Selasa, 15 Januari 2013

Skenario 1 Blok Urogenitalia



PENDAHULUAN

TAKUT CUCI DARAH
            Lima hari yang lalu Joni (25 th) datang ke RSDM karena tidak bisa buang air kecil. Sebelumnya setiap buang air kecil pancaran  urin kecil sejak 1 bulan terakhir dan harus mengejan. Oleh dokter dicoba dipasang kateter urin per uretra, tapi tidak berhasil, dan pasien menolak untuk dilakukan pemasangan kateter suprapubik. Oleh dokter di IGD diduga ada sumbatan pada saluran kencing dan  kemungkinan harus di operasi. Pasien menjadi takut dan memilih untuk pulang paksa.
            Setelah dua hari berada di rumah Joni menjadi lemas, dan muntah-muntah. Karenba gejala tidak menghilang dan bertambah berat, Joni dibawa keluarganya ke RSDM lagi. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, dokter menyarankan Joni untuk menjalani operasi, tapi sebelumnya Joni harus cuci darah.
            Keluarga Joni, sebetulnya tidak setuju bila Joni harus menjalani cuci darah. Mereka khawatir Joni akan “kecanduan cuci darah”. Hal yang mendasari pemikiran keluarga adalah kejadian yang menimpa tetangga mereka yang bernama pak Darno. Pak Darno memang telah mengidap penyakit infeksi ginjal selama bertahun-tahun dan menjalani cuci darah rutin 2 X seminggu dengan pertimbangan hasil perhitungan CCT kurang dari 10cc/menit.
Akan tetapi dokter yang merawat Joni menjelaskan, bahwa apa yang dialami Joni dan pak Darno berbada. Menurut dokter, jika dilakukan operasi dan cuci darah kemungkinan fungsi ginjal Joni akan mengalami perbaikan.
A.    Rumusan Masalah
1      Bagaiman Anatomi dan Histologi sistem Uropoetika?
2      Bagaimana mekanisme pembentukan urin?
3      Apa saja macam-macam infeksi di sistema Uropoetika?
4      Apa saja macam-macam dan indikasi kateterisasi?
5      Bagaimana cara kerja teknik cuci darah beserta indikasinya?
6      Apa saja macam-macam batu dalam sistema uropoetika?
7      Pemeriksaan fisik apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis?
8      Pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis?
B.     Tujuan Penulisan
1      Untuk mengetahui Anatomi dan Histologi sistem Uropoetika.
2      Untuk mengetahui mekanisme pembentukan urin.
3      Untuk mengetahui macam-macam infeksi di sistema Uropoetika.
4      Untuk mengetahui macam-macam dan indikasi kateterisasi.
5      Untuk mengetahui cara kerja teknik cuci darah beserta indikasinya.
6      Untuk mengetahui macam-macam batu dalam sistema uropoetika.
7      Untuk mengetahui pemeriksaan fisik apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
8      Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.

C.    Manfaat Penulisan
1.      Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami Anatomi dan Histologi sistem Uropoetika.
2.      Mahasiswa dapat menjelaskan mekanisme pembentukan urin.
3.    Mahasiswa mampu mengetahui macam-macam infeksi di sistema Uropoetika.
4.    Mahasiswa dapat mengerti dan memahami macam-macam dan indikasi kateterisasi.
5.    Mahasiswa dapat mengetahui cara kerja teknik cuci darah beserta indikasinya.
6.    Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam batu dalam sistema uropoetika.
7.    Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan fisik apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
8.    Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
 
 BAB II
STUDI PUSTAKA


ANATOMI SISTEM UROPOETIKA
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk  seperti kacang, terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

  • Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
  • Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
  • Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
  • Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
  • Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
  • Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
  • Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
  • Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
  • Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter.
  • Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik urine setelah memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.
Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan saraf.

Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik.
Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars membranosa dan pars spongiosa.
  • Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
  • Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.
  • Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter (somatis).
  • Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang, membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.
Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

HISTOLOGI SISTEM UROPOETIKA
A.      GINJAL
Ginjal dibagi atas daerah luar yaitu korteks dan daerah dalam yaitu medulla. Korteks ditutup oleh simpai jaringan ikat dan jaringan ikat perirenal dan jaringan lemak. Di dalam korteks terdapat tubuli kontortus, glomeruli, tubuli lurus dan berkas medulla. Korteks juga mengandung korpuskulum renal, tubuli kontortus proksimal dan distal nefron di dekatnya, arteri interlobular dan vena interlobular. Berkas medular mengandung bagian-bagian lurus nefron dan duktus koligens. Berkas medulla tidak meluas ke dalam kapsul ginjal karena ada zona sempit tubuli kontorti. (Eroschenko, 2003)
Medula dibentuk oleh sejumlah pyramid renal. Dasar setiap pyramid menghadap ke korteks dan apeksnya mengarah ke dalam. Apeks pyramid renal membentuk papilla yang terujulur ke dalam kaliks minor. Medulla juga mengandung ansa henle dan duktus koligens. Duktus koligens bergabung di medulla membentuk duktus papilaris yang besar. (Eroschenko, 2003)
Papila biasanya ditutupi epitel selapis silindris. Saat epitel ini berlanjut ke didnding luar kaliks, epitel ini menjadi epitel epitel transisional. Di bawah epitel, terdapat selapis tipis jaringan ikat dan otot polos yang kemudian menyatu dengan jaringan ikat sinus renalis. (Eroschenko, 2003)

B.       URETER
Ureter yang tidak diregangkan memiliki lumen berkelok karena adanya lipatan memanjang. Dinding ureter terdiri atas mukosa, muskularis dan adventisia. Mukosa terdiri atas epitel transisional dan lamina propria lebar. Epitel transisional terdiri atas beberapa lapis sel, lapisan terluar ditandai sel-sel kuboid besar. Sel-sel intermediate berbentuk polyhedral karena sel di basal berbentuk kuboid atau silindris rendah. Permukaan basal epitel ini licin, tanpa lekukan papil-papil jaringan ikat. (Eroschenko, 2003)
Lamina propria terdiri atas jaringan ikat fibroelastis dengan fibroblast lebih padat di bawah epitel dibandingkan dengan fibroblast di dekat muskularis yang lebih longgar. Jaringan limfoid difus dan kadang-kadang limfonodus kecil mungkin terlihat di lamina propria. (Eroschenko, 2003)
Pada ureter bagian atas, muskularis terdiri atas lapisan otot polos longitudinal dalam dan sirkular luar. Lapisan-lapisan ini tidak selalu jelas. Lapisan longitudinal luar tambahan terdapat pada sepertiga ureter bagian bawah. Adventisia menyatu dengan jaringan ikat fibroelastis dan jaringan lemak di sekitarnya yang mengandung banyak aretri, venul dan saraf kecil. (Eroschenko, 2003)

C.       VESICA URINARIA
Lapisan otot polos dinding vesica urinaria serupa dengan lapisan otot di ureter, kecuali ketebalannya. Dinding vesica urinaria terdiri atas mukosa, muskularis dan serosa pada permukaan superior vesica urinaria. Permukaan inferiornya ditutupi adventisia yang menyatu dengan jaringan ikat struktur-struktur di dekatnya. (Eroschenko, 2003)
Mukosa vesica yang kosong tampak berlipat-lipat namun lipatan ini hilang sewaktu vesica diregangkan. Epitel transisional mengandung lebih banyak lapisan sel dan lamina propria lebih lebar daripada ynag di ureter. Jaringan ikat longgar di bagian lebih dalam megandung lebih banyak serat elastin. (Eroschenko, 2003)
Muskularisnya tebal dan ketiga lapisan dil bagian leher vesica tersusun dalam berkas yang saling beranastoosis dengan jaringan ikat longgar di antaranya. (Eroschenko, 2003) 


FISIOLOGI PEMBENTUKAN DAN PENGELUARAN URINE
Urin dibentuk dari hasil filtrasi glomerulus yang kemudian direabsorbsi di tubulus dan ditambah sekresi zat-zat oleh tubulus. Filtrasi zat yang terjadi di glomerulus berbeda-beda tergantung pada jenis zat btersebut. filtrasi sendiri dipengaruhi oleh kecepatan filtrasi glomerulus dan konsentrasi plasma (Guyton, 2008).
Filtrasi glomerulus secara relatif tidak selektif (artinya, semua hal yang terlarut dalam plasma akan difilttrasi kecuali protein plasma dan zat-zat yang terikat protein). Sedangkan reabsorbsi tulus sendiri bersifat sangat selektif. Beberapa zat seperti glukosa dan asam amino di reabsorbsi secara sempurna di tubulus, sehingga pada dasarnya, kecepatan ekskresi urin adalah nol. Banyak ion dalam plasma, seperti natrium, klorida, dan bikarbonat juga direabsorbsi, hanya saja kecepatan reabsorbsinya berbeda-beda tergantung dari kebutuhan tubuh. Sebaliknya, produk buangan seperti ureun dan kreatinin sulit direabsorbsi dari tubulus dan diekskresi dalam jumlah yang relatif besar.
Bila suatu zat akan direabsorbsi, pertama zat tersebut harus ditranspor (1) melintasi membran epitel tubulus ke dalam cairan interstisial ginjal dan kemudian (2) melalui membran kapiler peritubulus kembali ke dalam darah. Reabssorbsi sendiri meliputi serangkaian langlah transpor aktif atau pasif. Zat terlarut diangkut melewati sel (jalur transseluler) dengan cara difusi pasif atau transpor aktif, atau antara sel-sel (jalur paraseluler) dengan difusi. Air diangkut melalui sel dan antara sel-sel tubulus dengan osmosis. Pengangkutan air dan zat terlarut dari cairan interstisial masuk keb dalam kapiler peritubulus terjadi melalui ultrafiltrasi (aliran yang besar).
Transpor aktif adalah mendorong zat terlarut melawan gradien. Transpor aktif yang berhubungan langsung dengan sumber energi seperti hidrolisis ATP disebut transpor aktif primer. Sedangkan yang tidak berhubungan langsung dengan sumber energi disebut transpor aktif sekunder, sebagai contoh glukosa.
Reabsorbsi klorida, ureum, dan zat-zat terlarut lainnya melalui difusi pasif. Sedangkan air sendiri do reabsorbsi secara pasif melalui osmosis terutama menyertai reabsorpsi natrium.
Pada tubulus proksimal terjadi proses  reabsorbsi aktif dan pasif. Sel epitelnya yang bersifat sangat metabolik dan menpunyai sejumlah besar mitokondria mendukung proses transpor aktif yang kuat. Selain itu, terdapat banyak brush border pada sisi lumen (apikal) membran, dan juga labirin interseluler serta kanal basalis yang luas yang secara bersama-sama menghasilkan arean permukaan membran yang luas pada sisi lumen dan sisi basolateral dari epitel untuk mentranspor ion natrium dan zat-zat lain cepat. Pada tubulus proksimal terjadi reabsorbsi Na+, Cl- , HCO3-, K+, H2O, glukosa, dan asam amino. Sekresi juga terjadi pada tubulus ini, zat yang disekresi adalah H+, asam organik, basa.
Ansa henle terdiri dari segmen tipis dan segmen tebal. Pada segmen tipis ansa henle terjadi reabsorbsi air. Sedangkan pada segmen tebal ansa henle terjadi reabsorbsi Na+, Cl- , HCO3-, K+ , Ca+ + , dan Mg+ + . Pada segmen tipis ansa henle tidak terjadi sekresi zat, namun pada segmen tebal ansa henle terjadi sekresi H+ .
Segmen tebal asenden ansa henle berlanjut ke dalam tubulus distal. Bagian paling pertama dari tubulus distal membentuk bagian kompleks jukstaglomerulus yang menimbulkan kontrol umpan balik GFR dan aliran darah dalam nefron yang sama. Fungsi reabsorbsi tubulus distal sendiri sama dengan ansa henle segmen tebal.
Tubulus distal bagian akhir dan tubulus koligentes korikalis mempunyai ciri-ciri fungsional yang sama. Namun mempunyai tipe sel yang berbeda, sel-sel prinsipalis dan sel-sel interkalatus. Sel-sel prinsipalis mereabsorbsi natrium dan air dari lumen dan menyekresikan ion kalium ke lumen. Sel-sel interkalatus mereabsorbsi ion kalium dan menyekresikan ion hidrogen ke dalam lumen tubulus. Yang terakhir adalah duktus koligentes medulla. Duktus koligentes medulla mereabsorbsi Na+ , Cl- , HCO3-, dan ureum. Sekaligus menyekresikan H+ (Guyton, 2008).

KATETERISASI URINE
Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter kedalam buli-buli melalui uretra. Tindakan kateterisasi ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi (Purnomo, 2000).
Tindakan diagnosis antara lain:
1.      Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin untuk pemeriksaan kultur urin untuk mengurangi kontaminasi dari bakteri di vagina.
2.      Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.
3.      Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain: sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG).
4.      Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intravesika.
5.      Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar (Purnomo, 2000).
Sedangkan tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi antara lain adalah:
1.      Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal baik karena hiperplasi prostat maupun oleh benda asing yang menyumbat uretra.
2.      Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3.      Diversi urin setelah tindakan operasi system urinary bagian bawah, yaitu pada prostatektomi, vesikolitotomi.
4.      Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5.      Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala.
6.      Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptic untuk buli-buli (Purnomo, 2000).
Kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang pada buli-buli dengan insisi suprapubik dengan tujuan untuk mengeluarkan urin. Pemasangan kateter sistosomi dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka atau dengan perkutan (trokar) sistosomi.
Kateterisasi ini biasanya dikerjakan pada:
1.      Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra
2.      Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra misalkan pada rupture uretra atau dugaan adanya rupture uretra.
3.      Jika ditakutkan akan terjadi kerusakan uretra pada pemakaian kateter uretra yang terlalu lama.
4.      Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
5.      Mengurangi penyulit timbulnya sindrom intoksikasi air pada saat TUR Prostat (Purnomo, 2000).
Alat yang disiapkan untuk pemeasangan kateter urin antara lain, sarung tangan steril, duk steril, antiseptic, kapas lidi steril, penjepit (forcep), aquades steril, foley catheter, syringe 10 cc, lubricant, collection bag dan tubing. Ukuran kateter adalah unit yang disebut French, dimana satu French sama dengan 1/3 dari 1 mm. Ukuran kateter bervariasi dari 12 FR (kecil) sampai 48 FR (besar) sekitar 3-16 mm. Kateter juga bervariasi dalam hal ada tidaknya bladder balloon dan beberapa ukuran bladder balloon (Widjanarko, et.al., 2012).

INFEKSI PADA SISTEM UROPOETIKA
A.    Bakteri infeksi saluran kemih
a)      Enterobacteriaceae
1.      Esherichia coli
E.coli adalah penyebab yang paling lazim dari infeksi saluran kemih dan merupakan penyebab infeksi saluran kemih pertama pada kira-kira 90% wanita muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering kencing, disuria, hematuria, dan puria. Nyeri pinggang berhubungan dengan infeksi saluran kemih bagian atas. Tak satupun dari gejala atau tanda-tanda ini bersifat khusus untuk bakteri e. Coli. Infeksi saluran kemih dapat mengakibatkan bakterimia dengan tanda-tanda khusus sepsis.
E.coli yang nefropatogenik secara khas menghasilkan hemolisin. Kebanyakan infeksi disebabkan oleh e.coli dengan sejumlah kecil tipe antigen o. Antigen k tampaknya penting dalam patogenesis infeksi saluran atas. Pieloneftritis berhubungan dengan jenis philus khusus, philus p yang mengikat zat golongan darah p. Infeksi saluran kemih misalnya sistitis, pielitis dan pielonefritis. Infeksi dapat terjadi akibat sumbatan saluran kemih karena adanya pembesaran prostat, baru dan kehamilan.
E.coli yang biasa menyebabkan infeksi saluran kemih ialah jenis 1, 2, 4, 6, dan 7. Jenis-jenis pembawa antigen k dapat menyebabkan timbulnya piolonefritis.
2.      Klebsiella
Klebsiella pneumoniae kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan bakteremia dengan lesi fokal pada pasien yang lemah. Ditemukan pada selaput lendir saluran napas bagian atas, usus dan saluran kemih dan alat kelamin. Tidak bergerak, bersimpai, tumbuh pada perbenihan biasa dengan membuat koloni berlendir yang besar yang daya lekatnya berlain lainan.
3.      Enterobacter aerogenes
Organisme ini mempunyai simpai yang kecil , dapat hidup bebas seperti dalam saluran usus, serta menyebabkan saluran kemih dan sepsis. Infeksi saluran kemih terjadi melalui infeksi nosokomial.
4.      Proteus
Spesies ini ditemukan pada infeksi saluran kemih dan menyebabkan bakterimia, pnewnonia dan lesi fokal pada penderita yang lemah atau pada penderita yang menerima infus intravena. P.mirabilis menyebabkan infeksi saluran kemih dan kadang-kadang infeksi lainnya. Karena itu, pada infeksi saluran kemih oleh proteus, urine bersifat basa, sehingga memudahkan pembentukan batu dan praktis tidak mungkin mengasamkannya. Pergerakan cepat oleh proteus mungkin ikut berperan dalam invasinya terhadap saluran kemih. Spesies proteus menghasilkan urease mengakibatkan hidrolisis urea yang cepat dengan pembebasan amonia.
5.      Providensia
Spesies providensia (providensia rettgeri, providencia alcalifaciens dan providensia stuartii) adalah anggota flora usus normal. Semuanya menyebabkan infeksi saluran kemih dan sering resisten terhadap pengobatan antimikroba.
6.      Citrobacter
Citrobacter dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan sepsis.
b)      Pseudomonas aeroginosa
Patogenesis
P.aeruginosa bersifat patogen bila masuk ke daerah yang fungsi pertahanannya abnormal, misalnya bila selaput mukosa dan kulit "robek" karena kerusakan kulit langsung ; pada pemakaian kateter intravena atau kateter air kemih ; atau bila terdapat netropenia, misalnya pada kemoterapi kanker. Kuman melekat dan mengkoloni selaput mukosa atau kulit dan menginvasi secara lokal dan menimbulkan penyakit sistemik. Proses ini dibantu oleh pili, enzim dan tosin. Lipopolisakarida berperan langsung yang menyebabkan demam, syok, oliguria, leukositosis, dan leukopenia, disseminated intravascular coagulation dan respiratory distress syndrome pada orang dewasa.
c)      Acinetobacter
Acinetobacter calroaceticus adalah spesies bakteri gram-negatif aerob yang tersebar luas ditanah dan air dan kadang-kadang dapat dibiakkan dari kulit, selaput mukosa dan sekresi.
d)     Streptokokus
Berbentuk Kokus tunggal berbentuk bulat atau bulat telur, tersusun dalam bentuk rantai .kokus membelah pada bidang yang tegak lurus sumbu panjang rantai. Anggota rantai sering tampak sebagai diplokokus dan bentuknya kadang-kadang menyerupai batang.
e)      Stafilokokus saprophyticus
Stafilokokus secara khas tidak berpigmen, resisten terhadap novobiosin, dan nonhemolitik ; bakteri ini menyebabkan infeksi saluran kemih pada wanita muda (Boel, 2004).

B.     Bakteri penyakit kelamin
A.     Neisseria gonorrhoea gonorea
Gonorea adalah penyakit bernanah yang sagat menular. Sering kali disebut pula uretritis spesifik (radang aliran kandung kemis khusus). Gejala penyakit ini tergantung pada situs infeksi, jenis kelamin dan umur korban, lamanya menderita infeksi, serta terjadinya penyebab sel-sel bakteri penyebab.
Pada laki-laki gonorea menyebabkan uretritis (infeksi pada uretra, yaitu saluran tempat lewatnya air seni dari kandung kemih ke luar tubuh) akut. Tanda pertama dapat berupa rasa panas mendadak pada waktu kencing dan keluarnya cairan bernanah pada 2-8 hari setelahh tereksposi. Pada wanita biasanya terjadi infeksi pada uretra dan mulut rahim. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit pada waktu kencing dan keluarnya cairan dari vagina, walaupun kebanyakan wanita (cukup banyak pria) tidak memperlihatkan gejala yang kentara pada infeksi dini. Infeksi tanpa gejala semacam itu. Mungkin merupakan suatu sebab bagi penyebaran penyakit ini. Penyakit ini terutama menyerang saluran kemih kelamin. Namun, kontaminasi pada bayi ,waktu dilahirkan dapat menimbulkan radang selaput mata gonokokal, yang mempengaruhi mata. Dapat juga timbul berbagai komplikasi gonorea diantaranya adalah endokarditis (radang pada lapisan dalam jantung) dan meningitis (radang selaput otak).
Pada pria maupun wanita, infeksi dapat menyebab di sepanjang saluran kelamin. Pada pria bila infeksi meluas sampai ke prostat, epididimis (bagian saluran mani yang terletak buah zakar), dan buah zakar, maka dapat mengakibatkan kemandulan. Pada wanita, penyebaran lebih umum terjadi dan akibat lanjutannya lebih gawat. Pada lebih kurang 15% wanita yang terinfeksi, infeksi menjalar sampai ke tuba falopii (saluran yang membawa telur dari kandung telur ke rahim). Dan menyebabkan peradangan (salpingitis). Pada masa haid yang pertama, timbul rasa sakit dibagian perut sebelah bawah. Salpingitis menyebabkan penyumbatan tuba falopii yang mengakibatkan kehamilan dalam tuba atau kemandulan. Tertanamnya telur yang telah dibuahi di dalam tuba falopii dapat mematikan dan biasanya membutuhkan pembedahan secepatnya.
Gonorea tidak selalu terbatas pada saluran kelamin dan kemih. Pada beberapa penderita, bakteri penyebabnya masuk ke dalam darah dan menyebab ke seluruh tubuh sehingga menginduksi demam, rasa menggigil, serta hilangnya nafsu makan..
B.     Treponema pallidum
Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh sewaktu terjadi hubungan kelamin melalui luka-luka goresan yang amat kecil pada epitel, dengan cara menembus selaput lendir yang utuh ataupun mungkin melalui kulit yang utuh lewat kantung rambut. Masa inkubasi sifilis berkisar 10-90 hari (rata-rata 21 hari) setelahh infeksi. Bila tidak diobati, sifilis dapat timbul dalam beberapa stadium penyakit.
Sifilis primer: gejala pertamanya adalah munculnya bisul kecil keras yang disebut syanker pada situs infeksi. Biasanya di ujung batang pelir pada pria dan di leher rahim atau vagina wanita. Syanker itu terlihat jelas pada pria, tetapi pada wanita seringkali tersembunyi. Bisul itu tidak gatal ataupun sakit. Jadi sifilis primer dapat berkembang tanpa diketahui. Treponema biasanya dapat ditemukan di dalam syanker semacam itu melalui pemeriksaan mikroskopis medan gelap. Juga dalam stadium ini, spiroketa menyerang kelenjar getah bening, menyebabkan menjadi lebih besar dan keras. Setelahh 3-5 minggu, syanker itu sembuh secara spontan, dan penyakit itu dari luar nampak tenang-tenang saja. Tetapi sementara itu organisme tersebut disebarkan lewat aliran darah ke seluruh tubuh.
 Sifilis sekunder: stadium penyakit ini di dahului oleh ruam (pemunculan pada kulit) yang timbul setiap saat pada 2 sampai 12 minggu setelahh hilangnya syanker. Penyakit itu sekarang tersebar umum dan juga terjadi limfodenopati (kelenjar getah belling yang berpenyakit) yang tersebar luas. Sifilis disebut pula "peniru besar" karena gejala-gejala yang timbul pada stadium ini mirip dengan yang ditimbulkan oleh penyakit lain seperti flu atau mononuleosis menular. Selain ruam gejala-gejala lainnya meliputi radang tenggorokan, kelenjar getah bening yang lembek, demam, lesu dan pusing. Kadang-kadang disertai rontoknya rambut sebagian-sebagian. Luka patogenik terjadi pada selaput lendir, mata, dan sistim syaraf pusat luka-luka ini penuh dengan treponema. Korban dapat menderita hanya satu atau dua dari seluruh gejala penyakit ini atau semua gejala. Stadium ini berlangsung beberapa minggu, dan gejala-gejalanya termasuk luka-luka patogenik, hilang tanpa pengobatan. Tetapi sementara itu treponema mungkin sudah mulai menyerang organ-organ lain dalam tubuh.
Seorang penderita dapat menularkan penyakit ke orang lain hanya bila menderita sifilis stadium primer dan sekunder, yang berlangsung sampai selama 2 tahun.
 Sifilis laten: bila tidak diobati, sifilis sekunder berlanjut menjadi sifilis laten. Selama stadium ini penderita sama sekali tidak menunjukkan gejala yang jelas. Stadium ini dapat berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Stadium laten hanya dapat diketahui dengan melakukan uji darah (serologis).
 Sifilis tersier atau lanjut: stadium ini timbul pada sekitar 30% dari orang-orang yang tidak diobati dan dapat terjadi 5 sampai 40 tahun sesudah infeksi mula-mula. Hasil kerja spiroketa secara diam-diam tetapi mematikan selama stadium laten itu menjadi jelas. Luka-luka patogenik tersier terjadi pada sistim safar pusat, sistim pembuluh darah jantung, kulit dan organ-organ vital lain seperti mata, otak, tulang, ginjal dan hati. Luka-luka ini yang disebut gumata lalu pecah dan menjadi borok .penderita dapat terserang sakit jiwa, kebutaan atau penyakit jantung ; dan akhirnya dapat meninggal.
Sifilis syaraf: Selama stadium early, sepertiga dari penderita sifilis dapat terkena susunan syaraf pusatnya dan setengah dari golongan ini jika tidak mendapat pengobatan akan menderita laten neurosifilis, yang jaraknya dari stadium primer dapat mencapai waktu lebih dari 5 tahun. Penyakit ini terjadi tanpa gejala, sedangkan gejala klasik dapat timbul dalam bentuk dementia paralytica, tabes dorsalis dan sebagainya. Gejala penyakit yang timbul juga dapat menyerupai penyakit saraf lainnya.
Sifilis kardiovaskuler: Setelahh 10-40 tahun sejak terjadinya sifilis primer, penderita yang tidak mendapat pengobatan dapat,menunjukkan tanda-tanda terkena sistim kardiovaskuler. Terjadi kelainan sifilis pada aorta dan arteritis paru-paru. Reaksi peradangan yang terjadi dapat menyebabkan stenosis yang berakibat angina, insufisiensi miokardium yang dapat mengakibatkan kematian.
Sifilis kongenital: merupakan penyakit sifilis yang timbul pada bayi waktu lahir, beberapa waktu atau beberapa tahun sesudahnya. Wanita hamil yang sedang menderita sifilis, terutama stadium sekunder, dapat menularkannya pada bayi yang sedang dikandungnya secara transplasenta. Treponema pallidum yang terdapat dalam peredaran darah ibu masuk ke janin pada waktu kehamilan minggu ke 16. Pada saat itu lapisan gel langhans telah menjadi atropik. Jika infeksinya terjadi secara masif,maka dapat mengakibatkan kematian janin, atau bayi lahir terus mati. Infeksi treponema juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intra atau ekstrauteri. Jika wanita hamil baru terkena sifilis pada waktu 6 minggu terakhir kehamilannya, maka biasanya janin belum sempat terkena sifilis, karena kuman belum sempat tersebar di dalam peredaran darah ibu.
Sifilis kongenital praekoks: Penyakit ini mulai menunjukkan gejala pada waktu bayi lahir atau setelahh berumus 1-3 bulan. Terlihat bullae pada telapak tangan, condylomata lata, osteochondritis atau periostitis epiphysis tulang panjang yang dapat menyebabkan terjadinya pseudoparalisis dari parrot, kelainan pada tulang tibia atau sabre bone, terjadi patah tulang spontan atau penonjolan tulang dahi. Selain itu dapat terjadi gejala penyumbatan hidung atau snuffle-nose, hepatosplenomegali, atropi dan distropi otot, sehingga berat badan statis tidak bertambah.
Sifilis kongenital tarda: Penyakit ini mulai menunjukkan gejala pada usia lebih dari satu tahun sampat usia 6- 7 tahun. Akan ditemukan trias hutchinson, yaitu berupa tuli syaraf ke-8 atau tuli perseptif, defo~itas gigi seri atas tengah dan keratitisinterstitialis.
Syphilis d'emblee: Penyakit ini terjadi karena infeksi treponema lewat tusukan jarum yang dalam, misalnya pada transfusi darah yang berasal dari penderita sifilis. Biasanya tidak dijumpai stadium primer melainkan langsung muncul gejala-gejala stadium sekunder.
Sifat patogenitas: Sifilis berjangkit secara alamiah hanya pada manusia dan terutama ditularkan lewat hubungan kelamin atau dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya (sifilis bawaan atau sebelum lahir) lewat ari-ari. Pada kasus yang tidak diobati 25% di antara janin meninggal meninggal sebelum lahir 25-30% meninggal segera setelah dilahirkan yang lain menunjukkan gejala komplikasi lanjut (misalnya menjadi tuli).sejumlah besar treponema dalarn darah dan jaringan musnah selama sifilis sekunder. Penisilin adalah adalah antibiotik yang dipilih untuk pengobatan sifilis (Boel, 2004).

C.    Bakteri penyebab penyakit kelamin lain
a)      Chlamydia trachomatis
Uretritis non-spesifik
Penyakit ini menyerang sekitar 2, 5 juta pria di amerika serikat setiap tahunnya, dan sekitar setengah dari kasus-kasus ini disebabkan oleh bakteri kecil yang dinamakan chlamydia trachomatis. Pada pria, gejala-gejala uretritis nonspesifik menyerupai gejala-gejala nonspesifik ; yaitu meliputi sering buang air kecil serta rasa sakit, keluarnya cairan bernanah dari uretra, serta peradangan pada mata, persendian, mulut, atau buah zakar. Pada wanita penyakit ini tidak mempunyai batas yang begitu jelas. Banyak wanita tidak memperlihatkan gejala sama sekali ; beberapa mungkin mengeluarkan cairan bernanah, pendarahan dari leher rahim, atau infeksi pada leher rahim. .
b)      Haemophylus ducreyi  
Haemophylus ducreyi, suatu bakteri berbentuk batang gram negatif yang sangat kecil, dan tidak bergerak. Satu sampai lima hari setelahh tereksposi timbul borok yang sakit pada situs yang kontak.
c)      Calymmatobacterium granulomatis
Berbentuk batang gram negatif pleomorfik. Penyakit ini menimbulkan borok kecil, menyebar dan penuh dengan nanah pada alat kelamin. Sekurang-kurangnya diperlukan waktu 3 bulan untuk timbulnya gejala-gejala ini. Sementara itu banyak orang dapat menjadi terinfeksi sebelum penderita berobat (Boel, 2004).

GANGGUAN OBSTRUKSI DI SISTEM UROPOETIKA
            Macam-macam obstruksi pada system uropoetika dapat terjadi pada :
1. Kulup
Penyempitan liang kulup menyebabkan kulup mengem-bung sewaktu buang air kecil. Bila keadaan ini berlarut-larut mengakibatkan radang balanopostitis atau batu di liang kulup dengan penyulit-penyulitnya.
2. Uretra
Penyempitan atau penyumbatan pada uretra menyebabkan bagian hulunya melebar sehingga dinding uretra tersebut menjadi tipis, kadang menimbulkan divertikel dan bisa pecah yang mengalirkan air kemih di sekitamya. Pipa semprot manipun bisa melebar. Pada setempat bisa terjadi batu dan infeksi sebagai penyulit-penyulitnya
3. Kandung Kemih
Penyumbatan atau penyempitan saluran kemih pada leher kandung kemih dan uretra menyebabkan gangguan lintas pembuangan air kemih sehingga kandung kemih mengadakan usaha dengan meningkatkan daya pompa ditunjang dengan pengerutan persambungan ureter-kandung kemih untuk melebarkan leher kandung kemih. Dengan peningkatan daya pompa ini, maka tekanan hidrostatis di dalam kandung me- ningkat dari 20 -- 40 cm air menjadi 50 -- 100 cm air atau lebih. Keadaan ini biasanya terdapat pada penyempitan uretra pada anak laki-laki pada pangkal dan pada anak perempuan pada ujung dan pada laki-laki tua oleh karena pembesaran prostat atau pada sindroma prostatismus sans prostate. Pada waktu dini kandung kemih masih dapat memenuhi faalnya dengan sempurna karena otot detrusornya menjadi hipertrofi dan jika berlarut-larut berlangsung ototnya menjadi tipis dan lemah hingga tak dapat memenuhi faalnya lagi dengan sempurna. Keadaan berobah dari kompensasi menjadi dekompensas
4. Ureter
Lintasan ureter yang miring melalui dinding kandung kemihuntuk bermuara ke dalam rongga kandung kemih, berperan seakan-akan katub yang melalukan kemih mengalir dari ureter masuk ke dalam rongga kandung kemih, sebaliknya menghalangi pengaliran kembali (melalukan efflux dan menghalangi reflux). Meskipun tekanan di dalam kandung kemih tinggi sewaktu memompa, namun tidak disalurkan berbalik ke dalam ureter, piala dan seterusnya ke ginjal, hal ini dise- babkan kompetensi persambungan ureter kandung kemih Pada keadaan dekompensasi kandung kemih di mana dijumpai persambungan ureter kandung kemih menjadi inkompeten, tekanan ini disalurkan ke dalam ureter, piala dan seterusnya ke ginjal. Juga pada kandung kemih yang berbalok-balok, edema dan meradang dapat mengakibatkan peran katub tak kompeten lagi.
Rentetan akibat-akibat dari berbalik alir ini terjadi dengan hal yang sama dijumpai seperti pada penyumbatan ureter atau piala ginjal. Pada hulu pe- nyumbatan atau penghalangan alir air kemih otot dinding ureter menjadi hipertrofis dalam usaha meningkatkan gerak peristaltik mendorong air kemih. Berpapasan dengan sumbatan di bagian hulu ureter melebar (dilatasi) karena pelonggokan air kemih. Gerakan peristaltik yang meninggi ini menyebab- kan ureter bertambah panjang (elongasi) sampai berliku-liku. Lama-kelamaan di sekitar ureter terbentuk jaringan ikat dan kerutan jaringan ini menyebabkan penekikan (angulasi) yang menambah kesulitan pengaliran air kemih. Bila pengaliran air kemih ini sedemikian terus berkelanjutan maka otot dinding ureter dan piala menjadi lemah dan terjadi dekompensasi. Pelebaran ureter (ureteriksasi, hidro-ureter) kemudian melibatkan piala ginjal (pielektasi) untuk selanjutnya mengikutsertakan ginjal (hidro-nefrosis) yang keseluruhannya menjadi hidroureteropi nefrosis, yaitu suatu atrofi ginjal yang disebabkan oleh penyumbatan saluran yang tidak menyumbat sempurna (sub-total), di mana sebagian air kemih masih lewat dan selainnya tertahan.
Pada penyumbatan yang sempurna (total) terjadi atrofi primer ginjal. Penyumbatan semakin ke hulu dengan menyumbat hampir sempurna dan berlangsung lama, dengan cepat merusak ginjal. Pada keadaan dekompensasi kandung kemih di mana dijumpai persambungan ureter -- kandung kemih menjadi inkompeten, tekanan ini disalurkan ke dalam ureter, piala dan seterusnya ke ginjal. Juga pada kandung kemih yang berbalok-balok, edema dan meradang dapat mengakibatkan peran katub tak kompeten lagi. Rentetan akibat-akibat dari berbalik alir ini terjadi dengan hal yang sama dijumpai seperti pada penyumbatan ureter atau piala ginjal. Pada hulu penyumbatan atau penghalangan alir air kemih otot dinding ureter menjadi hipertrofis dalam usaha meningkatkan gerak peristaltik mendorong air kemih. Berpapasan dengan sumbatan di bagian hulu ureter melebar (dilatasi) karena pelonggokan air kemih. Gerakan peristaltik yang meninggi ini menyebabkan ureter bertambah panjang (elongasi) sampai berliku-liku. Lama-kelamaan di sekitar ureter terbentuk jaringan ikat dan kerutan jaringan ini menyebabkan penekikan (angulasi) yang menambah kesulitan pengaliran air kemih.
Bila pengaliran air kemih ini sedemikian terus berkelanjutan maka otot dinding ureter dan piala menjadi lemah dan terjadi dekompensasi. Pelebaran ureter (ureteriksasi, hidro-ureter) kemudian melibatkan piala ginjal (pielektasi) untuk selanjutnya mengikutsertakan ginjal (hidro-nefrosis) yang keseluruhannya menjadi hidroureteropi nefrosis , yaitu suatu atrofi ginjal yang disebab- kan oleh penyumbatan saluran yang tidak menyumbat sempurna (sub-total), di mana sebagian air kemih masih lewat dan selainnya tertahan. Pada penyumbatan yang sempurna (total) terjadi atrofi primer ginjal. Penyumbatan semakin ke hulu dengan menyumbat hampir sempurna dan berlangsung lama, dengan cepat merusak ginjal.
5. Ginjal
Dalam keadaan normal tekanan di dalam rongga piala kecil sekali mendekati nol. Pada penyumbatan disaluran ureter atau berbalik alir dari kandung kemih ke ureter (reflux) mengakibatkan piala dengan kalises melebar disebabkan tekanan hidrostatis yang meninggi. Terjadinya kerusakan ginjal atrofi hidronefrosis, tergantung kepada letak, sifat dan lama- nya sumbatan saluran aliran kemih. Disamping itu tergantung juga kepada bentuk piala yang berada di dalam atau di luar ginjal. Piala yang berada di dalam rangkulan ginjal lebih dini mengakibatkan kerusakan ginjal daripada piala yang diluar ginjal, karena tekanan hidrostatis yang tinggi. Pada penyumbatan atau berbalik alir air kemih pada ureter yang seterusnya melibatkan piala ginjal, mula-mula otot dinding piala menjadi hipertofis dalam usaha mendorong air kemih.
Bila kejadian ini berlarut-larut otot ini menadi lemah dan berakhir dengan kelumpuhan dekompensasi. Perobahan yang pertama terjadi pada kalises. Bentuk kaliks yang normal cekung oleh penonjolan papil ginjal ke piala. Papil ini terdiri dari pipa-pipa pe- ngeluaran/pembuangan tempat bermuaranya satuan ginjal (nefron). Pada tekanan hidrostatis yang meninggi di dalam rongga piala, bentuk cekung kalises ini berobah jadi ceper dan bila lebih lanjut menjadi cembung. Perubahan ini disebabkan oleh iskhemi, nekrosis dan absorpsi jaringan, sedang jaringan di antara papil adalah bagian akhir yang rusak. Tekanan hidrostatis yang tinggi bila terus berlangsung menyebabkan ginjal tertinggal merupakan suatu kantong berdinding tipis berisi cairan yang terdiri dari air dan elektrolit atau cairan nanah karena infeksi. Dengan peningkatan tekanan hidrostatis di dalam piala yang mendekati tekanan filtrasi glomeruli, 30 mm air raksa, menyebabkan berkurangnya pembentukan air kemih dan gangguan pemekatan.
Hidronefrosis adalah suatu jenis atrofi ginjal dengan mengandung penumpukan cairan yang terjadi karena desakan oleh tingginya tekan an hidrostatis. Sungguhpun hambatan pengaliran air kemih secara total, namun ginjal masih membentuk air kemih terus. Air kemih ini pada piala diresorbir oleh tubuli, pembuluh limfatis, pembuluh darah balik atau merembes ke dalam antar jaringan ginjal. Hidronefrosis yang sebelah berakibat faalnya terganggu, untuk memenuhi kebutuhan karena gangguan ini, ginjal yang normal di sebelah lain menjadi hipertrofi kompensatoris. Bila kedua buah ginjal hidronefrotis, maka kedua buah ginjal mengusahakan faalnya maksimal (Ginting, 1982).

MACAM BATU DI SISTEM UROPOETIKA
Batu Saluran Kemih
Di negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari (Purnomo, 2009).
Etiologi
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang.
1.      Faktor intrinsik (keadaan yang berasal dari tubuh seseorang) :
-          Herediter
-          Umur : sering pada usia 30-50 tahun
-          Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki 3x lebih banyak daripada permpuan.
2.      Faktor ekstrinsik (pengaruh yang berasal dari lingkunga di sekitarnya) :
Geografi, iklim dan temperatur, asupan air, diet dan pekerjaan (Purnomo, 2009).
Proses pembentukan batu saluran kemih
Batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (statis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada keadaan hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan menstable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yg kemudian mengadakan agregasi dan menarik bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), di sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga terbentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih (Purnomo, 2009).
Penghambat pembentukan batu saluran kemih
       Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan juga oleh adanya keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, zat yang mampu mencegah timbulnya batu. Ion magnesium (Mg++) dapat menghambat pembentukan batu karena jika berikatan dengan oksalat, membentuk garam magnesium oksalat sehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium  (Ca++) untuk membentuk kalsium oksalat menurun. Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat agregasi maupun retensi kristal. Senyawa tersebut antara lain : glikosaminoglikan (GAG), protein Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid, nefrokalsin, dan osteopontin (Purnomo, 2009).
Komposisi Batu
       Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur : kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-sulfat (MAP), xanthyn, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya.
1.      Batu Kalsium
Banyak dijumpai, sekitar 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Faktor terjadinya batu kalsium adalah :
-          Hiperkalsiuri à kadar kalsium di urine > 250-300mg/24 jam
-          Hiperoksaluri à ekskresi oksalat urine melebihi 45gr/hari
-          Hiperurikosuria à kadar asam urat dalam urine > 850mg/24 jam
-          Hipositraturia dan hipomagnesuria sehingga tidak ada yang mencegah ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat.
2.      Batu Struvit
Disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yg dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, antara lain : Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus.
3.      Batu asam urat
Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Asam urat relatif tidak larut di dalam urine sehingga pada keadaan tertentu mudah sekali membentuk kristal asam urat. Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah : (1) urine yang terlalu asam (pH<6), (2) volume urine yang jumlahnya sedikit (<2liter/hari), dan (3) hiperurikosuri atau kadar asam urat yang tinggi (Purnomo, 2009).
BATU GINJAL DAN BATU URETER
       Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis ureteropelvik) mempermudah timbulnya batu saluran kemih.
       Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot sistem pelvikales dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter mencoba mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu yang ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi radang (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau hidronefrosis.
       Keluhan yang paling dirasakn pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminal meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yg memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2009).
BATU BULI-BULI
       Batu buli-buli atau vesikolitiasis sering terjadi pada pasien yang menderita gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli. Gejala khas batu buli-buli adalah berupa gejala iritasi antara lain : nyeri kencing/disuria hingga stranguri, perasaan tidak enak sewaktu kencing. Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan pada ujung penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki. Pada anak sering mengeluh adanya enuresis nokturna, di samping sering menarik-narik penisnya (pada laki-laki) atau menggosok-gosok vulva (pada perempuan).
       Seringkali komposisi batu buli-buli terdiri atas asam urat atau struvit (jika penyebabnya adalah infeksi), sehingga tidak jarang pada pemeriksaan foto polos abdomen tidak tampak sebagai bayangan opak pada kavum pelvis. Dalam hal ini pemeriksaam IVU pada fase sistogram memberikan gambaran sebagai bayangan negatif. USG dapat mendeteksi batu radiolusen pada buli-buli. Batu buli-buli dapat dipecahkan dengan litotripsi, jika terlalu besar dilakukan pembedahan terbuka (vesikolitotomi) (Purnomo, 2009).
BATU URETRA
            Batu uretra biasanya berasal dari batu ginjal/ ureter yang turun ke buli-buli, kemudian masuk ke uretra. Keluhan yang disampaikan pasien adalah miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin, yang sebelumnya didahului dengan nyeri pinggang. Batu yang berada di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien berupa benjolan keras di uretra pars bulbosa maupun pendularis, atau kadamg-kadang tampak di metus uretra eksterna. Batu yang berada pada uretra posterior nyeri dirasakan di perineum atau rectum (Purnomo, 2009).

CUCI DARAH
Hemodialisis adalah prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana  zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan. Hemodialisis merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengobatan gagal ginjal stadium akhir dan permanen.
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu :
1. Indikasi absolut
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
2. Indikasi elektif
Indikasi elektif, yaitu Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Indikasi pada gagal ginjal stadium terminal
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada penderita gagal ginjal stadium terminal antara lain karena telah terjadi:
• Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik)
• Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit misalnya: asidosis metabolik, hiperkalemia dan hipercalsemia
• Edema paru sehingga menimbulkan sesak nafas berat
• Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptoms)
Indikasi pada gagal ginjal kronik
Pada umumnya indikasi dialisis pada Gagal Ginjal Kronik adalah bila laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 5mL/menit (normalnya GFR mencapai 125 mL/menit) dan dianggap baru perlu di mulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata
2. Serum Kalium > 6 meq/L
3. Ureum darah > 200 mg/dl
4. pH darah < 7,1
5. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
6. Fluid overloaded
PEMERIKSAAN FISIK UNTUK SISTEM UROPOETIKA
Pemeriksaan fisik pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum pasien dan pemeriksaan urologi. Seringkai kelainan-kelainan di bidang urologi memberikan manifestasi penyakit umum (sistemik), atau tidak jarang pasien-pasien urologi kebetulan menderita penyakit lain.
1.      Pemeriksaan ginjal
Adanya pembesaran pada daerah pinggang atau abdomen sebelah atas harus diperhatikan pada saat melakukan inspeksi pada daerah ini. Pembesaran itu mungkin disebabkan oleh karena hidronefrosis atau tumor pada daerah retroperitonium. Palpasi ginjal dilakukan secara bimanual yaitu dengan memakai dua tangan. Tangan kiri diletakkan di sudut kosto-vertebra untuk mengangkat ginjal ke atas sedangkan tangan kanan meraba ginjal dari depan.
2.      Pemeriksaan buli-buli
Pada pemeriksaan buli-buli diperhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut bekas irisan/operasi suprasimfisis. Masa di daerah suprasimfisis mungkin merupakan tumor ganas buli-buli atau karena buli-buli yang terisi penuh dari retensi urin. Dengan palpasi dan perkusi dapat ditentukan batas atas buli-buli.
3.      Pemeriksaan genitalia eksterna
Pada inspeksi genitalia aksterna diperhatikan kemungkinan adanya kelainan pada penis/uretra, antara lain : mikropenis, makropenis, hipospadia, kordae, epispadia, stenosis pada meatus uretra eksterna, fimosis/parafimosis, fistel uretro-kutan, dan ulkus/tumor penis. Striktura uretra anterior yang berat menyebabkan fibrosis korpus spongiosum yang teraba pada palpasi di sebelah ventral penis, berupa jaringan keras yang dikenal dengan spongiofibrosis. Jaringan keras yang teraba pada korpus kavernosum penis mungkin suatu penyakit Peyrone.
4.      Pemeriksaan skrotum dan isinya
Perhatikan apakah ada pembesaran pada skrotum, perasaan nyeri pada saat diraba, atau ada hipoplasi kulit skrotum yang sering dijumpai pada kriptokismus. Untuk membedakan antara massa padat dan massa kistus yang terdapat pada isi skrotum, dilakukan pemeriksaan transiluminasi (penerawangan) pada isi skrotum. Pemeriksaan penerawangan dilakukan pada tempat gelap dan menyinari skrotum dengan cahaya terang. Jika isi skrotum tampak menerawang bearti berisi cairan kistus dan dikatakan sebagai transiluminasi positif atau diafanoskopi positif.
5.      Colok dubur
Pemeriksaan olok dubru adaah memasukkan jari telunjuk yansg sudah diberi pelicin ke dalam dubur. Pemeriksaan ini menimbulkan rasa sakit dan menyebabkan kontraaksisfingter ani sehingga dapat menyulitkam pemeriksaa. Pada pemeriksaan colok dubur, dinilai : (1) tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus, (2) mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rektu, (3) menilai keadaan prostat. Penilaian refleks bulbokavernosus dilakukn dengan cara merasakan adanya refleks jepitan pada sfingter ani pada jari akibat rangsangan sakit yang kita berikan pada glans penis atau klitoris. Pada wanita yang sudah berkeluarga selain pemeriksaan colok dubur, perlu juga diperiksa colok vagina guna melihat kemungkinan adanya kelainan di dalam alat kelamin wanita, antara lain : massa di serviks, darah di vagina, massa di buli-buli (Purnomo, 2009).

PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK SISTEM UROPOETIKA
1.Urinalisis
 Urinalisis terdiri dari pemeriksaan makroskopis (warna, bau, kejernihan/kekeruhan, dan berat jenis), mikroskopis atau sedimen urin (eritrosit, leukosit, silinder, sel epitel, kristal, bakteri, parasit Trichomonas, candida, dan lain-lain), serta kimia urin (pH, berat jenis, protein, glukosa, keton, bilirubin, urobilinogen, nitrit, esterase leukosit, darah/Hb). Pemeriksaan kimia urin saat ini kebanyakan dikerjakan dengan cara kimia kering menggunakan carik celup (test strip), baik yang terdiri dari 1, 3, atau 9/10 uji sekaligus pada 1 carik celup (Cohen,1991).
2. Kadar ureum dan kreatinin darah
Ureum merupakan produk metabolit dari protein. Protein makanan dipecah menjadi asam amino yang kemudian sebagian oleh bakteria dipecah menjadi amoniak. Di hati amoniak diubah menjadi ureum yang masuk ke sirkulasi dan kemudian diekskresikan oleh ginjal dalam urin. Hampir 90% ureum darah diekskresikan oleh ginjal . Kadar ureum darah yang normal adalah 20 mg – 40 mg setiap 100 ccm darah, tetapi hal ini tergantung dari jumlah normal protein yang di makan dan fungsi hati dalam pembentukan ureum
Kreatinin berasal dari pemecahan kreatinfosfat otot. Kadar kreatinin darah menggambarkan fungsi ginjal secara lebih baik, lebih stabil, daripada kadar ureum darah. Kreatinin umumnya dianggap tidak dipengaruhi oleh asupan protein namun sebenarnya ada pengaruh diet terutama protein tetapi tidak sebesar pengaruhnya terhadap kadar ureum. Kreatinin terutama dipengaruhi oleh massa otot. Karena itu kadar kreatinin darah lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, meningkat pada atlit dengan massa otot banyak, dan juga pada kelainan pemecahan otot (rhabdomiolisis). Sebaliknya kadar kreatinin menurun pada usila (orang usia lanjut) yang massa ototnya berkurang. Nilai normal pada laki-laki adl 20-26 mg/kg BB. Sedang pada wanita adl 14-22 mg/kg BB (Cohen,1991).
3. Uji Bersihan ureum (UCT) dan Uji bersihan kreatinin (Creatinine clearance test = CCT)
Rumusnya:
UCT  = (kadar Ureum urin/kadar Ureum plasma) x (Volum urin/120) x (1,73/LPT)
CCT = (kadar Kreatinin urin / kadar Kreatinin plasma) x (Volum urin / 1440) x (1,73/ LPT). (Cohen,1991)
4. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi (Rochani, 1995; Gilbert, 2004).
3. Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi (Rochani, 1995; Gilbert, 2004).
4. Instrumentasi
 Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra (Rochani, 1995).
5. Uretroskopi.
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse (Rochani, 1995).



BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario pasien tidak dapat buang air kecil karena terdapat obstruksi yang terdapat pada uretranya. Hal inilah yang menyebabkan pancaran urine pasien kecil. Urine yang terdapat di di vesica urinaria pasien harus dikeluarkan, jika tidak  dikeluarkan vesica urinaria pasien akan penuh dan dapat menyebabkan nyeri. Maka dilakukan lah kateterisasi uretra. Tetapi kateterisasi uretra tidak berhasil karena kateter terhambat oleh uretra. Sehingga, kateterisasi akan berhasil apabila dilakukan langsung dari vesica urinaria (suprapubik). Yaitu memasukkan kateter dengan membuat lubang pada buli-buli dengan insisi suprapubik. Karena pasien menolak untuk dikateterisasi suprapubik dan juga dioperasi, maka keadaan umum pasien bertambah lemah karena terjadi uremia. Selain itu pasien juga muntah-muntah sehingga lemas, akibat dari asidosis metabolik yaitu gangguan sistemik yang ditandai dengan penurunan primer kadar bikarbonat plasma sehingga menyebabkan tenjadinya penurunan PH (peningkatan ion hidrogen). Hal ini disebabkan karena kegagalan ginjal untuk mengekskresikan beban asam harian karena tertimbunnya urin dalam vesika urinaria.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dokter menyarankan joni untuk menjalani operasi, tetapi sebelumnya joni harus cuci darah. Hemodialisis dilakukan karena pasien telah mengalami asidosis metabolik dengan gejala lemas dan muntah sehingga urin yang terdapat dalam darah perlu dibersihkan terlebih dahulu. Mengenai asumsi keluarga pasien tentang “kecanduan cuci darah” perlu ada edukasi dari dokter bahwa edukasi atau hemodialysis tidak menyebabkan kecanduan. Cuci darah dilakukan hingga fungsi ginjal telah normal lagi. Sedangkan yang terjadi pada pak darmo bukanlah “kecanduan cuci drah” tetapi karena infeksi ginjal kronik yang diderita pak Darmo mungkin mengenai ginjalnya sehingga mempengaruhi fungsi ginjalnya, yang menyebabkan pak Darmo menjalani cuci darah secara rutin. Kalau pada pak Joni kemungkinan ginjalnya belum mengalami kerusakan karena jika stricture uretranya segera ditangani fungsi ginjalnya akan mengalami perbaikan.
Tindak lanjut yang dilakukan pada pasien, dokter  menyarankan harus dioperasi. Akan tetapi pasien menolak. Jika dalam waktu dekat pasien belum bersedia untuk menjalani operasi, strictura urethra bisa ditangani dengan cara dilatasi logam atau dari plastic. Namun, metode dilatasi ini tidak bisa bertahan lama. Oleh karena itu perlu edukasi terhadap pasien pentingnya dilakukan operasi

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada kasus scenario, kemungkinan terdapat sumbatan atau obstruksi pada saluran kemih yang mengakibatkan tidak bisa buang air kecil.
2. Pemasangan kateter urin per urethra tidak berhasil karena terjadi penyempitan urethra sehingga dilakukan pemasangan kateter suprapubik.
3. Hemodialisis merupakan salah satu dari Terapi Pengganti Ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi gingjal, baik akut maupun kronik
4.   Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis
B. Saran
1. Sebaiknya diberikan edukasi pada pasien dan keluarga nya agar pasien tidak takut untuk melakukan hemodialisis.
2. Untuk diskusi agar lebih aktif dan lebih belajar lagi sehingga dalam diskusi berjalan lancar dan saling memahamkan satu sama lain.












DAFTAR PUSTAKA

Boel, Trelia. 2004. Infeksi Saluran Kemih dan Kelamin.  http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/1142/1/fkg-trelia2.pdf. (6 Mei 2012).
Brunner & suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol. 3. Jakarta : EGC
Cohen EP, Lemann, Jr J. 1991. The role of the laboratory in evaluation of kidney function. Clin Chem. Vol: 37/6, Pp: 785-796.
Gilbert, Scott M. 2004. Urethral Stricture. http://www.medlineplus.com/ medicalencyclopedia.html (17 April 2012).
Ginting, Menam. 1982. Uropati Obstruktif dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 28 Tahun 1982. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/21_UropatiObstruktif.pdf/21_UropatiObstruktif.pdf (6 Mei 2012).
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. P: 126.
Rochani. 1995. Striktur Urethra, dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Widjanarko, Soeharto., Anton, Setyo., et.al. 2012. Buku Pedoman Keterampilan Klinis untuk Semester 4 Edisi 3. Surakarta : Fakultas Kedokteran UNS. Pp: 81-83.
Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
Scanlon VC, Sanders T. 2007. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis Company.
Van de Graaf KM. 2001. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill Companies.
Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi Di Fiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar