Senin, 23 Januari 2012

Skenario 2 Blok Imunologi


BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Dalam aktivitas sehari-hari, manusia akan selau terpapar dengan berbagai zat-zat asing yang infeksius maupun tidak. Dan tanpa kita sadari, sistem imun selalu memproteksi tubuh dari paparan zat asing tersebut melalui respon imun spesifik maupun nonspesifik. Akan tetapi, sistem imun tubuh juga dapat menimbulkan hal sebaliknya yang disebut dengan reaksi hipersensitivitas.
Pada skenario kali ini membahas mengenai anak yang mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap paparan dari luar.
Berikut skenario yang akan dibahas:
Seorang anak, bernama Siti, berusia 10 th, sering menderita biduren/ kaligata. Keluhan biduren ini biasanya timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari setelah lahir dulu pipinya timbul eczem, yang berwarna kemerahan dan selalu digaruk-garuk. Pada waktu bayi selain mendapat ASI juga mendapat susu formula. Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentol-bentol merah terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen disertai diare.
Selanjutnya Siti tidak berani lagi makan udang, telur, dan semua ikan laut. Setelah diperiksakan ke dokter, dianjurkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dengan hasil Hemoglobin: 13,2 gr/ dL; jumlah leukosit: 7,5x103; AT 337x103 hitung jenis leukosit: eosinofilia relative. Selanjutnya dokter memberikan obat dan dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibunya Siti sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan gejala nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti sudah khawatir kalau asmanya menurun kepada anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hal tersebut. Ibunya Siti pernah berobat ke praktek dokter diberikan suntikan dan syok. Dokter berusaha menangani syoknya tersebut, tetapi tidak membaik dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit.

B.        RUMUSAN MASALAH
a.          Penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh Siti?
b.         Mengapa Siti mengalami gejala-gejala klinis dalam kasus tersebut?
c.          Apa saja tata laksana yang harus dilakukan?

C.    TUJUAN PENULISAN
a.          Mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita Siti
b.         Mengetahui penyebab Siti mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus
c.          Mengetahui apa saja tata laksana yang harus dilakukan agar Siti dapat sembuh

D.    MANFAAT PENULISAN
a.          Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar hipersensitivitas, mekanisme dan manifestasi klinis dari hipersensitivitas tersebut
b.         Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan dan tata laksana pada pasien hipersensitivitas













BAB II
STUDI PUSTAKA

A.    DASAR-DASAR IMUNITAS TUBUH
Kemampuan tubuh manusia untuk melawan hampir semua jenis organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh disebut imunitas. Ada dua macam imunitas atau respon imun tubuh yaitu:
1.      Respon imun non-spesifik (Imunitas Bawaan)
Suatu imunitas tambahan akibat dari proses umum, bukan dari proses yang terarah pada organisme penyebab penyakit spesifik/ potensi untuk menolak agen asing tanpa pernah berkontak (Price, 2006; Guyton, 2007). Imunitas non-spesifik ini meliputi: Fagositosis oleh sel darah putih dan sel pada sistem makrofag jaringan; Penghancuran oleh asam lambung dan enzim pencernaan; Daya tahan kulit terhadap invasi organisme; Senyawa kimia tertentu dalam darah yang melekat pada organisme asing atau toksin dan menghancurkannya, yaitu: lisozim, polipeptida dasar, kompleks komplemen dan NK sel (Price, 2006).
2.      Respon imun spesifik (Imunitas Didapat)
Imunitas spesifik yang dibentuk tubuh manusia yang sangat kuat untuk melawan agen penyerbu yang bersifat mematikan, seperti bakteri, virus, toksin, dan bahkan jaringan asing yang berasal dari binatang lain atau didapat setelah tubuh terpajan ke suatu imunogen setelah lahir (Price, 2006; Guyton, 2007).
Ada dua tipe imunitas didapat yaitu:
a.       Imunitas Aktif
Resistensi terhadap suatu imunogen yang terjadi akibat kontak dengan imunogen asing, bisa terjadi dalam bentuk infeksi, imunisasi dengan imunogen hidup atau yang sudah dimatikan, pajanan ke produk bakteri (endotoksin atau eksotoksin) atau transplantasi sel atau organ asing. Ada dua macam imunitas aktif yaitu:
1)      Imunitas Humoral (Imunitas Sel-B)
Imunitas spesifik yang diperantarai oleh produksi imunoglobulin (antibodi) oleh limfosit B yang terstimulasi (sel plasma) sebagai respons terhadap suatu epitop. Imunitas ini dibantu oleh sistem komplemen, yaitu suatu sistem amplifikasi yang melengkapi keja imunoglobulin untuk mematikan imunogen asing dan menyebabkan lisis patogen tertentu dan sel. Sel limfosit B dengan bantuan sel T helper dan T supressor akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi (untuk pertahanan terhadap mikroorganisme ekstrasel) dan juga akan menjadi sel B memori.
2)      Imunitas Selular (Imunitas Sel-T)
Respon imun yang dilaksanakan oleh limfosit T, saat tubuh terpajan ke suatu imunogen, sel-sel T berproliferasi dan mengarahkan interaksi selular dan subselular penjamu untuk bereaksi terhadap epitop spesifik (imunoglobulin dan sel T dapat mengenali epitop) (Guyton, 2007).
b.      Imunitas Pasif
      Resistensi relatif yang bergantung pada produksi imunoglobulin oleh orang atau pejamu lain. Imunitas pasif dapat terjadi secara alamiah saat Ig G ibu masuk ke janin atau neonatus menerima Ig A dari kolostrum. Juga dapat diinduksi secara buatan dengan serum imun untuk mencegah atau mengobati infeksi atau menetralkan toksin. Kekurangan utamanya adalah imunitas pasif memiliki umur yang singkat dan dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas, terutama apabila berasal dari sumber bukan manusia (Guyton, 2007).
B.     ANTIBODI
Antibodi adalah imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Macam-macam antibodi yaitu:
1.      IgG
IgG merupakan komponen utama terbanyak imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai carian lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. 
2.      IgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi, saliran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sabagai IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum maupun sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran.
3.      IgM
IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dulu pada respon imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus yang berumur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intrauterin.
4.      IgD
IgD ditemukan dengan kadar yang rendah dalam darah . IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti kompleks nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B. 
5.      IgE
IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikiat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran nafas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin. (Kindt T.J., et al,. 2007)


C.    DEFINISI REAKSI HIPERSENSITIVITAS
*      Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik oleh karena respons imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan (Sherwood, Lauralee, 2001)
*      Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons fisiologis yang tidak menguntungkan (Abbas, 2000).
*      Secara klasik, istilah alergi yang diciptakan oleh Von Pirquet, disebut keadaan reaktivitas yang diubah. Modifikasi selanjutnya dari arti istilah tersebut telah menyamakan alergi dengan hipersensitivitas, yaitu reaksi terhadap bahan asing yang berakhir dengan akibat yang merusak.
*      Hipersensitivitas sebagai respons atau reaksi imun yang berlebihan atau tidak terkontrol (Kresno, Siti Boedina, 2001).
*      Sedangkan Dorland (2002) mendefinisikannya sebagai keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respons imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing..

D.    PENGGOLONGAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara umum Gell dan Comb membagi reaksi hipersensitivitas menjadi empat golongan, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV.  Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme patologik utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan.  Reaksi tipe I, II, dan III terjadi karena interaksi antara antiogen dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral, sedangkan reaksi tipe IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit T dan mengaktifkan limfosit T sehingga termasuk reaksi seluler.
Jenis Hipersensitivitas
Mekanisme Imun Patologik
Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
IgE
Sel mast dan mediatornya  (amin vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)
Tipe II
Reaksi melalui antibody
IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraseluler
Opsonisasi & fagositosis sel
Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone)
Tipe III
Kompleks imun
Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen dan Fc-R
Tipe IV (melalui sel T)
Tipe IVa
Tipe IVb
  1. CD4+ : DTH
  2. CD8+ : CTL
1.   Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh sitokin
2.   Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin
(Baratawidjaja, 2006).

1.      TIPE I : REAKSI  HIPERSENSITIVITAS TIPE SEGERA
Reaksi hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat, reaksi anafilaksis, atau reaksi alergi, dikenal sebagai reaksi yang segera timbul setelah alergen masuk ke dalam tubuh setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks, et al., 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1.      Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2.      Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3.      Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.
1)      Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.
*            Histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.
*            Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.


2)      Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.
*      Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.
*      Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.
3)      Mediator jenis ketiga
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
Salah satu mekanisme efektor sistem imun yang paling kuat adalah reaksi yang terjadi akibat stimulasi mastosit jaringan dan basofil yang diperantarai IgE. Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diproses lalu dipresentasikan ke sel Th2 yang kemudian melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan didikat oleh sel yang memiliki reseptor untuk Ig E (Fce-R) seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Bila antigen, khususnya alergen, berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat pada permukaan mastosit atau basofil, maka hal itu dapat menyebabkan dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit dan basofil yang secara kolektif mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos bronkus dan saluran cerna serta inflamasi lokal.
Penyakit alergi memanifestasikan ketidakseimbangan terutama melalui tiga organ sasaran traktus gastrointestinal, kulit, dan traktus respiratorius.  Sifat-sifat umum dari ketiga sasaran ini adalah terpaparnya terhadap lingkungan luar, yang menyedaiakan jalan masuk umum untuk agen eksogen.  Jalan dan jenis antigen yang paling umum adalah sebagai berikut :
Jalan
Contoh antigen
Mekanisme
Manifestasi penyakit
1. Ingestian
Makanan
Obat-obatan
Tipe I
Tipe I, II, III
Alergi gastrointestinal
Urtikaria,peny. serum,dll
2.  Inhalan
Tepungsari, debu, jamur
Tipe I, III
Asma bronkiale, rinitis alergika, dll
3.  Injektan
Obat-obatan
Sengatan lebah
Vaksin
Serum
Tipe I, II, III
Tipe I
Tipe III
Tipe I
Reaksi obat cepat
Anafilaksis
Arthus lokal
Anafilaksis
4.  Kontakan
Racun ivy
Tipe IV
Dermatitis kontak

Urutan khas dari proses yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe I adalah:
(1)      Produksi IgE oleh sel B sebagai respon terhadap antigen paparan pertama,
(2)      Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil,
(3)      Interaksi antara antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan
(4)      Aktivasi sel bersangkutan dan pelepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut.  Manifestasi klinik dan keadaan patologik reaksi hipersensitivitas disebabkan aksi-aksi mediator tersebut.
Beberapa mediator peradangan :
Mediator
Sifat kimia
Aktifitas biologis
Histamin
Amino sederhana, BM 11
Meningkatkan permeabilitas, sensasi gatal, aktivitas mukosa, kontarksi otot polos.
Prostlagandin
BM 352
Kontraksi otot polos, meningkatkan pelepasan mediator oleh basofil
PAF
Fosfolipid
Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos, menarik netrofil.
Leukotrien
Lipid asam
Spasme otot polos, permeabilitas venula
Heparin
Peptida pembawa gula amino dan sulfat
Antikoagulan, modulasi mediator lain.
ECF-A
Tetrapeptida asam
Menarik netrofil
NCF-A
Protein besar
Sebabkan migrasi netrofil
Kalikrein basofil
Tidak ditentukan
Menyebabkan pembentukan bradikinin

Jadi, bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE spesifik pada permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi yang mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin dan menimbulkan gejala alergi.
Contoh penyakit yang timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, allergic rinitis (hay fever), urtikaria, dermatitis atopik, alergi pada penicillin, gigitan serangga, jamur, dll, allergic conjunctivitis, anafilaktik, angioedema, dan cephalosporin (Baratawidjaja dan Rengganis, 2007).
2.      TIPE II : REAKSI SITOTOKSIS DENGAN BANTUAN ANTIBODI
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi dapat terjadi karena dibentuk antibodi IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan dan mengaktifkan komplemen yan gmenimbulkan lisis. Lisis dapat pula terjadi setelah sensitisasi sel NK sebagai efektor ADCC.
Pada hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran.  Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen, dengan konsekuensi :
1.      Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain.
2.      Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar