease.
5.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan hipertiroidisme dan hipotiroidisme.
6.      Mengetahui dan memehami mekanisme gejala dari hipertiroidisme.
7.      Memahami interpretasi hasil laboratorium pada skenario dengan diagnosis.
8.      Mengetahui penatalaksanaan dan prognosis dari pasien, yang berkaitan dengan kasus.
9.      Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diterapkan sebagai penunjang dalam penegakan diagnosis.








II.   TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tiroid
            Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara  branchial pouch pertama dan kedua. Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher (cartilagothyroidea), dibagi menjadi dua lobus yang dihubungkan dengan isthmus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Secara anatomis pada bagian posterior dari tiroid terdapat kelenjar lagi yaitu kelenjar paratiroid. Dari 2 pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius, sedangkan nervus laringeus rekurens berjalan sepanjang trakea di belakang dari tiroid (Sudoyo, 2006).
            Kelenjar tiroid mensekresikan beberapa hormon yaitu Tiroksin (T4), Triiodotironin (T3), dan Kalsitonin. Kira-kira 93 % hormon-hormon aktif metabolisme yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin dan 7 % triiodotironin. Akan tetapi, hampir semua dari tiroksin diubah menjadi triiodotironin di dalam jaringan, sehingga secara fungsional keduanya penting (Guyton, 1997). T3 dibentuk pula dalam jaringan perifer dengan cara deiodinasi. Triiodotironin lebih aktif dibandingkan dengan tiroksin. T3 dan T4 dibentuk dalam koloid dengan cara yodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang tergabung dengan ikatan peptida pada tiroglobulin (Ganong, 1990). Proses sintesis lebih rinci dapat dijabarkan menjadi: 1). Transpor I- (iodida). 2). Tahap oksidasi, sintesis tiroglobulin dan yodinasi. 3). Tahap coupling. 4). Tahap penimbunan/pengendapan (storage). 5). Tahap deyodinasi, resorbsi. 6). Tahap proteolisis. 7). Tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (sekresi) (Sudoyo, 2006). Yodida bersamaNatrium diserap oleh transporter yang terletakpada membran plasma basal sel folikel. Proses ini distimulasi oleh TSH sehingga mampu meningkatkan konsentrasi yodium intrasel. Tiroglobulin sendiri adalah glikoprotein yang disintesis pada retikulum endoplasma tiroid dan glikosilasinya terdapat pada aparat golgi. Adapun protein lain yang juga menjadi kunci dan sangat berperan adalah Tiroperoksidae (TPO) (Sudoyo, 2007).
            Sekresi hormon tiroid dipengaruhi oleh TSH. TSH adalah suatu glikoprotein yang mengandung 211 residu asam amino, ditambah heksosa, heksosamin, dan asam sialat.  TSH terdiri dari 2 subunit yang diberi tanda alpha dan beta. Struktur TSH-α adalah identik dengan subunit α dari LH dan FSH. Ciri khas fungsional TSH dinyatakan oleh adanya subunit β (Ganong, 1990).

B.     Hipertiroidisme
            Istilah tirotoksikosis dan hipertiroidisme sering dipertukarkan. Tirotoksikosis berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jarinagn memberikan hormon tiroid berlebihan (Mansjoer, 2001). Tirotoksiskosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar pada sirkulasi (Sudoyo, 2006). Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis sebagai akibat produksi hormon tersebut (Mansjoer, 2001., Sudoyo, 2007).
            Pengobatan hipertiroidisme dapat diberikan: 1). Obat Anti-Tiroid, kelompok derivat tiomidazol dan derivat tiourasil (propiltiourasil) dengan dosis 50 mg/100 mg yang akan menghambat proses organifikasi dan reaksi autoimun, tetapi PTU terdapat efek tambahan yaitu menghambat konversi T3 menjadi T4 di perifer. 2). Tiroidektomi, prinsip umumnya operasi baru dapat dijalankan dengan pasien eutiroid baik klinis maupun biokimiawi. 3). Yodium Radioaktif, untuk menghindari pasien dalam keadaan eutiroid. Dosis RAI berbeda, ada yang langsung dengan dosis besar lalu ditambahkan tiroksin sebagai substitusi dan RAI mempunyai efek samping yaitu radiasi, karsinoma, leukemia, dan sebagainya (Sudoyo, 2007). Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakan diagnosis adalah indeks wayne, indeks new castle, uji TSHs, uji kadar FT4 dan FT3, dan sebagainya (Mansjoer, 2001). Indeks wayne dan indeks new castle sendiri ditekankan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik secara teliti (Sudoyo, 2007)

C.    Grave’s Disease
            Grave’s disease termasuk penyakit tiroid autoimun yang ditandai oleh hyperplasia kelenjar tiroid serta keluhan dan gejala yang terjadi akibat hiperfungsi kelenjar tersebut. Penyakit ini terjadi mayoritas pada wanita dengan perbandingan wanita : pria, 7 : 1. Grave’s disease adalah penyalit autoimun yang cenderung herediter. Terdapat beberapa mekanisme dari penyakit ini yang ditimbulkan karena reaksi beberapa autoantibodi terhadap reseptor TSH yaitu : 1). Autoantibodi terhadap reseptor TSH atau TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), TSI dalam serum berupa LATS (long-acting thyroid stimulator), adalah IgG yang mengikat reseptor TSH dan menstimulasi aktivitas adenylate cyclase sehingga terjadi peningkatan release hormon tiroid. 2). Thyroid growth-stimulating immunoglobulin (TGI) berperan pada proliferasi epitel folikel tiroid. 3). TSH-binding inhibitor immunoglobulin (T-BII), antibodi antireseptor TSH yang menyamar seperti TSH sehingga terjadi stimulasi aktivitas sel epitel tiroid. Semua mekanisme ini akan berdampak pada kadar TSHs, FT4, dan FT3 pada darah (BPK PA, 2008).

D.    Hipotiroidisme
            Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana efek tiroid di jaringan kurang karena sekresi dari hormon tiroid yang berkurang juga. Secara klinis dikenal 1. Hipotiroidisme sentrall, karena kerusakan hipotalamus/hipofisis. 2. Hipotiroidisme primer, apabila yang rusak adalah kelenjar tiroid. 3. Karena sebab lain seperti farmakologis, defisiensi yodium, dan resistensi perifer. Hipotiroidisme dominan terjadi pada wanita dan dibedakan lagi menjadi klinis dan subklinis. Hipotiroidisme klinik ditandai dengan kadar TSHs yang tinggi dan FT4 yang rendah, sedangkan hipotiroidisme subklinis ditandai dengan TSHs yang tinggi dengan FT4 normal, tanpa/ada gejala yang minimal. Hipotiroidisme adalah merupakan gejala dan tanda yang manifestainya tergantung dari usia, cepat atau tidaknya hipotiroidisme terjadi, ada tidaknya kelainan lain (Sudoyo, 2007).

E.     Radang Tiroid
            Radang tiroid atau tiroiditis adalah segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang teramat hebat pada tiroid (Sudoyo, 2007). Berdasarkan perjalanan penyakitnya tiroiditis dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Tiroiditis akut dan disertai rasa sakit (karena radiasi, traumatika, infeksiosa akut). 2. Tiroiditis subakut, dibagi menjadi dua yaitu disertai rasa sakit dan tanpa rasa sakit. 3. Tiroiditis kronis, sebagai contoh tiroiditis Hashimoto, Riedel, infeksiosa akibat microbacterial, jamur, dan sebaginya. Pada tiroiditis subakut pola perubahan fungsi tiroid biasanya dimulai dengan hipertiroid, lalu diikuti dengan hipotiroid dan akhirnya kembali eutiroid (Sudoyo, 2007).

III.  PEMBAHASAN
            Wanita 28 tahun yang mempunyai benjolan pada leher sejak 5 tahun. Ketika 2 tahun yang lalu penderita pernah didiagnosis oleh seorang dokter puskesmas radang tiroid dengan melihat gejala pada wanita tersebut yaitu badan terasa lemah, leher tidak nyeri, badan panas, benjolan pada leher semakin membesar. Sekitar 1 bulan ini penderita suka hawa dingin, banyak keringat, tremor, dan berdebar. Diagnosis telah ditegakan yaitu grave’s disease berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang telah dilakukan.
            Benjolan pada leher pasien, dasar dokter puskesmas mendiagnosis radang tiroid adalah dengan melihat gejala ketika wanita tersebut datang, tetapi pada skenario tidak tertulis dilakukan pemeriksaan laboratorium atau tidak untuk menegakan diagnosis lebih lanjut. Benjolan pada leher tersebut diakibatkan beberapa sebab contohnya adalah kerusakan sel-sel folikel tiroid dan pemecahan timbunan tiroglobulin, menimbulkan pelepasan hormon yang tak terkendali. Sedangkan dokter poliklinik dengan melihat hasil pemeriksaan laboratorium, gejala yang ditunjukan oleh pasien, serta riwayat penyakit pasien, dia dapat mendiagnosis wanita tersebut menderita Grave’s disease dimana Grave’s disease sendiri termasuk dalam hipertiroidisme. Sign and Symptom yang ditunjukan oleh pasien dapat dikatakan berhubungan karena semua akibat dari sekresi hormon tiroid yang abnormal, dan hormon sendiri bekerja dan mempunyai akibat pada seluruh bagian tubuh. Tremor, hormon tiroid mempunyai efek pada kerja otot, peningkatan hormon tiroid biasanya menyebabkan otot bekerja sangat kuat namun bila jumlahnya berlebihan akan menyebabkan otot menjadi lemah karena katabolisme protein. Tremor otot adalah suatu ciri khas dari hipertiroidisme. Tremor ini berfrekuensi cepat yakni 10 sampai 15 kali per detik dan terkesan halus. Tremor ini dianggap oleh bertambahnya kepekaan sinaps saraf di daerah medula yang mengatur tonus otot. Tremor sendiri merupakan indikator penting untuk mengetahui tingkat pengaruh hormon tiroid pada sistem saraf pusat. Hormon tiroid juga mempengaruhi sistem saraf pusat, pada hipertiroidisme terdapat gangguan pada kerja dari sistem saraf pusat dan akhirnya menimbulkan gejala seperti cemas, berkeringat, dan suka hawa dingin karena tubuh terasa panas. Tubuh terasa panas peningkatan hormon tiroid yang menyebabkan vasodilatasi darah dan mengakibatkan volume darah yang beredar dalam vaskuler menjadi berlebih dan menyebabkan badan panas. Takikardia pada pasien hipertiroidisme diakibatkan karena naiknya hormon tiroid akan berakibat langsung pada eksabilitas jantung, yang selanjutnya menaikkan frekuensi denyut jantung dan nadi. Eksoftalmus pada hipertiroidisme adalah akibat dari jaringan orbita dan otot-otot mata diinfiltrasi oleh limfosit, sel mast, dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoftalmus.
            Hasil laboratorium yang ada yaitu TSHs <0,005 µIU/ml, FT4 20 µg/dl, FT3 15 ng/ml. Kaitan antara hasil laboratorium dengan skenario adalah dengan hasil laboratorium ini dapat didiagnosis bahwa wanita tersebut menderita Grave’s disease. Grave’s disease merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan hiperplasia kelenjar tiroid difus serta keluhan dan gejala yang terjadi akibat hipefungsi kelenjar tersebut (BPK PA, 2008). Terdapat 3 mekanisme yang terjadi karena adanya reaksi autoantibodi terhadap reseptor TSH sehingga menyebabkan peningkatan release hormon tiroid yakni T3 dan T4 itulah yang menyebabkan terjadinya peningkatan T3 dan T4 yang sangat signifikan pada kasus, sebagai negative feed back alami terjadi peningkatan dari T3 dan T4 maka terdapat penekanan dari jumlah TSH, oleh karena itu pada skenario didapati TSH yang menurun drastis.
            Tetangganya yang menderita sama yaitu benjolan pada leher tidak dapat didiagnosis apakah ia menderita hipertiroidisme ataukah hipotiroidisme karena tidak ada keterangan lebih lanjut baik pemeriksaan lab atau fisik. Hipertiroidisme dan hipotiroidisme dapat bersifat herediter apabila terjadi defek pada kromosom 14q31 yaitu kromosom reseptor TSH sehingga defek yang terjadi pada gen pasti diturunkan. Anak yang seiring tidak naik kelas dan kecil. Kemungkinan yang terjadi adalah anak tersebut hipertirodisme (tumbuh cepat, ketika umur muda epifis sudah menutup sehingga pertumbuhan terhenti dan kerdil) atau hipotiroidisme (pendek, keterbelakangan mental yang disebabkan otaknya menjadi kecil karena tidak adanya sekresi hormon tiroid yang cukup).
            Penatalaksanaan pada kasus yaitu dengan pemberian propiltiourasil adalah dengan tujuan penghambatan proses inkorporasi yodium pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan residu yodotirosil ini untuk membentuk yodotironin. Sedangkan propranolol dikenal sebagai β-blocker, selain itu propranolol memberikan respon langsung yaitu meningkatkan arus masuk ion K+ dan pada kadar yang tinggi menekan arus masuk ion Na­­­­­­+ yang dikenal sebagai efek stabilisasi membran. Tiroidektomi adalah suatu tindakan yang sangat beresiko karena apabila dilakukan kemungkinan besar akan mengenai organ paratiroid dan nervus laringeus rekurens, sehingga apabila mengenai organ paratiroid akan menyebabkan sekresi hormon paratiroid akan terganggu dan akhirnya menyebabkan hipopearatiroidisme ataupun hiperparatiroidisme sedangkan efek terhadap nervus laringeus adalah apabila organ tersebut terkena atau rusak akibat tiroidektomi mengakibatkan suara akan serak dan lebih parah lagi tidak keluar.
                       
IV.           KESIMPULAN
1.      Pasien wanita telah mendapat diagnosis pasti yaitu Grave’s Disease.
2.      Tindakan tiroidektomi adalah tindakan yang beresiko karena dapat mengenai organ lain sebagai contohnya paratiroid nervus laringeus rekurens.
3.      Hipotiroidisme atau hipertiroidisme dapat diturunkan apabila terjadi kerusakan pada kromosom, sehingga mengakibatkan adanya defek pada gen yang diturunkan.

V.        SARAN
1.      Sebelum mendiagnosis seseorang, seorang praktisi kesehatan harus melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2.      Tindakan operasi adalah tindakan yang sangat beresiko apalagi operasi yang berkaitan dengan pemotongan atau pengambilan organ/ggota badan. Oleh karena itu setiap praktisi kesehatan wajib memberikan informed consent terhadap setiap pasien yang akan menjalani operasi.


















DAFTAR PUSTAKA




Guyton, Arthur C., John E.Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. 1990. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta kedokteran edisi III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses     Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan   Fakultas Ilmu Penyakit Dalam FKUI.









1 komentar: