BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam aktivitas sehari-hari, manusia akan selau
terpapar dengan berbagai zat-zat asing yang infeksius maupun tidak. Dan tanpa
kita sadari, sistem imun selalu memproteksi tubuh dari paparan zat asing
tersebut melalui respon imun spesifik maupun nonspesifik. Akan tetapi, sistem
imun tubuh juga dapat menimbulkan hal sebaliknya yang disebut dengan reaksi
hipersensitivitas.
Pada skenario kali ini membahas mengenai anak yang
mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap paparan dari luar.
Berikut skenario yang akan dibahas:
Seorang anak,
bernama Siti, berusia 10 th, sering menderita biduren/ kaligata. Keluhan
biduren ini biasanya timbul setelah makan udang. Menurut ibunya, beberapa hari
setelah lahir dulu pipinya timbul eczem, yang berwarna kemerahan dan selalu
digaruk-garuk. Pada waktu bayi selain mendapat ASI juga mendapat susu formula.
Sejak kecil, sehabis makan udang dan kepiting langsung keluar bentol-bentol
merah terasa gatal dan juga disertai kolik abdomen disertai diare.
Selanjutnya Siti
tidak berani lagi makan udang, telur, dan semua ikan laut. Setelah diperiksakan
ke dokter, dianjurkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dengan hasil
Hemoglobin: 13,2 gr/ dL; jumlah leukosit: 7,5x103; AT 337x103
hitung jenis leukosit: eosinofilia relative. Selanjutnya dokter memberikan obat
dan dianjurkan dilakukan pemeriksaan skin prick test.
Ibunya Siti
sering pilek, hidung gatal, bersin-bersin dan juga menderita asma, dengan
gejala nafas dan mengi. Pada waktu hamil ibunya Siti sudah khawatir kalau
asmanya menurun kepada anaknya. Mereka konsultasi kepada dokter mengenai hal
tersebut. Ibunya Siti pernah berobat ke praktek dokter diberikan suntikan dan
syok. Dokter berusaha menangani syoknya tersebut, tetapi tidak membaik dan
akhirnya dirujuk ke rumah sakit.
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Penyakit
apa yang sebenarnya diderita oleh Siti?
b.
Mengapa
Siti mengalami gejala-gejala klinis dalam kasus tersebut?
c.
Apa
saja tata laksana yang harus dilakukan?
C.
TUJUAN PENULISAN
a.
Mengetahui
penyakit apa yang sebenarnya diderita Siti
b.
Mengetahui
penyebab Siti mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus
c.
Mengetahui
apa saja tata laksana yang harus dilakukan agar Siti dapat sembuh
D.
MANFAAT PENULISAN
a.
Mahasiswa
mampu menjelaskan konsep dasar hipersensitivitas, mekanisme dan manifestasi
klinis dari hipersensitivitas tersebut
b.
Mahasiswa
mampu menentukan pemeriksaan dan tata laksana pada pasien hipersensitivitas
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. DASAR-DASAR IMUNITAS TUBUH
Kemampuan tubuh manusia untuk melawan hampir semua
jenis organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh disebut
imunitas. Ada dua macam imunitas atau respon imun tubuh yaitu:
1.
Respon
imun non-spesifik (Imunitas Bawaan)
Suatu
imunitas tambahan akibat dari proses umum, bukan dari proses yang terarah pada
organisme penyebab penyakit spesifik/ potensi untuk menolak agen asing tanpa
pernah berkontak (Price, 2006; Guyton, 2007). Imunitas non-spesifik ini
meliputi: Fagositosis oleh sel darah putih dan sel pada sistem makrofag
jaringan; Penghancuran oleh asam lambung dan enzim pencernaan; Daya tahan kulit
terhadap invasi organisme; Senyawa kimia tertentu dalam darah yang melekat pada
organisme asing atau toksin dan menghancurkannya, yaitu: lisozim, polipeptida
dasar, kompleks komplemen dan NK sel (Price, 2006).
2.
Respon
imun spesifik (Imunitas Didapat)
Imunitas spesifik yang dibentuk tubuh
manusia yang sangat kuat untuk melawan agen penyerbu yang bersifat mematikan,
seperti bakteri, virus, toksin, dan bahkan jaringan asing yang berasal dari
binatang lain atau didapat setelah tubuh terpajan ke suatu imunogen setelah lahir
(Price, 2006; Guyton, 2007).
Ada dua tipe imunitas didapat yaitu:
a.
Imunitas Aktif
Resistensi
terhadap suatu imunogen yang terjadi akibat kontak dengan imunogen asing, bisa
terjadi dalam bentuk infeksi, imunisasi dengan imunogen hidup atau yang sudah dimatikan,
pajanan ke produk bakteri (endotoksin atau eksotoksin) atau transplantasi sel
atau organ asing. Ada dua macam imunitas aktif yaitu:
1)
Imunitas Humoral (Imunitas Sel-B)
Imunitas spesifik
yang diperantarai oleh produksi imunoglobulin (antibodi) oleh limfosit B yang
terstimulasi (sel plasma) sebagai respons terhadap suatu epitop. Imunitas ini
dibantu oleh sistem komplemen, yaitu suatu sistem amplifikasi yang melengkapi
keja imunoglobulin untuk mematikan imunogen asing dan menyebabkan lisis patogen
tertentu dan sel. Sel limfosit B dengan bantuan sel T helper dan T supressor
akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi (untuk
pertahanan terhadap mikroorganisme ekstrasel) dan juga akan menjadi sel B
memori.
2)
Imunitas Selular (Imunitas Sel-T)
Respon imun yang
dilaksanakan oleh limfosit T, saat tubuh terpajan ke suatu imunogen, sel-sel T
berproliferasi dan mengarahkan interaksi selular dan subselular penjamu untuk
bereaksi terhadap epitop spesifik (imunoglobulin dan sel T dapat mengenali
epitop) (Guyton, 2007).
b.
Imunitas Pasif
Resistensi relatif yang bergantung pada
produksi imunoglobulin oleh orang atau pejamu lain. Imunitas pasif dapat
terjadi secara alamiah saat Ig G ibu masuk ke janin atau neonatus menerima Ig A
dari kolostrum. Juga dapat diinduksi secara buatan dengan serum imun untuk
mencegah atau mengobati infeksi atau menetralkan toksin. Kekurangan utamanya
adalah imunitas pasif memiliki umur yang singkat dan dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas, terutama apabila berasal dari sumber bukan manusia (Guyton,
2007).
B. ANTIBODI
Antibodi
adalah imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk sel plasma
(proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi yang
terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis.
Macam-macam antibodi yaitu:
1.
IgG
IgG
merupakan komponen utama terbanyak imunoglobulin serum, dengan berat molekul
160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/ml merupakan 75% dari semua
Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai carian lain antaranya cairan saraf
sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke janin dan
berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan
komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi
inflamasi.
2.
IgA
IgA
ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan
sekresi, saliran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah
dan kolostrum lebih tinggi sabagai IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum
maupun sekresi dapat menetralisir toksin atau virus dan atau mencegah kontak
antara toksin/virus dengan alat sasaran.
3.
IgM
IgM
mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B
mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling
dulu pada respon imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar
IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan
hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus
plasenta. Fetus yang berumur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya
dirangsang oleh infeksi intrauterin.
4.
IgD
IgD
ditemukan dengan kadar yang rendah dalam darah . IgD tidak mengikat komplemen,
mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen
seperti kompleks nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan
sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B.
5.
IgE
IgE
ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikiat
mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang pada permukaannya
memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel
plasma dalam selaput lendir saluran nafas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi
ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid,
trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas
parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin. (Kindt T.J., et al,. 2007)
C. DEFINISI REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang
patologik oleh karena respons imun yang berlebihan sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan (Sherwood, Lauralee, 2001)
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah
perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas hospes yang diperantarai oleh
mekanisme imunologis dan menyebabkan respons fisiologis yang tidak
menguntungkan (Abbas, 2000).
Secara
klasik, istilah alergi yang diciptakan oleh Von Pirquet, disebut keadaan
reaktivitas yang diubah. Modifikasi selanjutnya dari arti istilah tersebut
telah menyamakan alergi dengan hipersensitivitas, yaitu reaksi terhadap bahan
asing yang berakhir dengan akibat yang merusak.
Hipersensitivitas sebagai respons atau reaksi imun yang berlebihan atau
tidak terkontrol (Kresno, Siti Boedina, 2001).
Sedangkan Dorland (2002) mendefinisikannya sebagai keadaan perubahan
reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respons imun berlebihan atau tidak tepat
terhadap suatu benda asing..
D. PENGGOLONGAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Berdasarkan
mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, secara umum Gell dan Comb membagi reaksi hipersensitivitas menjadi empat
golongan, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV. Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme
patologik utama yang bertanggung jawab atas kerusakan sel atau jaringan. Reaksi tipe I, II, dan III terjadi karena
interaksi antara antiogen dengan antibodi sehingga termasuk reaksi humoral,
sedangkan reaksi tipe IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan
reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit T dan mengaktifkan limfosit T
sehingga termasuk reaksi seluler.
Jenis
Hipersensitivitas
|
Mekanisme
Imun Patologik
|
Mekanisme
Kerusakan Jaringan dan Penyakit
|
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
|
IgE
|
Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif, mediator
lipid, dan sitokin)
|
Tipe II
Reaksi melalui antibody
|
IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraseluler
|
Opsonisasi & fagositosis sel
Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas pengaruh
komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor
hormone)
|
Tipe III
Kompleks imun
|
Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)
|
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen
dan Fc-R
|
Tipe IV (melalui sel T)
Tipe IVa
Tipe IVb
|
|
1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas
pengaruh sitokin
2. Membunuh sel sasaran direk,
inflamasi atas pengaruh sitokin
|
(Baratawidjaja,
2006).
1. TIPE I : REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE SEGERA
Reaksi hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat, reaksi
anafilaksis, atau reaksi alergi, dikenal sebagai reaksi yang segera timbul
setelah alergen masuk ke dalam tubuh setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat
terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein
heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay)
(Brooks, et al., 2005). Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1.
Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
(Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2.
Fase Aktivasi, yaitu waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast
melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3.
Fase Efektor, yaitu waktu terjadi
respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas
sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat
dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke
sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap
semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang
disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop
yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor
IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada
makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan
bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan
dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine,
prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus,
kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari
hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai
sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan
Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I
disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator,
yaitu sel basofil dan mastosit.
1)
Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.
Histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan
pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan
kontraksi otot polos.
Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A
(eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan
NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.
2)
Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari
molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam
enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.
Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan
bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi
radang dan mengubah tonus pembuluh darah.
Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan
menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya
dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya
pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.
3)
Mediator jenis ketiga
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang
mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab,
et.al, 2002)
Salah satu
mekanisme efektor sistem imun yang paling kuat adalah reaksi yang terjadi
akibat stimulasi mastosit jaringan dan basofil yang diperantarai IgE. Antigen yang masuk tubuh akan
ditangkap oleh fagosit, diproses lalu dipresentasikan ke sel Th2 yang kemudian
melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan didikat
oleh sel yang memiliki reseptor untuk Ig E (Fce-R) seperti sel mast, basofil,
dan eosinofil. Bila antigen,
khususnya alergen, berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat
pada permukaan mastosit atau basofil, maka hal itu dapat menyebabkan
dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit dan basofil yang secara kolektif
mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
polos bronkus dan saluran cerna serta inflamasi lokal.
Penyakit alergi
memanifestasikan ketidakseimbangan terutama melalui tiga organ sasaran traktus
gastrointestinal, kulit, dan traktus respiratorius. Sifat-sifat umum dari ketiga sasaran ini
adalah terpaparnya terhadap lingkungan luar, yang menyedaiakan jalan masuk umum
untuk agen eksogen. Jalan dan jenis
antigen yang paling umum adalah sebagai berikut :
Jalan
|
Contoh antigen
|
Mekanisme
|
Manifestasi
penyakit
|
1. Ingestian
|
Makanan
Obat-obatan
|
Tipe I
Tipe I, II, III
|
Alergi gastrointestinal
Urtikaria,peny. serum,dll
|
2.
Inhalan
|
Tepungsari, debu, jamur
|
Tipe I, III
|
Asma bronkiale, rinitis alergika, dll
|
3.
Injektan
|
Obat-obatan
Sengatan lebah
Vaksin
Serum
|
Tipe I, II, III
Tipe I
Tipe III
Tipe I
|
Reaksi obat cepat
Anafilaksis
Arthus lokal
Anafilaksis
|
4.
Kontakan
|
Racun ivy
|
Tipe IV
|
Dermatitis kontak
|
Urutan khas
dari proses yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe I adalah:
(1) Produksi IgE oleh sel B sebagai respon
terhadap antigen paparan pertama,
(2) Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang
terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil,
(3) Interaksi antara antigen paparan kedua
dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan
(4) Aktivasi sel bersangkutan dan pelepasan
berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut. Manifestasi klinik dan keadaan patologik
reaksi hipersensitivitas disebabkan aksi-aksi mediator tersebut.
Beberapa mediator peradangan :
Mediator
|
Sifat kimia
|
Aktifitas biologis
|
Histamin
|
Amino
sederhana, BM 11
|
Meningkatkan permeabilitas, sensasi gatal,
aktivitas mukosa, kontarksi otot polos.
|
Prostlagandin
|
BM 352
|
Kontraksi otot polos, meningkatkan pelepasan
mediator oleh basofil
|
PAF
|
Fosfolipid
|
Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot
polos, menarik netrofil.
|
Leukotrien
|
Lipid
asam
|
Spasme otot polos, permeabilitas venula
|
Heparin
|
Peptida
pembawa gula amino dan sulfat
|
Antikoagulan, modulasi mediator lain.
|
ECF-A
|
Tetrapeptida
asam
|
Menarik netrofil
|
NCF-A
|
Protein
besar
|
Sebabkan migrasi netrofil
|
Kalikrein basofil
|
Tidak ditentukan
|
Menyebabkan pembentukan bradikinin
|
Jadi, bila tubuh terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang
masuk tubuh akan diikat IgE spesifik pada permukaan sel mast yang
menimbulkan degranulasi yang mengeluarkan berbagai mediator antara lain
histamin dan menimbulkan gejala alergi.
Contoh penyakit yang timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen
adalah asma bronkial, allergic rinitis (hay fever), urtikaria, dermatitis
atopik, alergi pada penicillin, gigitan
serangga, jamur, dll, allergic conjunctivitis,
anafilaktik, angioedema, dan
cephalosporin
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2007).
2. TIPE II : REAKSI SITOTOKSIS DENGAN BANTUAN
ANTIBODI
Reaksi
hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi dapat terjadi
karena dibentuk antibodi IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan dan
mengaktifkan komplemen yan gmenimbulkan lisis. Lisis dapat pula terjadi setelah
sensitisasi sel NK sebagai efektor ADCC.
Pada
hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel
atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor
untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel,
antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen, dengan
konsekuensi :
1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang
dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat
tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi
molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain.
2. Aktivasi jalur klasik komplemen
mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar