Senin, 23 Januari 2012

Skenario 3 Blok Infeksi & Penyakit Tropis

I.        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
     Penyakit tropis dan infeksi adalah bagian dari sekian banyak penyakit yang memiliki jumlah kasus cukup tinggi terutama di daerah tropis maupun subtropis. Perkembangan penyakit tropis dan infeksi berjalan dengan sangat cepat. Dasar-dasar ilmu penyakit perlu dikuasai oleh seorang dokter untuk dapat menegakkan diagnosis. Penelitian saat ini semakin mengarah pada level subsel, termasuk agen-agen yang menjadi penyebab dari penyakit. Pada blok penyakit tropis dan infeksi ini, kita sebagai mahasiswa kedokteran perlu mengetahui tentang berbagai macam agen infeksius termasuk asal, jalur infeksi, patofisiologi, dan  patogenesis agen tersebut hingga menimbulkan manifestasi klinis.
    Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis sehingga jumlah kasus penyakit tropis dan infeksi di Indonesia cukup tinggi. Oleh karena itu, sebagai seorang dokter, pengetahuan tentang penyakit infeksi sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis sehingga terapi yang tepat bisa diberikan. Skenario merupakan suatu trigger bagi mahasiswa untuk mencapai hal tersebut. Melalui penulisan laporan ini, penulis hendak memaparkan secara singkat tentang beberapa penyakit tropis dan infeksi yang mungkin dialami oleh pasien dalam skenario.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah seluk beluk dari agen infeksius yang berkaitan dengan skenario (daur hidup, habitat, morfologi, serta karakteristik?
2.    Bagaimanakah mekanisme dari gejala yang timbul pada pasien?
3.    Bagaimanakah agen infeksius dalam menginfeksi tubuh manusia?
4.    Bagaimanakah hubungan antara gejala yang timbul dengan hasil pemeriksaan laboratorium dalam hal untuk mendiagnosis pasien?
5.    Bagaimanakah penatalaksanaan, pencegahan, follow up dari penderita pada skenario tersebut?

C.    Tujuan dan Manfaat Pembelajaran
1.    Mahasiswa mampu menjelaskan bermacam-macam agen infeksius yang dapat menginfeksi manusia, dalam hal morfologi, sifat karakteristik, daur hidup dan habitatnya.
2.    Menjelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan daerah tertentu.
3.    Menjelaskan jalur masuk agen infeksius ke dalam tubuh manusia.
4.    Menjelaskan patofisiologis dan pathogenesis dari penyakit mulai dari masuknya agen infeksius sampai dengan munculnya gejala klinis.
5.    Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi oleh karena penyakit berjalan lanjut.
6.    Menjelaskan cara-cara penegakan diagnosis penyakit melalui pengenalan gejala klinik serta pemeriksaan penunjang serta prognosis dari diagnosis tersebut.
7.    Menjelaskan penatalaksanaan dari penyakit infeksi (cara pencegahan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi serta follow up).

II.    TINJAUAN PUSTAKA   
A.        Diare
    Diare adalah buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah padat, kandungan air pada tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200ml/24 jam (Dorland, 2002). Definisi lain memakai frekuensi dalam mendefinisikan yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari dan buang air tersebut dapat/tanpa disertai lendir atau darah (Pohan, 2006).
Pada umumnya, diare akut disebabkan oleh infeksi atau toksin bakteri. Etiologi dari diare akut antara lain virus, protozoa (Giardia lamblia, E. hystolitica), bakteri (S. aureus, C. perfringens, E. coli, V. cholera, C. difficile, Shigella, Salmonella sp, Yersinia), iskemia intestinal, inflammatory bowel disease, dan kolitis radiasi. Diare yang terjadi tanpa kerusakan mukosa usus (non-inflammatory) dan disebabkan oleh toksin bakteri (terutama E. coli) biasanya mempunyai gejala diare dengan feses benar-benar cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan terutama daerah usus halus), kembung, mual, dan muntah. Diare dalam bentuk bercampur darah, lendir, dan disertai demam biasanya disebabkan oleh kerusakan mukosa ususyang ditimbulkan oleh invasi Shigella, Salmonella, atau amebiasis. Daerah yang terkena adalah kolon. Umumnya, diare akut dapat sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi. (Djojoningrat, 2006)
Etiologi diare kronik dapat dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya, yaitu diare osmotik (disebabkan oleh osmolalitas intralumen usus yang lebih tinggi dari dalam serum), diare sekretorik (disebabkan oleh sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorbsi yang menyebabkan diare yang cair dan banyak), diare karena gangguan motilitas (disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya stasis yang menimbulkan perkembangan bakteri intralumen yang berlebihan), diare inflamatorik (disebabkan oleh faktor inflamasi seperti inflammatory bowel disease), malabsorbsi, dan infeksi kronik (oleh G. lamblia, E. hystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immunocompromized). Diare osmotik terjadi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (laktulosa, magnesium sulfat), dan obat (antasid). Diare sekretorik pada umumnya disebabkan oleh tumor endokrin, malabsorbsi garam empedu, dan laksatif katartik. Malabsorbsi dapat terjadi akibat penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (Djojoningrat, 2006).

   
B.        Kemungkinan Agen Infeksius
Ancylostoma duodenale, Necator americanus
    Penyakit ini disebabkan oleh cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Penyebab tersering yang ditemukan di Indonesia ialah cacing Necator americanus. Cacing tersebut terutama ditemukan di daerah yang mempunyai tanah lembab dan teduh seperti dalam tambang-tambang atau perkebunan. Penyakit cacing tambang merupakan penyakit yang endemik di Indonesia dan banyak ditemukan pada orang dengan keadaan sosio-ekonomi yang rendah (Pohan, 2006).
    Telur cacing ditemukan pada feses orang yang terinfeksi. Telur yang jatuh di tempat yang lembab, hangat, dan basah akan menetas dan menjadi larva infektif yang dapat memasuki tubuh manusia dengan menembus kulit dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian larva memasuki saluran getah bening dan pembuluh darah untuk bersirkulasi ke jantung, paru, trakea, laring, dan akhirnya tertelan ke dalam usus halus melalui refleks batuk. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus (Pohan, 2006).
    Gejala klinis dan patologis penyakit cacing ini bergantung pada jumlah cacing yang menginfestasi usus dan keadaan gizi penderita. Paling sedikit diperlukan 500 cacing untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien dewasa. Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc/hari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34 cc/ hari. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing (Gandahusada, 2000). Kedua cacing tambang ini dapat menyebabkan anemia hipokrom mikrositik. Anemia ini umumnya berupa anemia defisiensi besi, tetapi kadang-kadang juga memperlihatkan tanda-tanda anemia megaloblastik. Rasa gatal di kaki, pruritus kulit (ground itch), dermatitis, dan kadang-kadang ruam makulopapula sampai vesikel merupakan gejala pertama yang dihubungkan dengan invasi larva cacing tambang ini. Selama berada di dalam paru-paru, larva dapat menyebabkan batuk darah yang disebabkan oleh pecahnya kapiler-kapiler dalam alveoli paru-paru dan berat ringannya keadaan ini bergantung pada banyaknya jumlah larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit. Rasa tak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), dan diare merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang 2 minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit (Pohan, 2006). Gejala lain yang bisa ditemukan ialah gejala umum seperti lemah atau lesu, pusing, dan nafsu makan berkurang. Pada keadaan yang berat dan lama, dapat terjadi retardasi fisis maupun mental. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing tambang dalam tinja pasien. Eosinofilia akan terlihat jelas pada bulan pertama infeksi cacing ini (Gandahusada, 2000).

Strongyloides stercoralis
    Strongiloidiasis adalah infeksi cacing, umumnya tanpa gejala yang menyerang duodenum dan bagian atas jejunum. Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Gejala lain yaitu batuk, ronki, kadang-kadang pneumonitis jika larva masuk ke paru-paru; atau muncul gejala-gejala abdomen yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada mukosa usus (Jawetz, 2005).. Gejala infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa ringan dan bisa juga berat. Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria; kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, lemah dan konstipasi.
    Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh (Pohan, 2006). Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat menyebabkan terjadinya strongyloidiasis diseminata, terjadi penurunan berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian (Gandahusada, 2000). Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada stadium kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedangkan pada strongyloidiasis disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun.
    Diagnosa dibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen tinja segar atau dengan metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau kadang-kadang larva ditemukan pada sputum. Pemeriksaan ulang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa lin. Tinja yang disimpan dalam suhu kamar 24 jam atau lebih, ditemukan parasit yang berkembang dalam berbagai stadium, larva stadium rhabditiform (non infeksius), larva filaform (infektif). Larva filaform ini harus dibedakan dengan larva cacing tambang dan dengan cacing dewasa. Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan pemeriksaan serologis seperti EIA, dengan menggunakan antigen berbagai stadium, biasanya memberikan hasil positif sekitar 80%-85% (Gandahusada, 2000).

Entamoeba hystolica
    Entamoeba hystolitica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar manusia, primata lainnya dan binatang lainnya. Ditemukan dalam 3 stadium yaitu: ameba aktif, kista tidak aktif, dan prekista perantara. Trofozoit ameba adalah satu-satunya yang dapat ditemukan dalam jaringan dan ditemukan pula pada tinja manusia pada saat disentri ameba. Ukurannya 15-30 µm. Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel darah merah (patognomonik) tetapi bisanya tidak mengandung bakteri. Kista hanya terdapat pada lumen kolon dan dalam tinja cair atau padat. Diagnosis pada sebagian besar kasus didasarkan pada sifat kista, karena trofozoit hanya tampak pada tinja diare pada kasus aktif dan hanya hidup dalam beberapa jam (Jawetz, 2005)..
    Penyakit timbul bila trofozoit menyerang epitel usus. Invasi selaput lendir oleh ameba dengan bantuan enzim proteolitik terjadi melalui kripti Liberkuhn, membentuk tukak yang tersebar dengan bagian tengah yang sebesar kepala jarum, dari tukak tersebut berlendir dan berdarah. Penyembuhan dapat terjadi spontan disertai sedikit erosi jaringan bila regenerasi berlangsung lebih cepat dari pada perusakan, atau trofozoit ameba dapat menerobos melalui muskularis ke dalam submukosa. Gejala-gejala sanagt berlangsung pada tempat dan intensitas lesi (Jawetz, 2005)..

Aeronema sp.
    Spesies Aeromonas merupakan bakteri gram negatifyang hidup bebas di air segar dan kadang-kadang pada reptil, amfibi, ikan, tanah, atua makanan. Spesies ini menyebabkan diare dan kadang-kadang menginfeksi luka yang terkena air segar atau menginfeksi penderita yang fungsi imunnya terganggu dan jarang menyebabkan infeksi non-intestinal. Aeromonas hydrophilia adalah spesies yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia. Morfologi koloninya mirip dengan koloni batang enterik gram negative dan bakteri ini menyebabkan hemolisis yang luas pada agar darah. Tanda-tanda klinis yang terdapat pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah timbulnya hemoragik pada kulit, lesi pada kulit, dan rongga mulut, serta pembesaran hati dan ginjal. Ciri dari bakteri ini Aeromonas sp. adalah menghasilkan enterotoksin, hemolisin, dan sitotoksin (Jawetz, 2005)..

Rotavirus
    Rotavirus adalah penyebab utama penyakit diare pada penyakit bayi dan hewan muda, termasuk anak sapi dan anak babi. Infeksi pada manusia dewasa dan hewan juga biasa dijumpai. Rotavirus memliki antigen-antigen biasa yang berada pada kapsid sebelah dalam. Antigen-antigen ini dapat dideteksi dengan immunofluoresensi, ikatan komplemen, dan ELISA (Jawetz, 2005).. Rotavirus menginfeksi sel-sel dalam vili usus halus. Virus-virus itu berkembang baik dalam sitoplasma enterosit dan merusak mekanisme transportnya. Sel yang rusak dapat masuk ke dalam lumen usus danmelepaskan sejumlah besar virus yang kemudian terdapat dalam tinja. Diare yang disebabkan oleh rotavirus mungkin akibat gangguan penyerapan natrium dan absorbsi glukosa karena sel yang rusak pada vili digantikan oleh sel kriptus belum matang yang tidak menyerap. Dibutuhkan setidaknya 3 sampai 8 minggu untuk perbaikan fungsi normal. Symptom yang khas adalah diare, demam, nyeri perut, muntah, sehingga terjadi dehidrasi (Jawetz, 2005).

Ascaris lumbricoides
    Penyakit ini disebabkan oleh infestasi cacing Ascaris lumbricoides atau cacing gelang.  Ascaris lumbricoides adalah cacing bulat yang besar dan hidup dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab dengan sanitasi buruk. Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi terutama pada anak. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah dan sekitarnya (Gandahusada, 2000).
    Menelan telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi (bersama makanan yang terkontaminasi). Dalam duodenum larva ke luar, menembus dinding duodenum, masuk dalam kapiler darah dan bergerak ke jantung, alveolus paru, bronkus, faring, dan kemudian tertelan kembali masuk ke saluran pencernaan, akhirnya menetap di usus halus, tempat cacing menjadi dewasa. Lamanya siklus 60-75 hari.
    Gejala klinis yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Adanya larva dalam tubuh akan menimbulkan gambaran infiltrate pada foto toraks yang akan menghilang dalam 3 minggu, dikenal sebagai sindrom Loeffler.  Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler atau dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan perdarahan, penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan konsolidasi paru dengan gejala panas, batuk, batuk darah, sesak nafas, dan pneumonitis Askaris (Pohan, 2006). Larva cacing ini dapat menyebar dan menyerang organ lain seperti otak, ginjal, mata, sumsum tulang belakang, dan kulit. Dalam jumlah yang sedikit cacing dewasa tidak akan menimbulkan gejala (Gandahusada, 2000). Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi. Bila infestasi tersebut berat dapat menyebabkan cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Cacing dewasa dapat juga menyebabkan gangguan nutrisi terutama pada anak-anak. Cacing ini dapat mengadakan sumbatan pada saluran empedu, saluran pancreas, divertikel dan usus buntu. Selain hal tersebut diatas, cacing ini juga dapat menyebabkan alergik seperti urtikaria, gatal-gatal, dan eosinofilia. Cacing dewasa dapat keluar melalui mulut dengan perantaraan batuk, muntah, atau langsung keluar melalui hidung. Gejala klinis yang nyata biasanya nyeri perut, berupa kolik di daerah pusat atau epigastrium, perut buncit (pot belly), rasa mual, dan kadang-kadang muntah, cengeng, anoreksia, susah tidur, dan diare (Gandahusada, 2000).

III.    PEMBAHASAN
        Seorang pria, petani, berusia 43 tahun, datang dengan keluhan sakit perut dan diare lendir, kadang berdarah, selama + 1 bulan. Pasien juga mengeluh cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang dan dada berdebar-debar, serta kadang tubuh merasa gatal. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tepi mulut pecah-pecah dan konjungtiva pucat. Nyeri tekan lepas daerah Mc Burney (-). Dari auskultasi, didapatkan takikardia, bising sistolik, dan ronki basah basal paru. Kondisi rumah pasien berlantai tanah, sumber air minum (sumur) berjarak 2 meter dari jumbleng atau sumuran terbuka (tempat BAB tradisional). Beberapa tetangganya juga memiliki keluhan yang sama (diare). Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia berat dan eosinofilia. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja, didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri.
        Mekanisme penyerapan cairan pada usus adalah sebagai berikut air akan melalui membrane usus dengan difusi lalu akan diabsorbsi ke villi melalui osmosis, chymus yang masih mengandung zat-zat yang masih dapat diserap pada waktu diserap tekanan osmotik dalam chymus menurun, nutrient-nutrient, ion-ion, dan air akan berdifus ke membrane usus lalu masuk ke darah. Usus besar akan berfungsi sebagai absorbsi (pada bagian proksimal) dan penyimpanan. Pada usus besar akan terjadi pula peningkatan absorbsi Na yang dibantu oleh aldosteron, bikarbonat keluar, Na masuk, lalu air diserap di dinding usus besar karena ikatan epitel pada usus besar lebih ketat maka air tidak akan bisa kembali ke lumen usus (Guyton, 1997).  
        Sedangkan mekanisme pertahanan tubuh sekaligus mekanisme terjadinya diare adalah sebagai berikut. Bakteri atau parsit lainnya yang masuk ke usus akan melakukan kolonisasi dan menginvasi ke epitel sehingga menyebabkan epitel menjadi inflamasi. Inflamasi pun mengeluarkan zat-zat mediator inflamasi. IL-8 sebagai salah satu mediator inflamasi menarik fagosit ke lamina propia sehingga membunuh epitel yang telah diinvasi oleh bakteri, lalu terjadilah pembentukan abses kripta dan mensekresi prostaglandin. Adanya prostaglandin akan merangsang sekresi mukosa usus dan akhirnya feses yang keluar pada saat yang bersamaan dengan adanya infeksi dari parasit menjadi feses berlendir dan berdarah. Mekanisme lainnya yang terjadi adalah parasit masuk dan langsung merusak dan membunuh enterosit sehingga terjadi inflamasi. Adanya inflamasi akan memproduksi IgE lalu IgE ke sel mast dan memproduksi histamine sehingga merangsang kontraksi usus untuk mengeluarkan cacing. Adanya kontraksi tersebut menyebabkan usus mengalami ulserasi sehingga feses menjadi berlendir dan berdarah. Adanya agen asing dalam usus akan meningkatkan proses imun tubuh selain yang telah dijelaskan diatas yaitu eosinofil yang bekerja pada saat tubuh terpapar agen asing. Hal ini dapat dibuktikan dari pemeriksaan yang menunjukan eosinofilia.
    Setiap parasit selain akan diserang oleh sistem pertahanan tubuh ternyata tiap paresit mempunyai pertahanan tubuhnya sendiri untuk menghindari serangan dari pertahanan tubuh. Mekanisme pertahanan parasit secara umum yaitu:
1.    Beberapa jenis protozoa (contohnya: plasmodium dan toxoplasma) dapat hidup dan berkembang dalam sel, selain itu misalnya Entamoeba sp. membentuk kista yang dapat bertahan terhadap reaksi imunologik.
2.    Melapisi permukaan antigen dengan protein penjamu sehingga dianggap self oleh penjamu.
3.    Merubah susunan biokimiawi permukaannya sehingga mencegah aktivasi komplemen dan lisis oleh komplemen, atau mengekspresikan ectoenzym yang merombak antibodi yang terikat sehingga mencegah terjadinya ADCC.
4.    Merubah antigen permukaan beberapa kali selama siklus hidupnya.
5.    Melepaskan lapisan permukaan secara spontan atau setelah pengikatan dengan antibodi.
6.    Parasit akan memproduksi telur berlebih.
7.    Parasit akan hidup dalam sel host serta akan menyerupai hidup menyerupai sel host.
8.    Parasit akan mencoba bermigrasi sebagai usaha melarikan diri terhadap antibodi.
    Diare dapat menyebabkan sejumlah besar Na, K, dan air dikeluarkan kolon dan usus halus dalam cairan diare sehingga menyebabkan dehidrasi, hipovolemik, sampai syok serta kolaps kardiovaskuler (Ganong, 1990). Terjadinya penurunan volume cairan, hipovolemia, mengganggu curah jantung dengan mengurangi aliran balik vena jantung.
        Tekanan arteri rata-rata = curah jantung x tekanan perifer total
Menurut rumus tersebut terjadinya penurunan curah jantung menyebabkan menurunnya tekanan darah (hipotensi). Penurunan tekanan darah yang terjadi di jantung dan arteri karotis lalu diteruskan ke pusat vasomotor di batang otak yang kemudian menginduksi respon simpatis berupa vasokontriksi perifer, peningkatan frekuensi denyut (takikardi), dan kontraktilitas, serta dada berdebar-debar. Selain itu takikardi dapat disebabkan karena jantung berupaya mempertahankan perfusi jaringan. Adanya penurunan volume cairan tubuh juga dapat menyebabkan turgor jaringan dan mukosa menjadi tidak stabil dan menurun sehingga membran mukosa menjadi kering dan pecah-pecah di mulut.
    Ronki adalah bunyi akibat turbulensi udara di sekitar mukus/debris daerah lain. Ronki tersebut bisa terjadi di alveolus yang mengindikasikan bahwa ada cairan dalam ruangan tersebut (Ronki basah basal paru). Apabila di apex terindikasi TBC, sedangkan bila di basal terindikasi bahwa terdapat akumulasi cairan dan sel-sel radang. Pemeriksaannya dengan cara pasien ekspirasi sampai pasien batuk setelah itu pasien inspirasi dan didengarkan oleh stetoskop. Ronki basal tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat potensi gagal jantung.
    Manifestasi tanda dan gejala yang sering terlihat selain feses berlendir dan berdarah adalah pasien yang anemis. Anemia pada pasien dapat disebabkan oleh bebeapa sebab yaitu: parasit yang masuk ke dalam pasien memakan/meminum darah pada usus (contoh: Ancylostoma duodenale, Ascaris lumbricoides), kemungkinan yang lain adalah akibat banyaknya darah yang keluar ketika defekasi, hal tersebut juga dapat menyebabkan keadaan anemis pada pasien tersebut. Anemia berat yang terdapat dalam kasus dapat menyebabkan bermacam-macam sign and symptom yang berkaitan seperti bising sistolik, pecah-pecah di mulut, konjungtiva yang pucat, mata berkunang, dan sebagainya.
    Kemungkinan agen infeksius menginfeksi sehingga menyebabkan feses yang berlendir dan berdarah adalah Ancylostoma duodenale, Ascaris lumbricoides dan Strongyloides stercoralis. Ancylostoma duodenale mempunyai mulut yang dapat mengikat/mengigit mukosa usus yang digunakannya untuk pross makan, akan tetapi dia selain menghisap darah cacing tersebut juga dapat menyebabkan ulserasi pada jaringan usus sehingga dapat menimbulkan feses berdarah dan berlendir sehingga yang pada saatnya nanti akan bermanifestasi pada anemia. Selain itu Ancylostoma juga dapat menimbulkan gatal-gatal pada kulit khususnya tempat dia masuk dalam tubuh manusia yaitu bagian telapak kaki. Ancylostoma, Ascaris, dan Strongyloides adalah kemungkinan terbesar agen infeksius karena jika dilihat pada kasus bahwa lingkungan tempat bapak tersebut tinggal adalah habitat yang cocok untuk ketiga cacing tersebut. Pada kasus juga terdapat bahwa terdapat tetangga yang mempunyai tanda dan gejala yang sama, hal ini berkaitan dengan penyebaran dari cacing tersebut yang melalui tanah dan feses yang terinfeksi oleh telur dari cacing tersebut Selain itu daur hidup dari Ancylostoma dan Ascaris serta Strongyloides yang pada saat larva dapat mengikuti aliran darah dan cairan limfe sehingga dapat meyebar ke bagian tubuh lain seperti paru-paru, jantung, atau bahkan otak. Penyebaran dalam tubuh manusia tersebut dapat bermanifestasi anemia, ronki basah basal paru, dan lain sebagainya.
    Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk memutuskan penatalaksanaan yang tepat yang akan diberikan kepada pasien. Sedangkan Gold Standard dari pemeriksaan adalah ditemukannya agen infeksius yang menginfeksi pasien. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah complete blood count, kultur darah dan tinja. Upaya penatalaksanaan anemia sebaiknya berupa pengobatan kausatif. Untuk kasus dalam skenario, berikan antelmintik untuk cacing tambang seperti albendazol, mebendazol, tetrakloretilen, befanium hidroksinaftat, pirantel pamoat, atau heksilresorsinol. Selain itu, perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik. Suplemen preparat besi mungkin diperlukan jika anemia cukup berat. Jika ternyata juga ditemukan E. hystolitica, maka diperlukan kombinasi obat amebisid karena hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif dalam dinding, lumen, maupun di luar usus. Pengobatan disesuaikan dengan derajat amebiasis yang dialami.   
   
   

   
IV.    KESIMPULAN
1.    Berdasarkan skenario yang telah ada dan diskusi yang telah dilakukan, pasien tersebut belum dapat disimpulkan (didiagnosis) secara pasti karena hasil dari kultur darah dan urine masih menunggu konfirmasi.
2.    Sanitasi lingkungan sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kuman dan parasit.
3.    Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien hanya penatalaksanaan yang bersifat kausatif, serta penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.

V.        SARAN
1.    Pencegahan sangat diperlukan karena semakin cepat mengetahui diagnosis semakin cepat pasien tersebut dapat diberikan penatalaksanaan yang tepat yang nantinya akan mengarah kepada prognosis yang baik.
2.    Pemeliharaan kesehatan lingkungan dan diri sendiri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjaga dan mencegah terserangnya suatu penyakit.

DAFTAR PUSTAKA



Djojoningrat, Dharmika. 2006. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Pp: 285-289.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Fauzi, Ahcmad., Simadibrata, Marcellus. 2006. Penyakit Tropik Infeksi Gastrointestinal, dalam Buku Ajar     Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Pp: 391-395.
Gandahusada, Srisasi. 2000. Parasitologi Kedokteran Edisi III. Jakarta : Gaya Baru.
Guyton, Arthur C., et al. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC.
Jawetz,et al. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba medika.
Mansjoer, Arif., et al.  2001. Kapita Selekta kedokteran jilid 1 edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.     Pp: 416-421, 500-504.
Pohan, Herdiman. T. 2006. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Pp: 1764

Tidak ada komentar:

Posting Komentar